A.
MAKNA MENJADI MANUSIA
Kemampuan manusia
untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar
yang memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu
melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam
diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat
wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai
kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan
manusia pun tidak punya makna bahkan
mungkin tak akan pernah ada.
Berfikir juga memberi
kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya
pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih
mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-nama, pada
dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa
Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan
kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al
Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk
berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun
(berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini
dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia
berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya
adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu
mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi
makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan,
dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta
mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah
kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam
berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian
kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna
pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan
kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding
makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di
muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
Pernyataan di atas
pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik
eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian
dari Alam ini. Dalam konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya,
para akhli telah banyak mengkaji perbedaan antara manusia dengan
makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia
yaitu hewan. Secara umum komparasi manusia dengan hewan dapat dilihat dari
sudut pandang Naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara
biologis pada dasarnya manusia tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan
bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang
belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat
perbedaan antara binatang dan manusia dan karenanya bahwa manusia itu adalah
suatu mesin.
Kalau manusia itu
sama dengan hewan, tapi kenapa manusia bisa bermasyarakat dan berperadaban yang
tidak bisa dilakukan oleh hewan ?, pertanyaan ini telah melahirkan berbagai
pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk yang bermasyarakat
(Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya (Antropologis), manusia
adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu
kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapien.
Dengan memahami
uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan
manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang
diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila
kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang
dengan tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah
bahaya untuk menunjukan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak
menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan
sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali (Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami
lebih jauh siapa itu manusia, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi
yang dikemukakan oleh para akhli :
·
Plato
(427 – 348). Dalam pandangan Plato manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur
jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai
tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan)
·
Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia itu
adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon
Politicon/Political Animal), hewan yang membangun masyarakat di atas
famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
·
Ibnu Sina (980 -1037 M). manusia adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1)
makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5)
pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang
umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan
1, 2, dan 3, serta hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
·
Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia adalah hewan dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan
ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemulyaan dan
ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
·
Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai
kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2) Al
Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah (sahwat).
·
Harold H. Titus menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he
is able to study himself as organism and to compare and interpret living forms
and to inquire about the meaning of human existence. Selanjutnya Dia
menyebutkan beberapa faktor yang berkaitan (menjadi
karakteristik – pen) dengan manusia sebagai pribadi yaitu :
i.
Self conscioueness
ii.
Reflective thinking, abstract thought, or the power
of generalization
iii.
Ethical discrimination and the power of choice
iv.
Aesthetic appreciation
v.
Worship and faith in a higher power
vi.
Creativity of a new order
·
William E. Hocking menyatakan : Man can be defined
as the animal who thinks in term of totalities.
·
C.E.M. Joad. Menyatakan : every thing and
every creature in the world except man acts as it must, or act as it pleased,
man alone act on occasion as he ought
·
R.F. Beerling. Menyatakan bahwa manusia itu tukang bertanya.
Dari uraian dan berbagai
definisi tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan tentang siapa
itu manusia yaitu :
1. Secara fisikal, manusia
sejenis hewan juga
2.
Manusia punya kemampuan untuk bertanya
3.
Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
4.
Manusia punya kemauan bebas
5.
Manusia bisa berprilaku sesuai norma
(bermoral)
6.
Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
7.
Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam totalitas dengan sadar
diri
8.
Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk percaya pada Tuhan
apabila dibagankan dengan mengacu pada pendapat di
atas akan nampak sebagai berikut :
|
MANUSIA
|
|
HEWANI/BASARI
|
|
INSANI/MANUSIAWI
|
JASAD/FISIK/BIOLOGIS
|
|
JIWA/AKAL/RUHANI
|
MAKAN
|
|
BERFIKIR
|
MINUM
|
|
BERPENGETAHUAN
|
TUMBUH
|
|
BERMASYARAKAT
|
BERKEMBANGBIAK
|
|
BERBUDAYA/BERETIKA/
BERTUHAN
|
Gambar 1.1. Dimensi-dimensi
manusia
Dengan demikian
nampaknya terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara manusia dengan makhluk lain khususnya hewan,
secara fisikal/biologis perbedaan manusia dengan hewan lebih bersifat gradual
dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat
dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti
jika manusia dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik
biologis seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh
berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi
adalah penggunaan akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan
pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat
beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong manusia
untuk berfikir tentang sesuatu yang melebihi pengalamannya seperti keyakinan
pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh ajaran Agama. Oleh karena itu
carilah ilmu dan berfikirlah terus agar posisi kita sebagai manusia menjadi
semakin jauh dari posisi hewan dalam konstelasi kehidupan di alam ini. Meskipun
demikian penggambaran di atas harus dipandang sebagai suatu pendekatan saja
dalam memberi makna manusia, sebab manusia itu sendiri merupakan makhluk yang
sangat multi dimensi, sehingga gambaran yang seutuhnya akan terus menjadi
perhatian dan kajian yang menarik, untuk itu tidak berlebihan apabila Louis Leahy berpendapat bahwa manusia
itu sebagai makhluk paradoksal dan sebuah misteri, hal ini menunjukan betapa
kompleks nya memaknai manusia dengan seluruh dimensinya.
B.
MAKNA BERFIKIR
Semua karakteristik
manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan
akibat dari anugrah akal yang
dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun
memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di
muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir,
berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak
melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai
pertanggungjawaban.
Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat
dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang
menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut
penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan
kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir
(penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan
manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap
penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan
cara tertentu saja yang disebut berfikir. Para
akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya
sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak
mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak
serta merta mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan
ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup
mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental,
bila seseorang secara mental sedang mengikatkan
diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang
tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir
merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan
sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran
mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir
manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia
menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta
mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.
Sementara itu Partap Sing Mehra memberikan definisi
berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan
sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan
berfikir baru mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui
sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain,
sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan
hal ini kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang
kemudian diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua
definisi yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling
melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan
pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh
pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian
pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujus S Suriasumantri Berfikir merupakan
suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian
gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai
pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir
mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang
sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan
berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa
proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu :
·
Conception (pembentukan gagasan)
·
Judgement (menentukan sesuatu)
·
Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
bila seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir
tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum
tentang sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan
(mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.
Cakupan
proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi
pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan)
berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. Menurut John Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai
berikut :
·
Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit
mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
·
Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
·
Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa,
inferensi atau teori.
·
Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan
implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
·
Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik
melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sementara
itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
·
Timbul rasa sulit
·
Rasa sulit tersebut didefinisikan
·
Mencari suatu pemecahan sementara
·
Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada
kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
·
Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental
·
Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju
pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali
menimbulkan rasa sulit.
·
Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental tentang situasi yang akan datang untuk dapat
menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut
di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir
ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan
tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar,
baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan
abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang
yang berfikir tersebut.
C. MAKNA PENGETAHUAN
Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui
agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar, sekarang
apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?, menurut Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan
objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu
kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan
demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman menyebutnya hubungan subjek
dan objek (Knowledge : relation between
object and subject). Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui
(berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui.
Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas
yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu
jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti
berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus
berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga
objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa
semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan
sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi
tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu
dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan pada
hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu,
termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S
Suriasumantri,), Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur
yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran
konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal
sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang
menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas,
terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan
dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang
bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang
itu hidup (Harold H Titus).
D. BERFIKIR DAN PENGETAHUAN
Berfikir
dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa
pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih
lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan
pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal, bila digambarkan
Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan
terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin
banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir,
demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi
pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun
semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam
suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping
itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka
ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal
dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan
pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
·
Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan
eksistensial)
·
Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan
pengetahuan ilmiah (ilmu)
·
Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan
filosofis (filsafat)
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di
atas mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah
bersifat gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan
manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi
pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar
(logika), dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit
tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan
tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa
menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan
hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial). Gradasi
berfikir dan berpengetahuan sebagai dikemukakan terdahulu dapan dibagankan
sebagai berikut :
Pengetahuan
Filosofis
Gambar 1.3. Hirarki
gradasi berfikir
Berpengetahuan
merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk
itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir
untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua
alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu :
1.
manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara
binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya.
2.
manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun
eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk
menjawabnya.
Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi
manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang
dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya
kemusnahan manusia (meski kenyataan
menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih mampu membuat
kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat)
jelaskan perbedaan manuaia
dengan hewan?
1.
apa yang dimaksud dengan berfikir?
2.
apa yang dimaksud dengan pengetahuan?
3.
jelaskan hubungan antara berfikir dan pengetahuan?
4.
mengapa manusia perlu berfikir dan berpengetahuan?
5.
sebutkan danjelaskan jenis-jenis berfikir dan pengetahuan?
6.
mengapa manusia merupakan satu-satunya makhluk di dunia yang bisa
beragama?
B A B 2
F I L S A F A T
Aku tidak boleh mengatakan bahwa mereka
bijaksana, sebabkebijaksanaan adalah sesuatu yang luhur, dan hanya dimiliki
oleh Tuhan sendiri. Sebutan yang bersahaja, yaitu yang selayaknya diberikan kepada
mereka adalah pencinta kebijaksanaan atau akhli Filsafat (Socrates dalam Phaedrus karya Plato)
A.
PENGERTIAN FILSAFAT
Secara
etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo”
berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu
menurut I.R. Pudjawijatna (1963 : 1) “Filo artinya cinta
dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin lalu berusaha
mencapai yang diinginkannya itu . Sofia
artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam,
jadi menurut namanya saja Filsafat boleh
dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam
atau cinta dengan kebijaksanaan.
Kecintaan
pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya
segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana
di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik adalah sesuatu yang
berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi
sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian berfilsafat
berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan kebenaran,
berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara radikal
sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berfilsafat mengandung
kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau
berfilsafat. Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyatakan bahwa pekerjaan
berfilsafat itu ialah berfikir, dan hanya manusia yang telah tiba di tingkat
berfikir, yang berfilsafat. Guna lebih memahami mengenai makna filsafat berikut
ini akan dikemukakan definisi filsafat
Dari
beberapa pengertian di atas nampak bahwa ada akhli yang menekankan pada
subtansi dari apa yang difikirkan dalam berfilsafat seperti pendapat Plato dan
pendapat Al Farabi, Aristoteles lebih menekankan pada cakupan apa yang
difikirkan dalam filsafat demikian juga Kant setelah menyebutkan sifat
filsafatnya itu sendiri sebagai ilmu pokok, sementara itu Cicero disamping menekankan pada substansi
juga pada upaya-upaya pencapaiannya. Demikian juga H.C. Webb melihat
filsafat sebagai upaya penyelidikan tentang substansi yang baik sebagai suatu
keharusan dalam hidup di dunia. Definisi yang nampaknya lebih menyeluruh adalah
yang dikemukakan oleh Titus, yang menekankan pada dimensi-dimensi filsafat dari
mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah, serta sistem berfikir.
Meskipun
demikian, bila diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian
tersebut lebih bersifat saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa
berfilsafat berarti penyeledikan tentang Apanya, Bagaimananya,
dan untuk apanya, dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang bila
dikaitkan dengan terminologi filsafat tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi
(bagaimananya), dan axiologi (untuk apanya)
B. CIRI-CIRI FILSAFAT
Bila
dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai
karakteristik tertentu. Menurut Sutan
Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a)
Berfikir dengan teliti, dan b) Berfikir
menurut aturan yang pasti. Dua ciri tersebut menandakan berfikir yang
insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi
Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat
adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal
bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak
tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak
terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik
artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara
menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
Sementara itu Sudarto (1996)
menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir
Filsafat adalah :
a. Metodis
: menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat)
dalam proses berfikir
b. Sistematis
: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan
sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
c. Koheren
: diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan
dan tersusun secara logis
d. Rasional
: mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah
logika)
e. Komprehensif
: berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
f.
Radikal : berfikir
secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang
sedalam-dalamnya
g. Universal
: muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan
manusia secara keseluruhan
Dengan
demikian berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi
berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan
mendalam. Pada dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta
merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan
dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap
masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran
jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.
C. OBJEK
FILSAFAT
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat
bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena
segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi
objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna
mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja
filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta
segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan
bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara
radikal dan menurut sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan
bahwa tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang
tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting, sehingga
persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1)
Adakah Allah dan siapakan Allah
itu ?, 2) apa dan siapakah
manusia ?, dan 3) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya,
dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental
Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok
filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter
(materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara
materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab),
Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak),
dan God (Tuhan)
Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan
betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah
maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
objek filsafat adalah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian
yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek
filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek
yang secara wujudnya dapat dijadikan
bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut
sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.
Menurut
Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa yang
ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat dibagi
atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam;
dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari
keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian
objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang
dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan
tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata
lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam
memikirkan objek material filsafat.
D.
SISTIMATIKA
FILSAFAT
adapun
Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat antara lain adalah :
1.
Ontologi. Bidang filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on =
being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
2.
Epistemologi. Filsafat yang menyelidiki tentang sumber, syarat serta
proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge; logos =
ilmu/teori/pemikiran)
3.
Axiologi. Bidang filsafat yang menelaah tentang hakikat
nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
Sementara itu menurut Gahral Adian, Pendekatan filsafat
melalui sistimatika dapat
dilakukan dengan mengacu
pada tiga
pernyataan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yaitu :
1.
Apa yang dapat saya
ketahui ?
2.
Apa yang dapat saya harapkan ?
3.
Apa yang dapat saya lakukan ?
ketiga
pertanyaan tersebut menghasilkan tiga
wilayah besar filsafat yaitu wilayah
pengetahuan, wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga wilayah besar tersebut
kemudian dibagi lagi kedalam wilayah-wilayah bagian yang lebih spesifik.
Wilayah nilai mencakup nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika
(keindahan), wilayah Ada
dikelompokan ke dalam Ontologi dan Metafisika, dan wilayah
pengetahuan dibagi ke dalam empat wilayah yaitu filsafat Ilmu,
Epistemologi, Metodologi, dan
Logika. lebih lanjut ketiga wilayah tersebut diskemakan sbb :
CABANG-CABANG
FILSAFAT
Dengan
memahami Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat, nampak bahwa betapa luas
cakupan filsafat mengingat segala sesuatu yang ada dapat dijadikan substansi
bagi pemikiran filsafat, namun demikian dalam perkembangannya para akhli
mencoba mengelompokan cabang-cabang Filsafat kedalam beberapa pengelompokan
sehingga nampak lebih fokus dan sistematis. Pencabangan ini pada dasarnya
merupakan perkembangan selanjutnya dari pembidangan/sistematika filsafat,
seiring makin berkembangnya pemikiran manusia dalam melihat substansi objek
material filsafat dengan titik tekan penelaahan yang bervariasi. Berikut ini
akan dikemukakan pendapat beberapa pakar tentang cabang-cabang filsafat.
adalah
:
1.
Filsafat sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of
thought)
2.
Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)
3.
Filsafat sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat
sebagai metode berfikir berarti filsafat dipandang sebagai suatu cara manusia
dalam memikirkan tentang segala sesuatu secara radikal dan menyeluruh, Filsafat
sebagai pandangan hidup mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam
kehidupan baik intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat
sebagai Ilmu artinya melihat filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang
mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu ilmu.
G. SEJARAH
SINGKAT FILSAFAT
Sejarah
filsafat dapat diperiodisasi ke dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
1. Tahap/masa
Yunani kuno (Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
2. Tahap/masa
Abad Pertengahan (akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
3. Tahap/masa
Modern (akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
4. Tahap/masa
dewasa ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
sementara itu
K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976)
menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
1.
Masa Purba Yunani
2.
Masa Patristik dan Abad pertengahan
3.
Masa Modern
Pembagian
periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer
(Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan
yaitu :
1.
Yunani Kuno (+ 600 SM)
2.
Filsuf-filsuf Manusia Yunani
3.
Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
4.
Filsafat Modern (17-19 M)
5.
Positivisme (Abad 20 M)
6.
Alam Simbolis
kemudian Gahral
Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi
yaitu Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi
sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan
menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Masa
Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk
mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru
sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu
itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos).
Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan
biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?,
pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot
yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan
tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of
the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains
juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water
is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air
merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai
wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan
jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya
masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron,
Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500
S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos
(460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes
(585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M)
menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di
dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi jawaban yang
dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak
dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia,
sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat
Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya
melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam,
para akhli fikir Yunani pun banyak yang
berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik
tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan
berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang
banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia
sangat menentang ajaran
kaum Sofis
Yang
cenderung mempermainkan kebenaran, Socrates berusaha
meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan
sebagai nilai-nilai yang
objektif yang
harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan
pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada
kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai penghasut,
dan akhirnya dia dihukum mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah
Socrates mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato
(427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato
yang penting adalah berkaitan dengan
pembagian relaitas ke dalam dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka
bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari
idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide
sifatnya sempurna dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan
pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil
mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, menurut
Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya
bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala
sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga benar kata
Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat
seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M),
seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato
meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua
tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion,
dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat,
Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga
yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis
amica veritas – Plato memang
sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku – ungkapan ini terkadang
diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai
kebenaran”)
Aristoteles
mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum
dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu
sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi,
Morphe = bentuk), menurut teori ini,
setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh,
sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung
misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia,
keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk
memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu
merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu
pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme
juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari
materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas
dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya
(bentuk) juga akan hancur.
Disamping
pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu
cara berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan
sebab akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme
(masalah ini akan diuraikan khusus dalam
topik Logika) yaitu menarik kesimpulan
dari kenyataan umum atas hal yang khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan.
Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat
kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan
corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles
(atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang
lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode
Hellenistik (Hellenisme
adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan
Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir
Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian
pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan
semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan)
dan bercorak Mistik.
Menurut A. Epping. at al (1983),
ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah :
1.
Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
2.
Berfilsafat di dalam
lingkungan ajaran Aristoteles
3.
berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
pada masa ini
filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat abad pertengahan
bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini
tidak mengherankan mengingat pada masa ini pengaruh Agama Kristen sangat besar
dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran.
Filsafat abad pertengahan sering
juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak
semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang
terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional
(terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat
dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun
terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut
pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya
pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia
pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan
filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran
yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia
Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke
dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di
dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi
(801-865 M), Al Farabi (870-950
M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111
M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen
lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti Peter
Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas
Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga
orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak
pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan
filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim
untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran
Rasional).
Masa Modern.
Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya
dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara
ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai
zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi
kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting
adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito
ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan
ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin
kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir
menguatkan kepada kepastian.
Dalam perkembangnnya argumen
Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut
Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka
berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan
empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804)
yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga
dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang
terkenal sapere aude(berani berfikir
sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia
tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan
empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah
munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan
berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam
berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik,
dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini
manusia belum bisa memahami hal-hal yang
berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat
dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat
dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana.
Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap
animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya
tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan
atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah
kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang
menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian
sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan
pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia
selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap
kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka
pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya
hukum-hukum alam, dengan bekal itu
manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya
pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih
mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan
tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme
mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari
pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini
berarti dua tahapan sebelumnya merupakan
tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme
merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat
diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai
arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui
(fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus
menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta
hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa
yang akan terjadi, Comte menyebut
hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat
positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan
bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh positivisme yang sangat
besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir
untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya
dikemukakan oleh Daniel Bell dalam
bukunya The cultural contradiction of
capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme
yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi
hedonis konsumeristis.
Postmodernisme pada dasarnya
merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta
kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi
kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai
kehidupan.
NB : VERSI LENGKAPNYA,,,SILAHKAN TINGGALKAN E-MAIL SOBAT.................
loading...
0 Response to "SKRIPSI ILMU PEMERINTAHAN FILSAFAT ILMU"
Post a Comment