BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu agenda utama
bagi pembangunan nasional adalah sektor pendidikan. Melalui pendidikan negara
dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berimplikasi pada kemajuan di
berbagai bidang kehidupan lainnya, seperti:
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itulah pemerintah harus
memenuhi hak setiap warga dalam memperoleh layananan pendidikan sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Pendidikan tidak hanya
berperan besar dalam kemajuan bangsa, melainkan juga berkaitan dengan pasar
bebas yang semakin kompetitif, pendidikan hendaknya dipandang dapat mengakomodir
masyarakat agar suatu negara memiliki manusia-manusia yang berkualitas. Melalui
pendidikan dapat menciptakan tenaga kerja yang tidak hanya kaya akan
pengetahuan teoritis melainkan juga praktis, penguasaan teknologi, dan memiliki
keahlian khusus. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengevaluasian dan
peningkatan pendidikan di setiap negara
secara berkesinambungan.
Melihat sedemikian
penting peranan pendidikan, kemunculan pendidikan non formal dapat dipandang sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan
taraf pendidikan penduduk di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Konsep awal dari
Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun
70-an dalam bukunya Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) The World Crisis In Education. Menurut
Coombs (1974) pendidikan non formal adalah:
Any organized, systematic educational activity outside the framework of
the formal (school) system (designed) to provide selective type of learning
particular sub-groups in the population adult, as well as children.[1]
Kehadiran pendidikan non formal marak di awal-awal tahun 1970-an terutama disebabkan oleh adanya
kebutuhan akan pendidikan yang begitu luas terutama di negara-negara
berkembang. Meluasnya kebutuhan akan pendidikan tidak terimbangi dengan
ketersediaan pendidikan disebabkan adanya kegagalan pendidikan formal.
Sebagaimana diungkapkan oleh Paulston dan Le Roy (1972: 338) bahwa pendidikan formal mengalami kegagalan
logistik dan fungsi sehingga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang begitu
besar dan cepat maka munculah sistem pendidikan alternatif di luar pendidikan
formal.[2]
Sebagaimana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan
bahwa pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2
dijelaskan pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
(warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.[3]
Maka geliat menjamurnya lembaga kursus di Indonesia menjadi wajar. Di seluruh Indonesia terdapat 13.446 lembaga kursus yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Seluruh lembaga kursus tersebut memiliki 90.946 orang pendidik yang melayani
1.348.565 peserta. Dari lembaga kursus yang ada di Indonesia lebih dari
setengahnya (59,50%) berada di Pulau Jawa, khususnya Provinsi DKI Jakarta,
Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur.[4]
Sementara di ayat 3, disana
disebutkan bahwa pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini;
pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan
keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan;
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Pendidikan-pendidikan non formal ini dianggap mampu menyediakan aktivitas
pendidikan yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan yang tidak dapat dipenuhi oleh sekolah formal untuk
dapat memenuhi tuntutan global di dunia kerja.
I.2 Permasalahan
Di Indonesia pendidikan formal
sangat dihargai sehingga orang yang bisa diterima kerja adalah orang yang
berpendidikan formal. Pemerintah
akhirnya memperbanyak angka pendidikan formal agar masyarakat yang tidak berpendidikan
bisa memperoleh pendidikan dengan baik dan nantinya bisa mendapatkan pekerjaan
sehingga mengurangi angka pengangguran. Namun, permasalahan terjadi saat jumlah
lulusan dari pendidikan formal tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada.
Banyak lulusan dari sekolah formal yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan
yang mereka inginkan. Akhirnya persaingan dalam pencarian kerja menjadi semakin
gencar. Pendidikan formal dirasa kurang cukup untuk memenuhi syarat kualifikasi
pekerjaan dalam persaingan kerja. Munculnya pendidikan non formal sebagai
penambah keahlian bagi orang yang telah menempuh pendidikan formal sehingga mereka
lebih memenuhi kualifikasi dalam dunia kerja.
I.3 Tujuan Penelitian
Menjelaskan
gambaran mengenai pendidikan non-formal dan hubungan antara seseorang yang telah menempuh
pendidikan non formal dengan kualifikasinya di dalam dunia kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
II.1 Tinjauan Pustaka
Pendidikan non formal
berbeda dari aliran pendidikan formal dimana dalam kenyataannya individu dapat
bergabung pada setiap umur, setiap level dan setiap waktu pada tahun menerima
level pendidikan dari setiap langkahnya sendiri. Kursus-kursus pada komunitas
sekolah dan college ialah bagi
pelajar dan pelengkap untuk membuat individu percaya diri melalui self-employment sehingga mereka memiliki
keahlian dan kekuatan untuk bekerja meningkatkan status sosial-ekonomi mereka. Aliran
pendidikan nonformal dirancang untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang
spesifik dari komunitas. Komunitas
pendidik dan guru akan secara itu juga menerapkan proses demokrasi, memimpin
komunitas melalui otonomi pendidikan dan membangun perasaan yang berhubungan
dengan solidaritas.[5]
Berdasarkan penelitian sejak tahun 1950
sampai 1980 di Amerika Latin dan Caribean memfokuskan untuk melakukan inovasi dan
aktivitas di pendidikan non formal. Pendidikan non formal sering dijadikan pusat strategi untuk perubahan dan
peningkatan sosial-ekonomi bagi
masyarakat miskin. Program pendidikan non formal didisain untuk membangun
infrastruktur wilayah hingga sumber daya manusia yang lebih cakap dan dapat
ditempatkan di posisi tertentu yang lebih tanggap terhadap permintaan pasar
dunia. Program-program yang berkaitan dengan Human Capital lebih memberi dukungan dan untuk memelihara kehidupan
sosial dan politik dalam hal status quo. Kesempatan bagi pembuat kebijakan
untuk mengembangkan strategi dan juga advokasi dari kaum miskin dalam hal ini
mejadi jelas. Penilaian terhadap program human
capital dan pergerakan sosial dan reforamsi pendekatannya berorientasi pada
ekonomi dan marginalitas sosial dalam periode 50 tahun. Gerakan reformasi menekankan pada agenda politik dan sosial,
sementara program human capital lebih
menekankan pada kepentingan ekonomi. Mengkobinasikan keuntungan ekonomi dengan
politik dan perubahan sosial itu diperlukan dan menjadi usaha yang terus
dilakukan.
Dalam segi ekonomi, struktur kesempatan,
hingga pertumbuhan ekonomi, harus dibuka atau sedikit dapat dibuka dengan
berbagai pengaruh atau dampak pengangguran dan pendapatan. Sekurang-kurangnya
tersedianya beberapa kesempatan kerja lebih banyak ditawarkan daripada masuk ke
dalam posisi pada level tertentu. Kesempatan perlu dihadirkan, dan ada dua area
yang menjadi perhatian. Pertama adalah pertumbuhan masalah pengangguran
diantara generasi muda, yang telah dikalkulasikan sebanyak dua kali dalam taraf
nasional. Sejarah tentang perubahan generasi muda di dalam negara,
dikombinasikan dengan perhatian utama dalam pembentukan generasi baru yang akan
memimpin negara. Perhatian tersebut hingga mengkobinasikan pendidikan formal
dan program pendidikan non formal yang merupakan dua area yang potensial untuk
dikombinasikan. Kombinasi tersebut secara langsung berkaitan dengan ekonomi
informal dimana lebih membutuhkan analisis kompetensi dan program-program yang
harus berkelanjutan.[6]
‘Non formal education’ diperkenalkan pada akhir 1960-an untuk
menandakan adanya kebutuhan untuk membuat tanggung jawab pendidikan di luar
sekolah atas permintaan pendidikan yang baru dan berbeda. Selama tahun 1970-an, bagi kebanyakan negara dunia ketiga, pendidikan non formal
memiliki frekuensi alternatif program untuk remaja dan dewasa yang tidak
terpuaskan atau sedikit tepuaskan pendidikannya oleh sekolah, atau bagi yang
membutuhkan tambahan disamping schooling
yang telah mereka terima. Karakteristik dari pendidikan non formal adalah bahwa
aktivitasnya harus dipisahkan dari state-sanctioned schooling dan
direncanakan secara sistematik dan mengantarkan kelompok tertentu pada tujuan
spesifik. Pendidikan non formal tidak seperti pendidikan formal yang memiliki
standar terhadap eksistensinya. Namun, pada beberapa situasi, mengejar
pendidikan tidak hanya formal melainkan juga non-formal dapat menjadi tradisi
untuk mobilitas karir.
Tidak semua pendidikan non formal dapat
diakses setiap strata budaya dan sosio-ekonomi di masyarakat. Terdapat partisipasi yang
berbeda yang bergantung pada etnis, kelas sosial, jenis kelamin, dan berpengaruh pula
antar masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Pada beberapa instansi, misalnya, pendidikan non formal
bagi solidaritas agama dan etnis, sementara yang lainnya untuk menyokong kebutuhan
skill bagi
mobilitas sosial-ekonomi. Pada program yang lainnya pendidikan non formal merupakan
pemenuhan waktu luang bagi kelas atas dengan jangka panjangnya untuk
meningkatkan sosialisasi politik dalam masyarakat. Pendidikan non formal menjamin kesempatan untuk
pilihan pendidikan lebih besar yang biasanya tidak dipenuhi sekolah formal.
Untuk itulah, pendidikan non formal
menjadi biasa dan ketergantungan pada negara industri atau pusat kota. Dengan
kata lain, kelas sosial cenderung mendominasi karakteristik partisipasi dalam
aktivitas pendidikan nonformal, khususnya bagi private-for-profit programs. Bersama-sama dengan bias kelas sosial,
ethno-religious dan jenis kelamin, menentukan aktivitas, antara satu
grup dengan lainnya. Pendidikan
nonformal berkontribusi untuk perubahan tingkah laku inividual bagi perubahan
sosial. Atau dengan kata lain, jika individual memerlukan basic skills dan masyarakat dilihat sebagai sistem yang memerlukan
adaptasi, maka pendidikan non formal harus dilihat sebagai kontributor.
Pendidikan non formal digunakan melewati batas sosio-ekonomi atau kelompok
etnik untuk memfasilitasi perubahan yang lebih radikal melibatkan akses kepada
sumber daya politik dan ekonomi, dimana hasilnya seringkali gagal. Pendidikan nonformal lebih impotent dibandingkan pendidikan formal
karena harus berhadapan dengan pemisahan antara politik dan ekonomi. Untuk itulah perencanaan program pendidikan non formal harus disesuaikan
dengan kelas sosial dan etnik berdasarkan goal
yang spesifik. Pendidikan non-formal seharusnya dilihat sebagai alternatif bagi
pembentukan karakter melalui ketergantungan, ketertarikan dan ketidaksinambungan,
dan sangat sulit untuk melihatnya membuat kontribusi besar bagi perlawanan
sosial untuk perubahan individual, mengingat akses untuk kesempatan terikat
kuat pada schooling.[7]
II.2 Kerangka Konseptual
Berdasarkan
teori konflik, Samuel Bowles dan Gintis (1976):
-
Peran utama pendidikan adalah menghasilkan
tenaga kerja. Kurikulum yang ada didesain sedemikian rupa (hidden
curriculum) sehingga memiliki korelasi dengan kebutuhan yang ada di
dunia industri. Dengan kata lain pendidikan adalah lembaga penting dalam men-supply kebutuhan kapitalisme. Pendidikan menyiapkan murid-muridnya untuk mengabdi pada sistem perekonomian kapital atau
industri. Lembaga Pendidikan
yang lebih elit akan mendapatkan informasi dan memiliki fasilitas yang lebih
baik. Sehingga bagi kelas atas mereka memiliki fasilitas dan pengetahuan diluar sekolah lebih banyak. Oleh karena
itu pendidikan menjadi sarana bagi kaum kapitalis untuk mendapatkan pekerja
yang sesuai dengan kebutuhan produksinya.
- Bowles
dan Gintis melihat bahwa pendidikan secara tidak langsung menguntungkan bagi
kapitalis melalui melalui legitimation
of inequality.
-
Bowles dan Gintis melihat meskipun pendidikan terbuka untuk siapa saja, tetapi
beberapa orang memiliki kesempatan yang lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Anak orang kaya dan berkuasa cenderung untuk memenuhi kualifikasi dan
penghargaan yang tinggi untuk kemampuan kerja.
Sedangkan Glenn
Rikowski dalam paradigma konflik
menyatakan bahwa:
-
Rikowski melihat
pelayanan pendidikan bertransformasi menjadi komoditi
dengan tujuan pertambahan nilai surplus-profit atau keuntungan. Dorongan terbesar dalam pendidikan adalah menciptakan keuntungan dari
sistem ini. Pendidikan sebagai
komoditi yakni pendidikan beroperasi seperti perusahaan komersil.
-
Ekspansi
pasar yang konstant adalah kepentingan atau kebutuhan untuk pembangunan
kapitalisme. Sehingga kecenderungan kapitalis adalah membuat pasar global. Jadi
menurut Rikowski, globalisasi yang terjadi sekarang adalah globalisasi
kapitalis dan pendidikan termasuk dalam proses tersebut. Dan sekolah tidak
dapat melawan kepentingan fundamental kepentingan kapitalis.
Menurut Theodore
Schultz dalam teori Human Capital:
The process of acquiring skills and
knowledge through education was not to be viewed as a form of consumption,but
rather as a productive investment “buy investing in themselves people can
ellarge the range of choice available to them.it is the one way freemen can
enhance their welfare
jika
seseorang mengikuti pendidikan, maka Ia berinvestasi terhadap dirinya sendiri, karena pendidikan yang telah Ia dapatkan akan
membuatnya lebih kompeten untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
BAB III
PEMBAHASAN
IV.1 Peran Pendidikan Non Formal sebagai
Penunjang Pendidikan Formal dalam Kualifikasi Dunia Kerja dan Penerapannya bagi
Tiap Provinsi di Indonesia
Terhadap human capital yang
dilakukan seseorang dengan mengikuuti pendidikan Non-Formal, terdapat beberapa
unsur yang mendukung kualifikasi dirinya dalam dunia kerja. Yang dapat
dijabarkan ke dalam indikator-indikator sebagai berikut:[8]
IV.1.1 Lembaga Non Formal di
Indonesia
Dari 13.446 lembaga kursus yang ada
di Indonesia,
11.207 lembaga (83,35%) sudah memiliki ijin operasi. Sisanya, sebesar 10,20%
lembaga sedang dalam proses mengurus ijin dan 6,45% lembaga belum memiliki
ijin. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga kursus sudah resmi dan
dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya. Status perijinan lembaga memberikan
kepastian bagi peserta untuk mendapatkan layanan pendidikan dan sertifikat yang
dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja.
Dari 13.446 lembaga kursus di Indonesia
sebanyak 9.209 (68,49%) berstatus perseorangan, 4.164 (30,97%) berstatus
yayasan atau badan hukum lain dan 73 atau (0,54%) adalah dengan status
kerjasama dengan lembaga asing.
Gambar 2. Lembaga Menurut Status Kerjasama dengan Lembaga Lain
Gambar 2. Lembaga Menurut Status Kerjasama dengan Lembaga Lain
Pendidikan
non formal pada hakikatnya bertujuan untuk memenuhi kualifikasi dalam dunia kerja. Oleh karena itu skill yang diajarkan oleh pendidikan non
formal berhubungan dengan permintaan dunia industri. Namun, berdasarkan data BPS diatas lembaga
pendidikan non forml dari ada yang memiliki perijinan dan yang tidak memiliki
perijinan. Di dalam pendidikan
non formal terdapat lembaga yang memiliki perijinan dan yang tidak memiliki
perijinan. Sementara, ketika
lembaga tersebut memiliki perijinan, maka selain mendapatkan sertifikat resmi,
lembaga tersebut juga akan mudah dalam bekerja sama dengan lembaga lain, baik
dengan lembaga asing maupun dengan berbadan hukum. Hal itu lah yang akan
membuat lembaga tersebut akan lebih menghasilkan orang-orang yang lebih
kompeten dalam dunia kerja. Sedangkan yang tidak memiliki perizinan, lembaga tersebut secara otomatis
tidak memiliki sertifikat dan sulit
untuk bekerja sama dengan lembaga lain. Sehingga lulusannya kurang kompeten dalam dunia kerja. Dengan kata
lain, setiap pendidikan non formal tidak memiliki standar yang sama yang menurut Bowles dan Gintis,
biasa disebut dengan legitimacy
inequality, yang pada akhirnya pendidikan
itu akan ditujukan agar dapat
menghasilkan keuntungan tersendiri pada sistem kapitalis.
IV.1.2 Peserta
Dari keseluruhan peserta kursus
tersebut terdiri dari berbagai tingkat pendidikan mulai dari SD sampai S2 atau
S3. Dilihat dari persentase peserta didik ternyata peserta dengan tingkat pendidikan SMA menempati urutan
pertama yaitu sebesar 45,51%, kemudian diikuti tingkat pendidikan SMP sebesar
22,97%, SD 17,84%, S2/S3 sebanyak 10,11% dan terkecil adalah tingkat pendidikan
S1 yaitu sebesar 5,42. Yang cukup menarik adalah bahwa jumlah peserta kursus
dengan tingkat pendidikan S2/S3 ternyata hampir dua kali bila dibandingkan
dengan S1.
Gambar 3. Peserta Kursus Menurut Pendidikan
Penyelenggaraan ujian kursus dapat
dibedakan menjadi (4) empat macam yaitu ujian lokal atau lembaga (79,50%),
ujian nasional (17,50%), ujian internasional (1,79%) dan ujian kompetensi atau
profesi (1,21%). (Gambar 4). Dari keempat jenis ujian tersebut berhasil
meluluskan sebanyak 798.845 atau (90,14%), ujian nasional 78.942 atau (8,91%)
dan ujian internasional sebanyak 8.398 atau (0,95%).
Gambar 4.
Kursus Menurut Ujian Yang Diselenggarakan
Persentase
terbanyak pada peserta didik dalam pendidikan non formal terdapat pada siswa
SMA, kemudian S2, S3, dan posisi terakhir ditempati pada mahasiswa S1. Penyebab
lebih banyaknya persentase untuk siswa SMA yang mengambil pendidikan non formal
dikarenakan siswa SMA akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yaitu bangku
perkuliahan, sehingga mereka lebih ingin fokus untuk dapat
masuk ke universitas yang mereka inginkan. Perkuliahan termasuk dalam
pendidikan formal, oleh karena itu untuk mendapatkan keahlian lebih yang tidak mereka dapatkan di pendidikan
formal, mereka mengambil pendidikan non fomal yang bertujuan untuk membantu
mereka dalam pencapaiannya menuju ke perkuliahan. Selain itu, bagi mereka yang
tidak dapat melanjutkan ke jenjang perkuliahan, pendidikan non formal menjadi
alternatif untuk meningkatkan skill agar
mereka dapat bersaing dengan orang yang menempuh pendidikan formal dan memenuhi
permintaan dunia kerja.
Berdasarkan
teori human capital oleh Theodore Schultz:
The process of acquiring skills and
knowledge through education was not to be viewed as a form of consumption,but
rather as a productive investment “buy investing in themselves people can
ellarge the range of choice available to them.it is the one way freemen can
enhance their welfare”
Maka, jika seseorang mengikuti pendidikan non
formal, maka Ia berinvestasi terhadap dirinya sendiri karena pendidikan yang Ia
dapatkan akan membuat Ia lebih kompeten untuk mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan. Sementara
penyelenggaraan ujian kursus bertingkat nasional hingga internasional
menghasilkan lulusan yang semakin bersaing dalam pasar global.
IV.1.3
Pendidik
Data mengenai tenaga pendidikan
mencakup kewarganegaraan, latar belakang pendidikan, status kepegawaian, dan
sertifikasi yang dimiliki. Dari 90.946 orang pendidik yang ada, 88.900 pendidik
(97,8%) berwarga negara Indonesia (WNI). Sisanya, sebesar 2,2% pendidik
berwarga negara asing (WNA). Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi sudah masuk
ke industri pendidikan, khususnya kursus. Dirinci menurut jenjang pendidikan,
sebagian besar pendidik (57,0%) berpendidikan S1 (sarjana) dan yang lebih
tinggi.
Dilihat kepemilikan sertifikat
profesi, sebagian besar pendidik memiliki sertifikasi tingkat nasional (83,7%).
Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidik sudah baik sehingga diharapkan
lulusannya diharapkan juga baik. Terdapat 4,1% pendidik yang memiliki
sertifikasi internasional. Hal ini merupakan nilai tambah yang perlu terus
dikembangkan agar lulusan lembaga kursus mampu bersaing di pasar tenaga kerja.
Sebaliknya, masih ada 12,2% pendidik yang belum memiliki sertifikasi.
Adanya
pendidik dalam pendidikan non formal yang tidak hanya berwarga negara Indonesia (WNI), tapi ada yang berwarganegara asing (WNA). Hal
ini menunjukan bahwa globalisasi telah masuk ke dalam dunia pendidikan.
Hal ini sesuai dengan pandangan Glenn Rikowski bahwa:
In capitalis society education will
be like any other commodity. Today globalization is essentially capitalist
globalization. Education become global commodity.
Maka sementara itu sertifikasi pendidikan yang sudah tingkat nasional bahkan ada
yang memiliki sertifikat internasional menunjukan bahwa pendidik telah
memiliki pandangan secara global diharapkan
juga dapat menghasilkan lulusan yang baik. Sehingga akan menghasilkan lulusan
yang semakin bersaing dalam pasar global.
IV.1.4 Prasarana
Data mengenai prasarana pada
lembaga kursus mencakup kepemilikan gedung serta ketersediaan ruang teori dan
ruang praktek. Dari seluruh lembaga kursus, 7.282 lembaga (54,2%) memiliki
gedung sendiri, 5.271 lembaga (39,2%) masih menyewa gedung untuk kegiatan
belajar mengajar, 394 lembaga (2,9%) menggunakan gedung bebas sewa (pinjam),
dan 498 lembaga (3,7%) memiliki menggunakan gedung dengan status lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah lembaga kursus sudah memiliki gedung sendiri untuk mendukung
proses belajar mengajar.
Dari 13.446 lembaga kursus yang ada
di Indonesia,
12.646 lembaga (94,1%) memiliki ruang teori dan 11.229 lembaga (83,5%) memiliki
ruang praktek. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga kursus sudah
melengkapi diri dengan ruang yang memadai bagi pesertanya. Persentase lembaga
yang sudah memiliki ruang teori masing-masing provinsi juga cukup tinggi.
Menurut
logika kapitalisme, lembaga yang memiliki modal yang berlebih akan memberikan
investasi yang lebih baik berupa fasilitas yang menunjang kegiatan belajar
mengajar dalam upaya pengembangan skill.
Untuk membangun fasilitas yang baik ini tentunya membutuhkan dana yang cukup
besar maka lembaga ini pun mengenakan standar harga yang mahal, otomatis
orang-orang yang bergabung dengan lembaga inipun adalah orang-orang yang juga
memiliki modal yang besar (akumulasi
modal). Hal inilah yang
semakin menyebabkan legitimation of inequality.
BAB V
Penutup
V.1 Kesimpulan
Tidak
semua orang yang telah menempuh pendidikan non-formal akan memenuhi kualifikasi
dalam dunia kerja. Terdapat
beberapa unsur sebagai indikator yang mempengaruhi kualifikasi dirinya dalam
dunia kerja. Yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Setiap
pendidikan non-formal tidak memiliki standar yang sama yang menurut
Bowles dan Gintis, biasa disebut dengan legitimacy
inequality. Ketika lembaga tersebut memiliki perijinan, maka selain
mendapatkan sertifikat resmi, lembaga tersebut juga akan mudah dalam bekerja
sama dengan lembaga lain Hal itu lah yang akan membuat lembaga tersebut akan
lebih menghasilkan orang-orang yang lebih kompeten dalam dunia kerja.
Investasi
diri (human capital) dilakukan agar seseorang lebih kompeten di dunia kerja
dapat dengan mengikuti lembaga pendidikan non formal. Lembaga pendidikan non
formal yang di dalam tes akhir
kelulusannya mengacu pada standarisisasi global tentu akan menunjang seseorang
dalam dunia kerja.
Selain
itu, yang terjadi saat ini, terdapat pendidik dalam pendidikan non formal yang
tidak hanya diikuti oleh masyarakat dalam negeri, tapi juga oleh masyarakat
luar negeri. Hal tersebut dapat diartikan bahwa globalisasi telah masuk ke
dalam dunia pendidikan, dan sesuai dengan pandangan Glenn Rikowski bahwa
pendidikan menjadi komoditi. Dimana semakin pendidik memiliki pandangan secara
global maka lulusannya juga akan memiliki pandangan global.
Menurut
logika kapitalisme, lembaga yang memiliki modal berlebih akan memiliki
fasilitas yang baik, sehingga dapat dilihat bahwa orang-orang yang mengikuti
lembaga tersebut adalah termasuk orang-orang yang memiliki modal. Hal ini
sesuai dengan pandangan akumulasi modal teori konflik. Namun, tidak
dipungkiri bahwa semakin baik fasilitas
akan semakin kompeten lulusannya.
V.2 Saran
Ketika
kita hendak menempuh pendidikan non formal maka hal pertama yang harus
dilakukan adalah memilih lembaga yang memiliki perizinan. Lembaga pendidikan
non formal yang tidak memiliki izin tidak akan memiliki sertifikat yang diakui.
Dalam hal ini, lembaga pendidikan non formal yang tidak memiliki izin operasi akan
kurang menunjang peserta didiknya untuk memperoleh akses yang lebih besar dalam
memenuhi kualifikasi pekerjaan.
Selain
itu, di dalam lembaga pendidikan nonformal selain harus memiliki syarat
perijinan, sebaiknya juga memiliki staf pengajar yang berkualitas, dan
prasarana yang mendukung pendidikan, sehingga pada akhirnya kita akan
mendapatkan kompetensi yang lebih baik daripada orang yang tidak menempuh
pendidikan yang nonformal.
loading...
0 Response to "KUMPULAN MAKALAH PENDIDIKAN FORMAL DAN NON FORMAL"
Post a Comment