HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
PASCA PERUBAHAN UUD 1945
UUD 1945
adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil
kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada
legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
hasil-hasil perubahan
UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD
1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat
kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.
UUD 1945
memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan
negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional
yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan
kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Untuk
mencapai cita-cita tersebut, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya
mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu
karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara
penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi
politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yang
harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh
negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Keseluruhan
kesepakatan yang menjadi materi konstitusi pada intinya menyangkut prinsip
pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional.
Karena itu, menurut William G. Andrews,
“Under constitutionalism, two types of limitations impinge on government.
Power proscribe and procedures prescribed”[2].
Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama
lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara;
dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan
lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan
untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan
kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga
negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Dengan
demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah
pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan
negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara.
Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga
negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta
hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan
antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.
Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak
dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul gelombang liberalisasi politik, ekonomi dan
kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Di bidang politik, muncul
gerakan demokratisasi dan hak asasi manusia yang sangat kuat di hampir seluruh
dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai hal ini dapat
dibaca dalam tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries
Become Democratic?” (1984).[3]
Dalam tulisan ini, Huntington menggambarkan adanya tiga gelombang besar
demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama
berlangsung sampai dengan tahun 1922 yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa
besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu,
gerakan demokratisasi mengalami backlash
dengan munculnya fasisme, totalitarianisme, dan stalinisme terutama di Jerman
(Hitler), Italia (Musolini), dan Rusia (Stalin).
Gelombang kedua
terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme
berhasil dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula gelombang dekolonisasi
besar-besaran, menumbang imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, dikatakan
bahwa Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya
sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara
pemenang Perang Dunia Kedua itu sendiri maupun di negara-negara yang kalah
perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia
dan Afrika.[4] Namun,
gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya sejak tahun 1958
dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic
authoritarianism di mana-mana di seluruh dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di
masing-masing negara yang baru merdeka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan
yang tersentralisasi dan terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan negara.
Gejala
otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus
oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu
dengan munculnya gelombang gerakan pro demokrasi di Eropa Selatan seperti di
Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin
seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula di Asia,
seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir,
puncaknya gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur dan Uni
Soviet yang kemudian berubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.
Sementara itu,
gelombang perubahan di bidang ekonomi juga berlangsung sangat cepat sejak tahun
1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega
Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene
memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara intervensionist
di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam
urusan-urusan bisnis. Sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan
debirokratisasi besar-besaran di Inggris, di Perancis, di Jerman,
di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa
oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki
dan dikelola oleh negara.
Di bidang
kebudayaan, yang terjadi juga serupa dengan gelombang perubahan di bidang
politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkembangan teknologi
transportasi, komunikasi, telekomunikasi, dan informasi, dunia semakin
berubah menjadi satu, dan semua aspek kehidupan mengalami proses globalisasi.
Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh keadaan mengarah kepada sistem nilai
yang serupa. Bahkan, dalam persoalan selera musik, selera, makanan, dan selera
berpakaianpun terjadi proses penyeragaman dan hubungan saling pengaruh mempengaruhi
antar negara. Sementara itu, sebagai
respons terhadap gejala penyeragaman itu, timbul pula fenomea perlawanan
budaya dari berbagai tradisi lokal di setiap negara, sehingga muncul gelombang
yang saling bersitegang satu sama lain, antara globalisasi versus lokalisasi,
sehingga secara berseloroh melahirkan istilah baru yang dikenal dengan glokalisasi.
Perubahan-perubahan
itu, pada pokoknya, menuntut respons yang lebih adaptif dari organisasi
negara dan pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu
negara, semakin organisasi negara itu harus mengurangi perannya dan membatasi
diri untuk tidak mencampuri dinamika urusan masyarakat dan pasar yang
mempunyai mekanisme kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara
kesejahteraan (welfare state) yang
sebelumnya mengidealkan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan
masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi
dengan mengurangi peran untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan
umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Jika dibandingkan
dengan kecenderungan selama abad ke-20, dan terutama sesudah Perang Dunia
Kedua,[5]
ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan[6]
sedang tumbuh sangat populer di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai
akibat kelemahan-kelemahan paham liberalisme dan kapitalisme klasik, pada
abad ke-19 muncul paham sosialisme yang sangat populer dan melahirkan doktrin welfare state sebagai reaksi terhadap
doktrin nachwachtaersstaat yang
mendalilkan doktrin the best government
is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, adalah
tanggungjawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin dan yang tak
berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format
kelembagaan organisasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan yang lebih
luas. Saking luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka dalam
perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist
state.[7]
Dalam
bentuknya yang paling ekstrim muncul pula rezim negara-negara komunis pada
kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri oleh birokrasi negara
sehingga ruang kebebasan dalam kehidupan masyarakat (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi
negara-negara kesejahteraan itu di hampir seluruh dunia mengalami inefisiensi.[8]
Di satu sisi, bentuknya terus berkembang menjadi sangat besar, dan cara
kerjanyapun menjadi sangat lamban dan sangat tidak efisien. Di pihak lain,
kebebasan warga negara menjadi terkungkung dan ketakutan terus menghantui
kehidupan warga negara. Sementara itu, karena perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta dinamika kehidupan nasional, regional, dan internasional
yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi ke arah perubahan meluas
pula di setiap negara di dunia, baik di bidang ekonomi maupun politik. Tuntutan
aspirasi itu pada pokoknya mengarah kepada aspirasi demokratisasi dan
pengurangan peranan negara di semua bidang kehidupan, seperti yang tercermin
dalam gelombang ketiga demokratisasi yang digambarkan oleh Samuel P. Huntington
tersebut di atas.[9]
Dengan adanya
tuntutan perkembangan yang demikian itu, negara modern dewasa ini seakan
dituntut untuk berpaling kembali ke doktrin lama seperti dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan mengidealkan prinsip the best government is the least government.[10]
Tentu saja, negara modern sekarang tidak mungkin kembali ke masa lalu begitu
saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam tidak mungkin kembali ke masa lalu.
Namun demikian, meskipun negara modern sekarang tidak mungkin lagi kembali ke
doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yang harus dihadapi dewasa ini memang
mengharuskan semua pemerintahan negara-negara di dunia melakukan perubahan
besar-besaran terhadap format kelembagaan yang diwarisi dari masa lalu.
Perubahan dimaksud harus dilakukan untuk merspons kebutuhan nyata secara tepat.
Semua negara modern sekarang ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama
kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yang makin dirasakan tidak
efisien dalam memenuhi tuntutan aspirasi rakyat yang terus meningkat.
Semua negara
dituntut untuk mengadakan pembaruan di sektor birokrasi dan administrasi
publik. Sebagai gambaran, setelah masing-masing melakukan pembaruan tersebut
secara besar-besaran sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir semua negara
anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),[11]
mengembangkan kebijakan yang sama. Alice Rivlin,[12]
dalam laporannya pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of
Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar dari 24 negara[13]
anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan fundamental untuk melakukan
perubahan, yaitu karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan
krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang
diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu dengan melakukan tujuh
agenda sebagai berikut:
1)
decentralisation
of authority within governmental units and devolution of responsibilities to
lower levels of government;
2)
a
re-examination of what government should both do and pay for, what it should
pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
3)
downsizing
the public service and the privatisation and corporatisation of activities;
4)
consideration
of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out,
market mechanisms, and users charges;
5)
“customer
orientation, including explicit quality standards for public services”;
6)
benchmarking
and measuring performance; and
7)
reforms
designed to simplify regulation and reduce its costs.
Menurut
Laporan OECD yang dikemukakan oleh Alice Rivlin tersebut, untuk menghadapi
tantangan ekonomi global dan ketidakpuasan warganegara yang tuntutan
kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa oleh keadaan untuk
melakukan serangkaian agenda pembaruan yang bersifat sangat mendasar. Pertama,
unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan kewenangan dan devolusi pertanggung-jawaban
ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu mengadakan
penilaian kembali mengenai (i) apa yang pemerintah harus dibiayai dan lakukan
oleh pemerintah, (ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan
sendiri, dan (iii) apa yang tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus tidak
perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit
organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan
kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua
pemerintahan dianjurkan untuk mengembangkan kebijakan yang pelayanan yang lebih
cost-effective, seperti kontrak out-sourcing, mekanisme percaya, dan
biaya konsumen (users charges);
Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, termasuk dalam
mengembangkan pelayanan umum dengan kualitas yang pasti; Keenam, melakukan benchmarking dan penilaian kinerja yang
terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang didesain untuk
menyederhanakan regulasi dan mengurangi biaya-biaya yang tidak efisien[14].
Semua kebijakan
tersebut penting dilakukan untuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne
dan Ted Gaebler disebut reinventing government.[15]
Buku terakhir ini malah sangat terkenal di Indonesia. Sejak pertama
diterbitkan, langsung mendapat perhatian masyarakat luas, termasuk di
Indonesia. Bahkan sejak tahun 1990-an, buku ini dijadikan standar dalam rangka
pendidikan dan pelatihan pejabat tinggi pemerintahan untuk menduduki jabatan
eselon 3, eselon 2, dan bahkan eselon 1 yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi
Negara (LAN). Ide
pokoknya adalah untuk menyadarkan penentu kebijakan mengenai bobroknya
birokrasi negara yang diwarisi dari masa lalu, dan memperkenalkan ke dalam
dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien, seperti
yang lazim dipraktekkan di dunia usaha dan di kalangan para enterpreneurs.
Mengiringi,
melanjutkan, dan bahkan mendahului buku David Osborne dan Ted Gaebler ini
bahkan banyak lagi buku-buku lain yang mengkritik kinerja birokrasi negara
modern yang dianggap tidak efisien.[16]
Misalnya, seorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan
dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966)[17]
bahwa bureaucracy has become obsolete.
Untuk mengatasi gejala the death of
bureaucracy tersebut, baik di tingkat pusat maupun di daerah di berbagai
negara dibentuk banyak lembaga baru yang diharapkan dapat bekerja lebih
efisien. Dalam studi yang dilakukan Gerry Stoker terhadap pemerintah lokal Inggris, misalnya,
ditemukan kenyataan bahwa:[18]
“Prior to the
reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint
committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus
operation); to undertake the joint management of a shared facility (for
example, a crematorium); or to plan transport and land-use
policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984)[19]. Central government
too created a number of powerful single-purpose agencies including Regional Hospital
Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”
Di
Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected
agencies ini telah muncul sejak sebelum
diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan
lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan menggunakan banyak ragam dan bentuk
organisasi yang disebut joint committees, boards, dan
sebagainya untuk tujuan mencapai prinsip economies
of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum.
Misalnya, dalam pengoperasian transportasi bus umum, dibentuk kelembagaan
tersendiri yang disebut board atau authority.
Pemerintah
Inggris menciptakan beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya
dalam urusan-urusan yang sangat spesifik. Misalnya, pada mulanya dibentuk Regional Hospital Board dan kemudian pada tahun 1974 menjadi Area and Regional Health Authorities. New
Town Development Corporation juga dibentuk untuk maksud menyukseskan
program yang diharapkan akan menghubungkan kota-kota satelit di sekitar
kota-kota metoropolitan seperti London dan lain-lain. Demikian pula untuk
program pembangunan perdesaan, dibentuk pula badan-badan otoritas yang khusus
menangani Rural Development Agencies
di daerah-daerah Mid-Wales dan the Scottish Highlands.
Perkembangan yang
terjadi di negara-negara lain kurang lebih juga sama dengan apa yang terjadi di
Inggris. Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi dan ketidakstablan
akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara
melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional
experimentation) melalui
berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien, baik
di tingkat nasional atau pusat maupun di tingkat daerah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi
pada non-elected agencies yang dapat dilakukan secara lebih fleksibel
dibandingkan dengan elected agencies seperti parlemen. Tujuannya tidak lain adalah
untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat
benar-benar efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah menjadi slimming down bureaucracies[20]
yang pada intinya diliberalisasikan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan
perkembangan di era liberalisme baru.
Di berbagai
negara juga terbentuk berbagai organisasi atau lembaga yang disebut dengan
rupa-rupa istilah seperti dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, dan
sebagainya. Namun, dalam pengalaman di banyak negara, tujuan yang mulia untuk
efisiensi dan efektifitas pelayanan umum (public
services) tidak
selalu belangsung mulus sesuai dengan yang diharapkan. Karena itu, kita perlu
belajar dari kekurangan dan kelemahan yang dialami oleh berbagai negara,
sehingga kecenderungan untuk latah di negara-negara sedang berkembang untuk
meniru negara maju dalam melakukan pembaharuan di berbagai sektor publik dapat
meminimalisasi potensi kegagalan yang tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi,
dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibentuk itu, menurut Gerry Stoker dapat dibagi ke dalam enam tipe organisasi,
yaitu:
1. Tipe pertama
adalah organ yang bersifat central
government’s arm’s length agency;
2. Tipe kedua,
organ yang merupakan local authority
implementation agency;
3. Tipe ketiga,
organ atau institusi sebagai public/private
partnership organisation;
4. Tipe
keempat, organ sebagai user-organisation.
5. Tipe kelima,
organ yang merupakan inter-governmental
forum;
6. Tipe Keenam,
organ yang merupakan Joint Boards.
Ragam
bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, meliputi
pemerintah pusat, kementerian-kementerian yang bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate institutions. Organ-organ tersebut pada umumnya
berfungsi sebagai a quasi-governmental
world of appointed bodies, dan bersifat
non-departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya
quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang
fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur (regulator), tetapi juga
menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif.
Di negara-negara
demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga
dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak bertumbuhan lembaga-lembaga negara
baru. Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat
penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut
sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif,
administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru
dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.
Di antaranya, ada
pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen.
Badan-badan atau lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc itu, betapapun, menurut
John Alder, tetap dapat disebut memiliki alasan pembenaran konstitusionalnya
sendiri (constitutional justification).
Menurutnya[21],
“Ad hoc bodies can equally be used as a
method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands
of central government nominees without the safeguard of parliamentary or
democratic accountability. The extent of governmental control can be
manipulated according to the particular circumstances.”
Lembaga-lembaga
negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, menurut Sir Ivor Jennings,[22]
biasanya dibentuk karena salah satu dari lima alasan utama (five main reaons), yaitu:
1. The need
to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of
political interference. Berkembangnya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan
budaya atau pelayanan yang bersifat personal yang diidealkan bebas dari risiko
campur tangan politik, seperti misalnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The
desirability of non-political regulation of markets. Adanya keinginan untuk
mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, seperti misalnya
Milk Marketing Boards;
3. The
regulation of independent professions such as medicine and the law.
Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen seperti di bidang
hukum kedokteran;
4. The
provisions of technical services. Kebutuhan untuk mengadakan aturan
mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) seperti antara lain dengan dibentuknya komisi,
the Forestry Commission;
5. The
creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya
berbagai institusi yang berfungsi sebagai alat perlengkapan yang bersifat
semi-judisial untuk menyelesaikan berbagai sengketa di luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).
Kelima
alasan tersebut ditambah oleh John Alder dengan alasan keenam, yaitu adanya ide
bahwa public ownership of key sectors of
the economy is desirable in itself.[23]
Pemilikan oleh publik di bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor tertentu
dianggap lebih tepat diorganisasikan dalam wadah organisasi tersendiri, seperti
yang banyak dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik
Negara (BHMN).
Karena demikian
banyak jumlah dan ragam corak lembaga-lembaga ini, oleh para sarjana biasa
dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, dan quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi
tipe dan fungsi administrasinya, oleh Yves Meny dan Andrew Knapp, secara sederhana juga dibedakan adanya tiga
tipe utama lembaga-lembaga pemerintahan yang bersifat khusus tersebut (three main types of specialized
administration), yaitu: (i) regulatory
and monitoring bodies (badan-badan yang
melakukan fungsi regulasi dan pemantuan); (ii) those responsible for the management of public services (badan-badan
yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan umum); and (iii) those engaged in productive
activities (badan-badan
yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan produksi).[24]
Dari pengalaman
di berbagai negara, dapat diketahui bahwa semua bentuk organisasi, badan,
dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan di atas tumbuh begitu saja
bagaikan cendawan di musim hujan. Ketika ide pembaruan kelembagaan diterima
sebagai pendapat umum, maka dimana di semua lini dan semua bidang, orang
berusaha untuk menerapkan ide pembentukan lembaga dan organisasi-organisasi
baru itu dengan idealisme, yaitu untuk modernisasi dan pembaruan menuju
efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi masalah ialah,
proses pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa didasarkan atas
desain yang matang dan komprehensif.
Timbulnya
ide demi ide bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, tetapi
dibungkus oleh idealisme dan heroisme yang tinggi. Ide pembaruan yang menyertai
pembentukan lembaga-lembaga baru itu pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk
mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yang lebih
memberi kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh
karena itu, trend pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh bagaikan cendawan
di musim hujan, sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa disertai oleh penciutan
peran birokrasi yang besar.
Upaya
untuk melakukan slimming down
bureaucracies seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins,[25]
belum lagi berhasil dilakukan, lembaga-lembaga baru yang demikian banyak malah
sudah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan,
melainkan justru menambah inefisiensi karena meningkatkan beban anggaran
negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Kadang-kadang
ada pula lembaga yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu. Akan
tetapi, karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau
belum juga dibubarkan, sementara para pengurusnya terus menerus digaji dari
anggaran pendapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Dengan
perkataan lain, pengalaman praktek di banyak negara menunjukkan bahwa tanpa
adanya desain yang mencakup dan menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga
negara tersebut, yang akan dihasilkan bukanlah efisiensi, tetapi malah semakin
inefisien dan mengacaukan fungsi-fungsi antar lembaga-lembaga negara itu
sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan umum (public services). Apalagi,
jika negara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap
penyakit inferiority complex yang
mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktekkan di negara maju tanpa
kesiapan sosial-budaya dan kerangka kelembagaan dari masyarakatnya untuk
menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.
Perubahan-perubahan
dalam bentuk perombakan mendasar terhadap struktur kelembagaan negara dan
birokrasi pemerintahan di semua lapisan dan di semua sektor, selama sepeuluh
tahun terakhir dapat dikatakan sangat luas dan mendasar. Apalagi, dengan adanya
perubahan UUD 1945, maka desain makro
kerangka kelembagaan negara kita juga harus ditata kembali sesuai dengan cetak
biru yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama
dalam sejarah republik kita. Kalau dalam praktek, kita mendapati bahwa ide-ide
dan rancangan-rancangan perubahan kelembagaan datang begitu saja pada setiap
waktu dan pada setiap sektor, maka dapat dikatakan bahwa perombakan struktural
yang sedang terjadi berlangsung tanpa desain yang menyeluruh, persis seperti
pengalaman yang terjadi di banyak negara lain yang justru terbukti tidak
menghasilkan efisiensi seperti yang diharapkan. Karena itu, di masa transisi sejak
tahun 1998, sebaiknya bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan
besar-besaran dalam rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai
dengan amanat UUD 1945.
Hubungan AntarLembaga
Negara Berdasarkan UUD 1945
1. Pengertian Lembaga Negara
Untuk memahami pengertian lembaga atau
organ negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ
dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan
bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an
organ”.[26] Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan
oleh suatu tata-hukum (legal order)
adalah suatu organ.
Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik.
Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan
yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya
itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma
(norm applying). “These functions, be they of a
norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the
execution of a legal sanction”.[27]
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang
dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama
merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili
dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di
lembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam
pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang
menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara.
Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices)
dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).[28]
Di samping pengertian luas itu, Hans
Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang
sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ
negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang
tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu
transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau
perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.
Lembaga negara terkadang disebut dengan
istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga
negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh
UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula
yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking
kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan
dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan
UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden
tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap
pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk
dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi
tingkatannya.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi
negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie.
Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya;
organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) ,
sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.
Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada
pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ
yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah.
2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut
UUD 1945
Jika dikaitkan dengan hal tersebut di
atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari
34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga
tersebut adalah:
1)
Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)
diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul "Majelis
permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang
terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
2) Presiden yang
diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) Wakil
Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD
1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
4) Menteri
dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada
Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
5) Menteri
Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat
(3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan
sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu
yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri
Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri
dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri
Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja
terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama
mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8) Dewan
Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,
yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";[29]
9) Duta
seperti diatur dalam Pasal13 ayat (1) dan (2);
10) Konsul
seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan
Daerah Provinsi[30]
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD
1945;
12) Gubemur
Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD
1945;
14) Pemerintahan
Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan
ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala
Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD
1945;
16) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (3)
UUD 1945;
17) Pemerintahan
Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat
(7) UUD 1945;
18) Walikota
Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD
1945;
19) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD
1945;
20) Satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya
yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan
Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh
Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan
undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu
disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui
dan dihormati oleh negara.
21) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19
sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C
dan Pasal 220;
23) Komisi
Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum"
bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24)
Bank sentral yang disebut eksplisit oleh
Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan
undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank
sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank
Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang
berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa
Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F
(2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26)
Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya
diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27)
Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga
diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28) Komisi
Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary
organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29) Tentara
Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu
dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan
Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD
1945;
31) Angkatan Laut
(TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan
Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD
1945;
33) Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34) Badan-badan
lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".[31]
Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa
yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD
1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit
disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam
UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang
mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain
yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam
rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang
diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat
kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.
Namun, karena yang disebut dalam
Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari
satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang
fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan
fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud
misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini,
seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam
UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam
sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Misalnya, mengenai keberadaan Komnas
Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia
merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi
dan mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk
satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).
Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri
sangat penting bagi negara demokrasi konstitusional. Karena itu, meskipun
pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang-undang, tidak
ditentukan sendiri dalam UUD, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara
mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan
lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.
Sama halnya dengan keberadaan
Kejaksaan Agung dan kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi
konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat
kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang
ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30,
sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak disebut. Hal tidak disebutnya
Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945,
tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih
penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki constitutional
importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi
konstitusional atau negara hukum yang demokratis, haruslah memiliki perangkat
kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak
hukum yang efektif.
3.
Pembedaan Dari Segi Fungsi dan
Hierarki
Dari segi
fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada
pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari
segi hirarkinya, ke-30 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ
lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua
disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan
lembaga daerah. Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan
lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ
konstitusi pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara,
yaitu:
1) Presiden dan Wakil Presiden;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5) Mahkamah Konstitusi (MK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Organ lapis kedua dapat disebut
lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, dan ada pula
yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan kewenangan
dari UUD, misalnya, adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah
undang-undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, dan
sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat disebandingkan
satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, tetapi
jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang,
sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan
pembentukan undangundang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi
lapis kedua itu adalah:
1) Menteri Negara;
2) Tentara Nasional
lndonesia;
3) Kepolisian
Negara;
4) Komisi Yudisial;
5) Komisi pemilihan
umum;
6) Bank sentral.
Dari keenam lembaga atau organ negara
tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD
1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan
Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya,
yaitu sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Akan tetapi, nama
lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan
umum tidak disebut dengan huruf besar.
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat
(6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi
organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang.
Undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan
Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.
Selain itu, nama dan kewenangan bank
sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD
1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur
dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang
sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal
itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya dalam
undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal
23D tersebut, akan diatur dengan UU.
Dengan demikian derajat protokoler
kelompok organ konstitusi pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari
kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat
disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM),[32]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),[33]
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),[34]
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),[35]
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),[36]
Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya.
Kelompok ketiga adalah organ
konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya
berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang.
Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum
hanya didasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid
presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden
berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung kepada beleid
presiden.
Di samping itu, ada pula
lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah
Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang
dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga
negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga daerah itu adalah:
1) Pemerintahan Daerah Provinsi;
2) Gubemur;
3) DPRD provinsi;
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5) Bupati;
6) DPRD Kabupaten;
7) Pemerintahan Daerah Kota;
8) Walikota;
9) DPRD Kota
Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan dihormati
keberadaannya secara tegas oleh undang-undang dasar, sehingga eksistensinya
sangat kuat secara konstitusional.
Oleh sebab itu, tidak dapat tidak,
keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa itu harus pula dipahami sebagai bagian dari pengertian lembaga daerah
dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di
atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.
Di antara lembaga-lembaga negara yang
disebutkan dalam UUD 1945, ada
yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary
constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau
penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan di antara
keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain)
(i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan
fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau
pemerintahan negara ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu
kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun
lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi
Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim.
Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap
cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the
enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga
penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial
ethics).
Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan
kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis
permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sementara itu, di cabang kekuasaan
judisial, dikenal adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu
Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka pengawasan
terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul pengangkatan hakim agung,
dibentuk lembaga tersendiri yang bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat
independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah
Agung, dan karena itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada
pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary)
terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya dalam UUD
1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.
Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung
tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara
ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman ketentuan tentang
kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk
menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung.
Dalam setiap negara hukum yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan
sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa sebagai lembaga
penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai kepolisian negara
itu dalam UUD 1945, juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga
kepolisian negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat
kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti presiden,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya,
hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya kekuasaan sesuatu lembaga
dalam undang-undang dasar tidak serta merta menentukan hirarki kedudukan
lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik
Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Dengan demikian, dari segi keutamaan
kedudukan dan fungsinya, lembaga (tinggi) negara yang dapat dikatakan bersifat
pokok atau utama adalah (i) Presiden; (ii) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); (iii)
DPD (Dewan Perwakilan Daerah); (iv) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat); (v)
MK (Mahkamah Konstitusi); (vi) MA (Mahkamah Agung); dan (vii) BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). Lembaga tersebut di atas dapat disebut sebagai lembaga
tinggi negara. Sedangkan lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang
atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan
protokoler ketujuh lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan
sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana
diuraikan tersebut.
Oleh sebab itu, seperti hubungan
antara KY dengan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi
penentu yang pokok. Meskipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi
KY tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan
protokolemya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas Kejaksaan
dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara struktural dengan
organisasi POLRI dan Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu
bersifat independen dan atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dipandang
sederajat. Yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah
lembaga-lembaga tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama
negara, yaitu legislature, executive, dan judiciary.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), TNI, POLRI, Menteri
Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama
ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK,
dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary
atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, untuk
menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yang dipakai
tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya kewenangan MA dan MK
ditentukan dalam UUD 1945. Karena, kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan
dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI
dan POLRI dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan
di atas. TNI dan POLRI tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan
presiden dan wakil presiden, meskipun kewenangan TNI dan POLRI ditentukan tegas
dalam UUD 1945.
Demikian pula, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai
kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat
dikatakan berada di bawah POLRI dan TNI hanya karena kewenangan kedua lembaga
terakhir ini diatur dalam UUD 1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai
bank sentral juga tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD, melainkan hanya
ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank
Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan POLRI. Oleh sebab
itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga tersebut tidak otomatis
menentukan status hukumnya dalam hirarkis susunan antara lembaga negara.
4.
Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Lembaga Negara
Perubahan UUD 1945 yang bersifat
mendasar tentu mengakibatkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak
saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur
tentang kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan paradigma hukum dan
ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan
antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi
Konstitusi, Sistem Presidentil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.
Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan mendasar dalam
UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi "Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."
Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan
sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.
MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-lembaga tinggi
negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh
organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan
UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum
perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan
kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya
langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) kepada
organ-organ konstitusional.
Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD
1945 tidak dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.
Lembaga-Iembaga negara yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak
lagi seluruhnya hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan
berdasarkan kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945.
Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945,
sistem pemerintahan yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidentil.
Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben),
serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) memang
menunjukkan ciri sistem presidentil. Namun jika
dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, dan dapat
memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki ciri-ciri sistem
parlementer. Presiden adalah mandataris MPR dan sebagai konsekuensinya Presiden
bertanggungjawab kepada MPR dan MPR dapat memberhentikan Presiden.
Salah satu kesepakatan dalam Sidang
Tahunan MPR Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah "sepakat untuk
mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempumakan
agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil)." Penyempurnaan
dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan UUD 1945 terkait sistem
kelembagaan. Perubahan mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR yang
mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara,
sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan
sistem presidentil adalah menyeimbangkan legitimasi dan
kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama
antara DPR dan Presiden. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dan
mekanisme pemberhentian dalam masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6,
6A, 7, 7A, dan 8 UUD 1945. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat, maka memiliki legitimasi kuat dan tidak dapat dengan
mudah diberhentikan kecuali karena melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Proses usulan pemberhentian Presiden
dan atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme
politik, tetapi dengan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah masalah
pelanggaran hukum, maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi harus dilalui.
Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Perubahan, diganti dengan hak
mengusulkan rancangan undang-undang dan diserahkan kepada DPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Selain itu juga ditegaskan Presiden
tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
Pemisahan
Kekuasaan dan Check and Balances
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem
kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi
sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden
tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga
memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif
bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif)
dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dengan adanya perubahan kekuasaan
pembentukan undang-undang yang semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki
oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah
DPR, sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses
pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi
Presiden dalam hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan sebagai
legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
(dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Hubungan antara kekuasaan eksekutif
yang dilakukan oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR dan kekuasaan
yudikatif yang dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan sistem checks
and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan untuk
mengimbangi pembangian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi
kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu
kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan
undang-undang misalnya, walaupun ditentukan kekuasaan membuat undang-undang
dimiliki oleh DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dengan co-legislator, yaitu Presiden. Bahkan
suatu ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPR
dan Presiden serta telah disahkan dan diundangkan pun dapat dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK jika dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945.
Khusus mengenai DPD, meskipun terkait
dengan kekuasaan legislatif, khususnya berkenaan dengan rancangan undang-undang
tertentu, tetapi fungsinya tidak disebut sebagai fungsi legislatif. DPD hanya
berfungsi terbatas memberi saran, pertimbangan atau pendapat serta melakukan
pengawasan yang sifatnya tidak mengikat. Karena itu DPD bukan sepenuhnya
sebagai lembaga legislatif. Keberadaannya hanya bersifat penunjang terhadap
fungsi DPR.
Di sisi lain, Presiden dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR.
Pengawasan tidak hanya dilakukan setelah suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi
juga pada saat dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan
kedudukan DPR dalam hal ini cukup kuat karena memiliki fungsi anggaran secara
khusus selain fungsi legislasi dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur pada
Pasal 20A UUD 1945. Namun demikian kekuasaan DPR juga terbatas, DPR tidak dapat
menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali karena alasan pelanggaran
hukum. Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat
diajukan ke MPR.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, John. Constitutional
and Administrative Law. London: Macmillan, 1989.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta:
Ichtiar Baru-van Hoeve, , 1994.
-------------------------.
Masa Depan Hukum Di Era Teknologi Informasi: Kebutuhan Untuk Komputerisasi
Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan. Disampaikan pada Program Pendidikan
Lanjutan Hukum Teknologi Informasi dan Telekomunikasi. Lembaga Pendidikan
Lanjutan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin, 1 Mei 2000.
-------------------------.
Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945.
Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
Bennis, Warren G. “The
Coming Death of Bureaucracy”. Think,
Nov-Dec 1966.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Flynn, N. and S.
Leach. Joint Boards and
Joint Committees: An Evaluation. Birmingham: University of Birmingham,
Institute of Local Government Studies, 1984.
Goldsworthy, David
J. (ed.). Development and Social Change
in Asia: Introductory Essays. Radio Australia-Monach Development Studies
Centre, 1991.
Gough, Ian. The Political Economy of the Welfare State.
London and Basingstoke: The Macmillan Press, 1979.
Hodges, Donald C. The Bureaucratization of Socialism. The
University of Massachussetts Press, 1981.
Kelsen, Hans. General
Theory of Law and State. New York: Russell & Russell, 1961.
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara. Clean Government dan Good Government Untuk
meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik. Jakarta, 2005.
Kusuma, RM.A.B. Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Maurer, H. Allgemeines Verwaltungsrecht. 13th
edition. Munich:
Beck, 2000.
Meny, Yves and
Andrew Knapp. Government and Politics in
Western Europe: Britain, France, Italy, Germany. 3rd edition.
Ofxord University Press, 1998.
Osborne, David and
Ted Gaebler. Reinventing Government.
William Bridges and Associaties, Addison Wesley Longman, 1992.
Osborne, David and
Peter Plastrik. Banishing Bureaucracy:
The Five Strategies for Reinventing Government. A Plume Book, 1997.
Prodjodikoro,
Wirjono. Asas-Asas Hukum Tata Negara di
Indonesia. cet. Keenam. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.
Seerden, Rene
dan Frits Stroink (eds.). Administrative
Law of the European Union, Its Member States and the United States. Groningen: Intersentia Uitgevers Antwerpen,
2002.
Stoker, Gerry. The Politics of Local Government. 2nd
edition. London: The Macmillan Press, 1991.
loading...
0 Response to "CONTOH MAKALAH TENTANG HUKUM HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA PASCA PERUBAHAN UUD 1945 "
Post a Comment