BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Bahasa memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat sebagai sarana komunikasi. Setiap anggota masyarakat
dan komunitas tertentu selalu terlibat dalam komunikasi, baik bertindak sebagai
komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra-bicara,
penyimak, atau pembaca). Peristiwa komunikasi yang berlangsung menjadi tempat
untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan
sebagainya. Dengan demikian, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi untuk
menyampaikan pesan atau maksud pembicara kepada pendengar (Nababan, 1992:66).
Bahasa menjadi salah satu media yang paling penting dalam komunikasi baik
secara lisan maupun tulis.
Dalam konteks komunikasi
tulis, Halliday dan Hasan (1994:34-35) mengemukakan tiga metafungsi bahasa.
Ketiga metafungsi yang dimaksud adalah fungsi ideasional (ideational function), fungsi interpersonal (interpersonal function), dan fungsi tekstual (textual function). Ketiga metafungsi ini sangat penting dalam
kaitannya dengan analisis wacana dan penggunaan bahasa dalam proses sosial
dalam masyarakat.
Pada peristiwa komunikasi,
bahasa berfungsi ideasional dan interpersonal. Sedangkan untuk merealisasikan
dan mewujudkan adanya wacana, bahasa berfungsi tekstual. Dalam hal ini, para
partisipan (penutur dan mitra-tutur, pembicara dan mitra-bicara) berkomunikasi
dan berinteraksi sosial melalui bahasa dalam wujud konkret berupa wacana (lisan
atau tulis) (Sumarlam, 2003:4). Dengan adanya wacana untuk berkomunikasi dan
melakukan interaksi sosial, dapat ditegaskan bahwa fungsi tekstual pada
hakikatnya merupakan sarana bagi terlaksananya kedua fungsi lainnya, yaitu
fungsi ideasional dan fungsi interpersonal.
Dalam fungsi tekstual, yang
menjadi objek kajian penelitian ini salah satu contohnya adalah dalam bentuk
media cetak atau surat kabar (yang selanjutnya disingkat SK). SK merupakan
sarana komunikasi yang dalam penyajiannya menggunakan bahasa tulis. SK menjadi
salah satu sarana yang penting dalam kehidupan masyarakat karena dapat
memberikan informasi yang aktual dan luas.
Salah satu SK yang terbit di
Semarang adalah Harian Sore Wawasan (HSW)
yang memuat peristiwa terkini dari dalam dan luar negeri. Yang membedakan
dengan media cetak lainnya ialah waktu terbit pada sore hari. Pemilihan waktu
ini diperuntukkan secara umum bagi kalangan masyarakat yang memiliki waktu
luang pada sore hari untuk mendapatkan berita. Hal ini dikarenakan pada kaum
tertentu telah menghabiskan waktu pagi dan siang untuk bekerja sehingga tidak
sempat mendapatkan informasi yang terbaru pada hari itu juga. HSW menjadi salah
satu pilihan dengan keunggulan berita terkini yang tidak terdapat pada surat
kabar lainya.
Dalam salah satu kolom HSW
terdapat suatu rubrik bernama “Blaik” yang memberikan informasi
berupa cerita naratif yang dikirimkan oleh pembaca. Dalam kenyataannya banyak
pembaca harian ini yang memberikan perhatian dan apresiasi positif terhadap
artikel ini. Hal ini dapat dilihat dari tumpukan kumpulan cerita yang masuk ke
redaksi, sehingga tidak jarang dilakukan penyeleksian secara ketat terhadap
artikel yang akan dimuat. Bahkan banyak pembacanya menyempatkan membaca rubrik
ini sebelum membaca berita lainnya. Alasannya, mereka telah jenuh membaca
berita yang berkisar pada berita kriminal, politik, atau bencana saja. Mereka
menginginkan bacaan yang ringan, tidak membebani serta segar dan menghibur.
Dengan membaca kolom ini, mereka merasa terhibur, meski hanya sesaat.
Rubrik
semacam ini merupakan salah satu usaha perusahaan percetakan surat kabar untuk
meningkatkan kualitas dan daya tarik penerbitan tersebut. Berkaitan dengan ini,
kolom atau rubrik “Blaik” dalam HSW
(untuk kemudian disingkat RB), kehadirannya merupakan salah satu kolom andalan
yang menjadikan media ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pembacanya
(khususnya wilayah Semarang dan sekitarnya).
Penelitian yang mendalam
terhadap rubrik “Blaik” dalam HSW
dilakukan dengan menggunakan kajian secara linguistik, hal ini dikarenakan
dalam penyajiannya menggunakan satuan wacana dengan ciri khas tersendiri.
Kajian linguistik yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah analisis
wacana. Analisis wacana ialah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi.
Analisis wacana RB ini
menggunakan pendekatan mikrostruktural. Pendekatan mikrostruktural
menitikberatkan pada mekanisme kohesi tekstual untuk mengungkapkan urutan
kalimat yang dapat membentuk sebuah wacana menjadi koheren (Sumarlam,
2003:138). Di samping itu, wacana RB juga akan diteliti dari aspek-aspek
kebahasaan yang meliputi diksi dan gaya bahasa yang merupakan ciri khas dalam
RB dan menjadi sumber kelucuan atau humor. Oleh sebab itu penulis tertarik
untuk mengangkatnya sebagai objek penelitian.
Wacana RB sangat menarik untuk
dianalisis dengan penelitian analisis wacana secara utuh. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan di dalam analisis wacana dihasilkan proses komunikasi
verbal yang berkesinambungan dari awal hingga akhir. Tahapan komunikasi
tersebut akan menentukan struktur wacana dalam penelitian RB. Selain itu
penggunaan bahasa dalam RB sangat unik dan khas sehingga membuat penulis
tertarik untuk mengkaji secara linguistik.
Berkaitan dengan latar
belakang di atas, permasalahan yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini
adalah struktur mikro yang terdapat dalam Rubrik “Blaik” pada harian sore Wawasan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur mikro yang terdapat dalam
Rubrik “Blaik” pada harian sore Wawasan.
C. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian sebelumnya
yang dinilai cukup relevan dengan penelitian ini antara lain dilakukan oleh
Setiawan (2002) yang meneliti “Analisis Keutuhan Wacana Iklan Paranormal
Majalah Liberty”. Penelitian ini
berusaha mengidentifikasi struktur wacana iklan mengenai kohesi gramatikal dan
leksikal, serta koherensi antarkalimat dalam unsur wacana. Penelitian ini terdiri
atas dua komposisi iklan, yaitu headline dan kopi/bodi teks serta dua bagian
lain sebagai pendukung, yakni subjudul dan slogan.
Penelitian
lainnya dari Rohmani, tentang analisis wacana kaos oblong Dagadu Djokja tahun
2002. Peneliti mengkaji wacana dari struktur mikro, makro, dan superstruktur.
Hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa tema-tema yang diangkat
dalam wacana kaos oblong Dagadu Djokja digolongkan menjadi dua, yaitu
kekurangan dan kelebihan kota Yogyakarta. Dalam struktur mikro diperoleh
hal-hal yang melatarbelakangi munculnya teks-teks Dagadu Djokja. Dagadu
menggunakan detail materi yang singkat agar lebih mudah dipahami. Dalam elemen
sintaksis yang berupa kohesi dan koherensi menyebabkan teks-teks Dagadu Djokja
menjadi enak dan mudah dibaca.
Penelitian sejenis yang
mengkaji analisis wacana juga dilakukan oleh Riswanto (2005) dengan judul
“Analisis Wacana Rubrik “Nah Ini Dia”. Penelitian ini menggunakan konsep
analisis makrotekstual, mikrotekstual, dan fenomena kebahasaan. Pada analisis
makrotekstual ditekankan pada topikalisasi dan konteks, sedangkan analisis
mikrotekstual lebih kepada kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Sedangkan
fenomena kebahasaan mencakup campur kode dan majas.
Analisis wacana lain yang
cukup relevan ditulis oleh Kumalasari dengan skripsinya yang berjudul “Analisis
Wacana Kolom Pojok Semarang di harian Suara
Merdeka” pada tahun 2004. Kumalasari menggunakan pendekatan makrostruktural
dan mikrostruktural. Analisis wacana melalui pendekatan mikrostruktural didapatkan
kekohesian dan kekoherensian, sehingga wacana mudah dibaca. Tujuan penelitian
ini yaitu, 1) untuk mendapatkan gambaran singkat tentang Kolom Pojok Semarang,
2) untuk menjelaskan struktur makro dan mikro, dan 3) untuk mendapat aspek
kebahasaan lain. Hasil penelitian tersebut mengidentifikasi bahwa situasi yang
terjadi dalam sebuah peristiwa tergantung pada waktu dan lokasi tertentu. Selain
itu, penelitian yang dilakukan terdapat topik yang bermacam-macam sesuai dengan
peristiwa yang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat. Kolom Pojok Semarang
ini juga memenuhi fungsi pers, yaitu sebagai kontrol sosial dan merupakan salah
satu bentuk bahasa yang diungkapkan penulisnya terhadap realitas dan temuan
dalam bidang politik, sosial, ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat.
Analisis lainnya mengenai
rubrik di media juga ditulis oleh Wedha. Dia memilih objek penelitian berupa
rubrik “Parodi” di harian Kompas pada
tahun 2006. Hasil penelitian tersebut terdiri atas kohesi dan koherensi yang
dilengkapi dengan identifikasi terhadap asal mula kemunculan rubrik “Parodi”.
Aspek kohesi terbagi atas kohesi leksikal dan gramatikal, sedangkan aspek
koherensi lebih kepada hubungan semantik yang ditimbulkan. Identifikasi
terhadap rubrik “Parodi” menghasilkan tiga pokok bahasan, yaitu pengertian
parodi, struktur tubuh wacana yang dibagi menjadi bagian awal, tubuh, dan
penutup, serta fungsi yang meliputi ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Penelitian tentang analisis wacana lain dapat
dijumpai dalam buku Teori dan Praktik
Analisis Wacana oleh Sumarlam (2003). Buku tersebut memuat kumpulan
beberapa penelitian analisis wacana yang dilakukan oleh mahasiswa Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang terdiri atas analisis wacana karya
sastra, analisis wacana media cetak, serta analisis wacana media elektronik.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode distribusional. Metode ini dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap
pengumpulan data, tahap penganalisisan data, dan tahap penyajian data.
1) Tahap Pengumpulan Data
Dalam
tahap ini digunakan teknik simak, yaitu peneliti menyimak edisi RB di HSW yang
terbit pada bulan Januari dan Februari tahun 2007. Penunjukan edisi ini
berdasarkan pada tampilannya yang eksklusif serta termasuk edisi spesial awal
tahun tersebut. Edisi ini merupakan karya pilihan yang menampilkan semua tokoh
dan lebih banyak mengandung variasi ide pokok cerita. Sedangkan pemilihan tahun
penulisan skripsi ini disesuaikan dengan waktu usulan penelitian ini, yang
terkumpul sebanyak 28 buah artikel. Sampel edisi tersebut dianggap telah
mewakili aspek penelitian yang akan dilakukan karena dimungkinkan setiap edisi
RB dalam HSW memiliki bentuk wacana serta pola-pola wacana yang sama.
Teknik
lain yang digunakan adalah teknik catat. Peneliti melakukan pencatatan pada
kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi data (Sudaryanto
1993:135). Data yang sudah ditranskripsi tersebut diklasifikasikan menurut
aspek-aspek yang menjadi sarana pendukung keutuhan wacana. Pencatatan itu dapat
dilakukan langsung ketika teknik simak selesai.
2) Tahap Analisis Data
Pada tahapan ini digunakan
analisis silang (cross analysis).
Analisis silang memungkinkan data dianalisis lebih dari satu sudut pandang.
Dengan kata lain, data yang sama dapat dijadikan contoh lebih dari satu kali,
akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Analisis data menggunakan metode
agih yang alat penentunya adalah bahasa itu sendiri. Dalam metode agih terdapat
tujuh macam teknik lanjutan. Ketujuh teknik tersebut tidak semuanya diterapkan
dalam penelitian ini, adapun beberapa teknik lanjutan yang digunakan adalah
teknik interupsi (ekspansi di dalam) dan teknik ganti.
Teknik interupsi (ekspansi di
dalam) digunakan untuk membuktikan bahwa kata-kata yang dipakai penulis sesuai
dengan yang dimaksud oleh penutur dalam teks tersebut. Namun demikian, teknik
interupsi (ekspansi di dalam) tidak digunakan dalam penelitian ini. Penulis
hanya meminjam istilah teknik analisis tersebut. Contoh
dalam wacana RB seperti berikut.
(1)
Djo langsung pucat, apalagi
melihat tatapan Menik yang begitu tajam. Djo tidak bisa berkutik. “Kiri, Ф sini
saja. Dasar playboy gombal,” ujar
Menik. (RB, 06/01/2007)
Penggalan kalimat di atas menceritakan kebiasaan Djo
Koplak yang senang merayu wanita. Dia
bertindak sebagai sopir angkot dan Menik merupakan penumpang satu-satunya. Djo
Koplak mengaku masih bujangan padahal sudah berkeluarga. Pada saat bersamaan
datanglah temannya, Pongkring, yang tanpa basa-basi langsung menanyakan kabar
kelahiran anak kedua Djo Koplak yang memang sudah lama dikenalnya. Menik yang
mengetahui telah dibohongi, langsung marah dan minta turun dari angkot saat itu
juga.
Bentuk di atas mengalami interupsi yang terdapat pada
kalimat ketiga. Kata yang mengalami interupsi tersebut adalah berhenti,
yang berfungsi sebagai predikat. Kata tersebut menggambarkan sebuah tindakan
yang merupakan tanggapan Menik yang telah dibohongi dengan meminta berhenti dan
turun dari angkot saat itu juga. Kalimat
tersebut muncul karena sesuatu yang termuat dalam kalimat sebelumnya.
Penggunaan elipsis itu untuk efektifitas dan efisiensi berbahasa.
Teknik ganti digunakan untuk mengganti unsur tertentu
dengan unsur lain (Sudaryanto, 1993:48). Contohnya:
(2)
Djo dan Pongkring saat itu
sedang berdebat seru tentang Jeng Cipluk tetangga di kampungnya yang menurut
berita, katanya di samping sebagai seorang mahasiswa juga mempunyai profesi
ganda yaitu sebagai ayam kampus. Awal mula berita
ini terdengar oleh Pongkring. Sehingga begitu mendengar kabar, Pongkring
langsung wara-wara pada Djo. (RB, 09/01/2007)
Pada contoh di atas frase berita
ini dapat menggantikan sebagian proposisi yang disebutkan dalam kalimat
yang mendahului. Frase itu menggantikan hal yang telah disebutkan lebih dahulu,
yaitu berita tentang Jeng Cipluk yang berprofesi ganda, yakni seorang mahasiswa
juga sebagai ayam kampus.
3) Tahap Penyajian Hasil Data
Dalam
tahap ini digunakan metode penyajian informal, yaitu penyajian hasil analisis
dengan menggunakan kata-kata biasa. Dengan digunakan metode informal,
penjelasan tentang kaidah menjadi lebih rinci dan terurai. Hasil analisis data
yang disusun dan disajikan bersifat deskriptif, yaitu berdasarkan data yang
merupakan gambaran permasalahan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengantar
Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif
kompleks lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata,
frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada
dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian
dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai alat (piranti) yang
cukup banyak. Oleh karena itu, kajian tentang wacana menjadi hal yang penting
dalam proses pembelajaran bahasa. Tujuannya untuk membekali pemakai bahasa agar
dapat memahami dam memakai bahasa dengan baik dan benar.
Istilah wacana mengandung
pengertian yang kompleks dan kadang-kadang tidak mudah untuk dijelaskan. Sebuah
wacana erat kaitannya dengan penggunaan bahasa Sebuah wacana juga dapat
dianggap sebagai sebuah teks dan konteks. Oleh sebab itu, untuk menjelaskan
pengertian wacana, pembicaraan diawali pada hal-hal yang berkaitan dengan
deskripsi penggunaan bahasa.
B. Analisis Wacana sebagai Sebuah Alternatif Analisis Teks Media
Pembicaraan tentang penggunaan
bahasa erat kaitannya dengan mencermati fungsi bahasa. Fungsi bahasa merupakan
penggunaan bahasa oleh penuturnya untuk berbagai tujuan. Buhler dalam
Oktavianus merumuskan bahwa bahasa memiliki fungsi ekspresif, fungsi konatif,
dan fungsi representatif. Melalui fungsi ekspresif, bahasa digunakan oleh
penuturnya untuk mengekspresikan diri dalam segala situasi. Melalui fungsi
konatif, bahasa digunakan untuk mempengaruhi lawan tutur yaitu memerintah,
menasihati, mengundang, mengajak, dan lainnya. Melalui fungsi representasi
bahasa digunakan untuk menggambarkan situasi yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan.
Senada
dengan fungsi-fungsi di atas, Halliday juga mengemukakan tiga metafungsi
bahasa, yaitu fungsi ideasional (ideational
function), fungsi interpersonal (interpersonal
function), dan fungsi tekstual (textual
function). Ketiga metafungsi ini sangat penting karena berhubungan dengan
penggunaan bahasa dalam proses sosial di dalam suatu masyarakat; dan dengan
demikian pula dalam kaitannya dengan analisis wacana.
Fungsi
pertama, fungsi ideasional berkaitan dengan peranan bahasa untuk mengungkapkan
ide, gagasan, dan isi pikiran, serta untuk merefleksikan realitas pengalaman
partisipannya. Fungsi kedua, fungsi interpersonal berkaitan dengan peranan
bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk mengungkapkan
peranan-peranan sosial dan peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh
bahasa itu sendiri. Fungsi interpersonal ini tampak pada struktur yang
melibatkan bermacam-macam modalitas dan sistem yang dibangunnya. Fungsi ketiga,
fungsi tekstual berkaitan dengan peranan bahasa untuk membentuk berbagai mata
rantai kebahasan dan mata rantai unsur situasi yanag memungkinkan digunakannya
bahasa oleh para pemakainya baik secara lisan maupun tertulis. Fungsi tekstual
tampak pada struktur yang melibatkan tema (theme)
dan rima (rhyme), yaitu struktur
tematik dan struktur informasi.
Dalam
hal ini, para partisipan (penutur dan mitra-tutur, pembicara dan mitra-bicara)
berkomunikasi dan berinteraksi sosial melalui bahasa dalam wujud konkret berupa
wacana (lisan atau tulis). Dengan demikian, bahasa berfungsi ideasional dan
interpersonal; sedangkan untuk merealisasikan dan mewujudkan adanya wacana,
bahasa berfungsi tekstual. Fungsi tekstual tersebut pada hakikatnya merupakan
sarana bagi terlaksananya kedua fungsi lainnya, yaitu fungsi ideasional dan
fungsi interpersonal.
Dari uraian tersebut
disimpulkan bahwa wacana baik lisan maupun tulis mengemban fungsi tekstual dan
di dalam fungsi tekstual itulah ide-ide, gagasan, dan isi pikiran diungkapkan.
Melalui wacana itu pula antaranggota masyarakat (partisipan) berkesempatan
menjalin komunikasi dan pergaulan serta dapat melakukan interaksi sosial
dan bekerja sama.
Analisis wacana adalah salah
satu altenatif dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan
dan banyak dipakai. Jika analisis kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan
“apa” (what), analisis wacan lebih
melihat pada “bagaimana” (how) dari
pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana dapat diketahui bagaimana
isi teks berita dan pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan
struktur kebahasaan yang meliputi kata, frase, kalimat, dan lainnya, analisis
wacana dapat melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. (Eriyanto,
2001:xv)
Perbedaan analisis wacana dan
analisis isi kuantitatif, seperti dikemukakan oleh Eriyanto (2001:337-341)
diantaranya, pertama, analisis wacana dalam analisisnya lebih bersifat
kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif. Analisis
wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori.
Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi. Kedua, analisis isi kuantitatif
pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang
bersifat manifest (nyata), sedangkan
analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat
mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what)
tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana ia dikatakan” (how). Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan
generalisasi. Hal ini berasumsi bahwa pada dasarnya setiap peristiwa selalu
bersifat unik, karena tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama yang
diterapkan untuk isu dan kasus yang berbeda.
C. Batasan Wacana
Batasan atau definisi wacana yang
dikemukakan para ahli bahasa sangat beragam. Antara definisi yang satu dengan
yang lain terdapat perbedaan-perbedaan karena sudut pandang yang digunakan pun
berbeda. Namun demikian, juga terdapat teras-inti bersama atau
persamaan-persamaan di antara definisi-definisi itu.
Kata wacana berasal dari kata vacana ‘bacaan’ dalam bahasa Sansekerta.
Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam
bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru; wacana atau ‘bicara, kata ucapan’. Kata
wacana dalam bahasa Jawa Baru itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi wacana ‘ungkapan, percakapan, kuliah’, seperti dituturkan
Poerwadarminta dalam Baryadi (2002:1)
Istilah wacana diperkenalkan
dan digunakan oleh para linguis di Indonesia sebagai padanan (terjemahan) dari
istilah bahasa Inggris discourse. Kata
discourse berasal dari bahasa latin discursus yang berarti ’lari kesana kemari’ atau ’lari
bolak-balik’. Kata ini diturunkan dari dis
(dan/dalam arah yang berbeda) dan currere
(lari). Jadi, discursus berarti
‘lari dari arah yang berbeda’. Makna istilah tersebut mengalami perkembangan,
sehingga memiliki arti sebagai ‘pertemuan antarbagian yang membentuk suatu
kepadanan’, menurut Dede Oetomo dalam Mulyana (2005:4).
Menurut Baryadi (2001:3), baik
wacana maupun discourse merupakan
istilah linguistik yang dimengerti sebagai “satuan lingual (linguistic unit(s)) yang berada di atas
tataran kalimat”. Lebih lanjut, Baryadi mengungkapkan bahwa analisis wacana
mengkaji wacana, baik dari segi internal maupun eksternalnya. Dari segi internal,
wacana dikaji dari jenis, struktur, dan hubungan bagian-bagian wacana;
sedangkan dari segi eksternal, wacana dikaji dari segi keterkaitan wacana itu
denga pembicara, hal yang dibicarakan, dan mitra bicara. Dengan demikian,
tujuan pengkajian wacana adalah untuk mengungkapkan kaidah kebahasaan yang
mengonstruksi wacana, memproduksi wacana, pemahaman wacana, dan pelambangan
suatu hal dalam wacana.
Kridalaksana via Sumarlam
(2003:5), mengemukakan bahwa wacana sebagai satuan bahasa terlengkap; dalam hirarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia,
dsb.), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Hal yang
penting adalah keutuhan atau kelengkapan maknanya. Adapun bentuk konkretnya
dapat berupa apa saja (kata, kalimat, paragraf, atau sebuah karangan yang utuh)
terpenting makna, isi dan amanatnya lengkap.
Senada dengan Kridalaksana,
Tarigan (1987:27) juga mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan
kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata
disampaikan secara lisan atau tertulis. Tarigan menyebutkan ada delapan unsur
penting yang merupakan hakikat wacana. Kedelapan unsur yang dimaksud ialah (1)
satuan bahasa, (2) terlengkap/terbesar/tertinggi, (3) di atas kalimat/klausa,
(4) teratur/tersusun rapi/rasa koherensi, (5) berkesinambungan/kontinuitas, (6)
rasa kohesi/rasa kepaduan, (7) lisan/tulis, dan (8) awal dan akhir yang nyata.
Menurut Anton Moeliono dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988:34
& 334) wacana ialah rentetan kalimat yang berkaitan, sehingga terbentuklah
mkna yang serasi di antara kalimat itu; atau wacana adalah rentetan kalimat
yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain membentuk satu kesatuan.
Dalam definisi itu, unsur kesatuan dan hubungan antar kalimat dan keserasian makna
merupakan ciri penting atau esensial di dalam wacana. Kesatuan hubungan
tersebut harus didukung adanya hubungan proposisi, yaitu konfigurasi makna yang
menjelaskan isi komunikasi dari suatu pembicaraan.
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:1005)
dinyatakan bahwa wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai
arti: (a) ucapan, perkataan, tuturan; (b) keseluruhan tutur yang merupakan
suatu kesatuan; (c) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk
karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel.
Dengan mempertimbangkan
segi-segi perbedaan dan persamaan yang terdapat pada berbagai batasan wacana
tersebut, secara ringkas dan padat pengertian wacana dapat dirumuskan sebagai
berikut. Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan atau
tulis yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif
dan saling terkait, serta dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat
koheren dan terpadu.
Bila pengkajian wacana
dikembalikan dan dicari intinya, menjadi jelas bahwa hakikat wacana ialah satu
bahasan yang lebih luas dari pada kalimat, mengandung amanat lengkap dan utuh.
Hal yang lebih relevan lagi ialah bahwa wacana umumnya memiliki aspek-aspek
pengaruh wacana yang bersifat kontekstual.
D. Wacana Tulis, Teks, dan Konteks
Cook dalam Eriyanto (2001:9)
menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan
wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di
lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,
gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam surat kabar
bukan hanya teks tertulis, tetapi juga foto, tata lay out, dan grafik dapat dimasukkan sebagi teks.
Konteks memasukkan semua
situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa,
seperti partisipan dalam bahasa, situasi teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dan sebagainya.
Wacana kemudian dimaknai
sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian utamanya adalah menggambarkan teks dan konteks secara
bersama-sama dalam suatu proses berkomunikasi. Proses yang dibutuhkan tidak
hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya
yang dibawa. Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang terjadi dimana, kapan, dan
dalam situasi apa saja. Wacana ditafsirkan dalam situasi dan kondisi yang
khusus. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan
bingkai sosial yang mendasarinya.
E. Keutuhan Wacana
Suatu wacana dituntut memiliki
keutuhan struktur. Keutuhan itu dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin
di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai
struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau
dideskripsikan bagian-bagiannya. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya
sebagai kesatuan maknawi (semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk
(sintaksis). Menurut Mulyana (2005), suatu rangkaian kalimat dikaitkan menjadi
struktur wacana apabila didalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian
kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam
rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara
semantik.
Wacana
yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu
dan menyeluruh. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah kohesi, koherensi,
topik wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis, dan aspek
semantis (Mulyana, 2005:25-26).
Van
Dijk dalam Eriyanto (2001:104), melihat suatu teks terdiri atas beberapa
struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia
membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yaitu makna global
atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema
yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, ialah struktur
wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian
teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, adalah makna
wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata,
kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.
Analisis wacana RB ini
menggunakan pendekatan mikrostruktural Pendekatan
mikrostruktural menitikberatkan pada mekanisme kohesi tekstual untuk
mengungkapkan urutan kalimat yang dapat membentuk sebuah wacana menjadi koheren.
Pendekatan mikrostruktural dalam hal ini meliputi aspek gramatikal (segi bentuk),
aspek leksikal (segi makna), diksi atau pilihan kata.
Menurut Moeliono via Sumarlam (ed.)
(2003:138), kohesi adalah hubungan semantik atau hubungan makna antarunsur di
dalam teks dan unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau
menginterpretasikan teks; pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di
dalamnya; keserasian hubungan antarunsur yang satu dengan yang lain dalam
wacana, sehingga terciptalah pengertian yang apik.
Hubungan kohesif di dalam
wacana secara umum ditandai dengan pemarkah gramatikal (kohesi gramatikal) dan pemarkah leksikal (kohesi leksikal). Penanda aspek gramatikal ini terdiri atas empat
jenis, yaitu: pengacuan (referensi),
penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), serta perangkaian (conjunction).
Aspek
leksikal atau kohesi leksikal adalah hubungan antarunsur di dalam wacana secara
semantis. Kohesi leksikal ini mencakup pengulangan (repetisi), padan kata (sinonimi),
lawan kata (antonimi), sanding kata (kolokasi),
hubungan atas-bawah (hiponimi), serta
kesepadanan atau paradigma (ekuivalensi).
Di
samping kohesi gramatikal dan leksikal, wacana RB ini juga akan ditilik dari
aspek-aspek kebahasaannya yang menjadi kekhasan yang meliputi diksi atau
pilihan kata.
F. Analisis Mikrostruktural
Pendekatan mikrostruktural
terhadap analisis wacana RB meliputi aspek gramatikal (segi bentuk), sementara
segi makna adalah struktur lahir bahasa yang mencakup aspek leksikal, yang pada
akhirnya akan membentuk kohesi dan koherensi dalam wacana.
a. Aspek gramatikal
Penanda aspek gramatikal ini
terdiri atas empat jenis, yaitu: pengacuan (referensi),
penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), serta perangkaian (conjunction).
1) Pengacuan (referensi)
Pengacuan (referensi) adalah salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada
satuan lingual lain (atau satuan acuan) yang mendahului atau mengikutinya.
Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa
persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif
(satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan
unsur lainnya).
a) Pengacuan Persona
Pengacuan persona
direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi
persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik
tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, II tunggal, dan III tunggal
ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem
terikat). Selanjutnya yang berupa bentuk terikat ada yang melekat di sebelah
kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan).
b) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata
ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengacuan waktu (temporal) dan tempat (lokasional). Pengacuan
demonstrativa waktu terdiri atas waktu kini
(saat ini, kini, sekarang), waktu
lampau (kemarin, dulu, yang lalu),
waktu yang akan datang (besok, yang akan dating), dan waktu
netral (pagi, siang, sore, dsb). Adapun pengacuan tempat yaitu, dekat dengan penutur (sini, ini), agak dekat (situ,itu),
jauh (sana), serta menunjuk secara
eksplisit (Semarang, Kendal, dsb).
c) Pengacuan Komparatif
Pengacuan Komparatif
(perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat
membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi
bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang
secara umum digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan,
lain halnya, persis seperti, dan persis
sama dengan.
2) Penyulihan (substitusi)
Substitusi adalah penggantian
satuan lingual tertentu yang telah disebut dengan satuan lingual yang lain.
Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi
substitusi nominal, verbal, frasal, dan
klausal.
a) Substitusi Nominal
Substitusi nominal adalah
penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan
lingual lain yang juga berkategori nomina.
b) Substitusi Verbal
Substitusi verbal adalah
penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan
lingual lain yang juga berkategori verba.
c) Substitusi Frasal
Substitusi frasal adalah
penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan
lingual lain yang berupa frasa.
3) Pelesapan (ellipsis)
Pelesapan (ellipsis) adalah pelesapan satuan
lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan yang
dilesapkan dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi
pelesapan dalam wacana antara lain ialaha untuk (1) menghasilkan kalimat yang
efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai
ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi
pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang
tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa
terutama dalam berkomunikasi secara lisan.
4) Perangkaian (konjungsi)
Konjungsi yaitu salah satu
kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu
dengan yang lain. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa kata, frasa atau klausa,
kalimat, paragraf.
Dari segi maknanya pun,
perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Diantaranya
adalah sebab-akibat, pertentangan, kelebihan (eksesif), perkecualian (ekseptif),
konsesif, tujuan, penambahan (aditif), pilihan (alternatif), harapan (optatif),
urutan (sekuensial), perlawanan, waktu, syarat, cara, dan makna yang lainnya.
b. Aspek leksikal
Aspek leksikal atau kohesi
leksikal adalah hubungan antarunsur di dalam wacana secara semantis. Kohesi
leksikal ini terdiri dari: pengulangan (repetisi),
padan kata (sinonimi), lawan kata (antonimi), sanding kata (kolokasi), hubungan atas-bawah (hiponimi), serta kesepadanan atau
paradigma (ekuivalensi).
1) Repetisi (pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan
satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap
penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam,
2001:35). Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa
atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa,
simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis (Keraf, 1994: 127-128)
2) Sinonimi (padan kata)
Sinonimi diartikan sebagai
nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang
lebih sama dengan ungkapan lain (Chaer, 1990:85). Secara garis besar, kata-kata sinonim adalah
kata-kata yang sama artinya. Namun sebenarnya tidak ada dua kata yang seratus
persen bersinonim. Hal ini diungkapkan Keraf (1984:131) bahwa antara dua kata
selalu terdapat perbedaan, walaupun sedikit saja; entah perbedaan itu berupa
perasaan kata saja maupun perbedaan makna dan perbedaan lingkungan yang dapat
dimasukinya. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung
kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara
satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Berdasarkan wujud satuan
lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu, (1) sinonimi
antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata (3) kata
dengan frase atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan
klausa/kalimat.
3) Kolokasi (sanding kata)
Kolokasi atau sanding kata
adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung
digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang
cenderung dipakai dalam satu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam
jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah
pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan
alat tulis misalnya, merupakan contoh
kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau
jaringan pendidikan.
4) Hiponimi (hubungan atas-bawah)
Hiponimi (hubungan atas-bawah)
diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frase, kalimat) yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual
yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut
”hipernim” atau “superordinat”.
5) Antonimi (lawan kata)
Antonimi dapat diartikan
sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang
maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi
disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang
betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi
makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi
kutub (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk.
Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu
mendukung kepaduan wacana secara semantis (Sumarlam, 2003:40).
6) Ekuivalensi (kesepadanan atau paradigma)
Ekuivalensi adalah hubungan
kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain
dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari
morfem asal yang sama yang menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya
hubungan makna antara kata membeli,
dibeli, membelikan, dibelikan,, dan pembeli,
semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu beli. Demikian pula belajar,
mengajar, pelajar, pengajar, dan pelajaran
yang dibentuk dari bentuk asal ajar juga
merupakan hubungan ekuivalensi. Seperti contoh berikut.
(a)
Andi
memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali dalam
belajar. Apa yang telah diajarkan
oleh guru pengajar di sekolah diterima dan dipahaminya
dengan baik. Andi merasa senang dan tertarik pada semua
pelajaran.
(b)
Fatimah
rajin sekali membaca buku. Baik buku pelajaran maupun buku bacaan lainnya. Ia mempunyai
perpustakaan kecil di rumahnya. Hampir semua buku yang dikoleksi sudah dibaca. Fatimah bercita-cita ingin menjadi pembaca berita di televisi agar semua orang mengenalnya.
c. Fenomena Kebahasaan
Penulis mengamati dalam waktu
tertentu, bahwa wacana rubrik “Blaik”
diciptakan dengan memanfaatkan beragam aspek kebahasaan. Aspek kebahasaan yang
dimunculkan dalam wacana ini senantiasa bertalian erat dengan bahasa Jawa
(sering Jawa ngoko), diksi, gaya bahasa, dan plesetan. Namun demikian, penelitian ini hanya mendeskripsikan
mengenai diksi atau pilihan kata yang menjadi ciri khas tersendiri dalam RB.
Bahasa yang digunakan dalam RB
dimaksudkan sebagai wacana humor yang ringan dan bersifat rekreatif.
Kelucuan/kekonyolan yang diciptakan (dan kemungkinan juga keanehan) yang
mengacaukan asumsi-asumsi para pembaca merupakan bagian penting atau inti dari
wacana RB ini.
c.1 Diksi
Menurut
Keraf (1984:12), diksi atau pilihan kata adalah kata-kata yang dipilih
sesuai dengan makna gagasan yang ingin
disampaikan. Kata-kata tersebut cocok dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarkat pendengarnya.
Pilihan
kata atau diksi mencakup
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,
bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggambarkan
ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam
suatu situasi.
Pemakaian diksi dimaksudkan
untuk memudahkan dan mendapatkan kesesuaian tujuan yang akan diperoleh.
Pengarang ingin mengekspresikan pengalaman atau imajinasinya secara padat dan
intens yang berfungsi sebagai gambaran penjelas dalam beraneka pilihan kata.
BAB III
ANALISIS
MIKROSTRUKTURAL
WACANA
RUBRIK “Blaik”
DALAM HARIAN
SORE WAWASAN
A.
Deskripsi Seputar Wacana Rubrik “Blaik” di
Harian Sore Wawasan
Rubrik “Blaik” merupakan salah satu kolom yang terdapat dalam harian sore Wawasan yang terbit setiap hari kecuali
hari Minggu. Kolom rubrik “Blaik” senantiasa
terletak pada halaman 1 di pojok kanan bawah dan dilanjutkan di salah satu
halaman lainnya di bagian belakang.
Rubrik ini berwujud sebuah wacana
yang menggambarkan peristiwa atau kejadian-kejadian aneh, lucu, konyol, dan tak
biasa. Kejadian-kejadian aneh itu dikreasikan dengan berbagai cara, yang
dikemas dalam bentuk cerita (pendek). Bentuk fisiknya berupa rentetan kalimat
dan dijalin menjadi paragraf-paragraf, yang terbagi atas paragraf pembuka, isi,
dan penutup. Karena cerita yang ditampilkan berisi kekonyolan dan kelucuan,
tokoh utama cerita ini diberi nama Djo Koplak, yang artinya bodoh, tolol,
konyol (Jawa:koplak). Namun, ada
versi lain mengenai cerita asal-usul nama Djo Koplak ini. Dahulu ketika pada
awal berdirinya harian sore Wawasan,
ada salah satu karyawan yang bernama Djo. Djo ini memiliki karakter humoris
yang sering membuat tertawa teman-teman kerja lainnya. Bahkan tidak segan-segan
Djo melakukan tindakan-tindakan yang aneh dan konyol untuk sekedar membuat
terpingkal-pingkal orang-orang didekatnya. Sejak saat itu nama Djo dijadikan
inspirasi untuk membuat rubrik yang ringan dan segar bersifat humoris yang
dalam perkembangannya melibatkan pembaca sebagai sumber berita. Istilah koplak diambil dari bahasa Jawa yang
dianggap sesuai dengan karakter tokoh seorang Djo.
Para penulis wacana ini adalah
pembaca harian sore Wawasan yang
sebagian besar warga kota Semarang dan sekitarnya, seperti Kendal, Ungaran,
Demak, dan Mranggen. Hal ini terlihat dari para pengirim artikel ini yang
sebagian besar berasal dari daerah-daerah tersebut. Dalam perkembangannya, para
pembaca rubrik “Blaik” ini semakin
luas seiring dengan meningkatnya oplah harian sore Wawasan.
Selanjutnya, cerita (yang berasal
dari pembaca) ini diolah oleh redaktur harian sore wawasan dengan mengganti
nama-nama pelaku (yang semula dikirim pembaca) dengan nama-nama yang dijadikan
tokoh dalam cerita di setiap terbitan, seperti Djo Koplak (tokoh utama), dan
beberapa tokoh pembantu, di antaranya Pongkring, Jeng Cipluk, Jeng Minul, Mince,
Mul Kenthi, Pak Timbul, dan lainnya.
Dari segi perwajahan, rubrik ini
selalu ditampilkan dengan latar belakang warna putih dan dilengkapi oleh aksen
warna berbeda-beda pada setiap edisinya. Adapun aksen warna yang sering muncul
diantaranya adalah kuning, biru, hijau, dan merah. Judul artikel ditulis dengan
tinta hitam dengan ukuran huruf yang lebih besar daripada artikel cerita. Nama
rubrik “Blaik” ditulis dengan warna
putih yang terletak di tengah atas dan dilatarbelakangi dengan warna merah
serta dilengkapi gambar ikon karakter tokoh khas rubrik “Blaik”. Jika artikel cerita ditulis dengan jenis tulisan Times New Roman, nama rubrik “Blaik…” ini ditulis dengan jenis tulisan Monotype
Corsiva. Rubrik ini juga
disertai dengan ilustrasi berupa gambar kartun di tengah-tengah artikel, yang
disesuaikan dengan isi cerita. Judul-judul yang ditampilkan sebagian besar
menggunakan bahasa Indonesia dengan wujud klausa atau ungkapan, seperti: Kena kau!, Biar Gaul, Buaya darat..., Gratis
Mania, dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan teori
kebahasaan, pencipta cerita dalam rubrik “Blaik“
ini ternyata secara tidak sadar telah memperhitungkan berbagai aspek
komponen tutur di dalam mengkreasikan karyanya. Komponen-komponen setting, participant(s), act of sequence,
key, norm of interaction, instrument, dan genre dari wacana ini agaknya telah pula diperhitungkan, sehingga
wacana ini memiliki sifat-sifat tertentu. Kekhasan yang terdapat di dalamnya di
antaranya bahasanya mudah dipahami, bersifat semi formal, istilah-istilah yang
sering dijumpai, mengandung alih kode dan campur kode bahasa Jawa, serta berisi
permainan bahasa, yang keseluruhannya merupakan upaya untuk menghibur para
pembacanya. Permainan bahasa yang berupa plesetan
dan berbagai bentuk makna kata juga merupakan ciri yang sangat penting di dalam
wacana rekreatif.
B. Jenis Wacana
Menurut Djasudarma via Sumarlam (ed). (2003:136), jenis wacana dapat
dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan,
dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana dibagi menjadi wacana verbal dan non verbal; sebagai media komunikasi wacana berwujud tuturan lisan dan tulis; dari segi pemaparan, diperoleh jenis wacana naratif, deskriptif, prosedural,
ekspositori, dan hortatori; dari
jenis pemakaian, akan didapatkan wacana jenis monolog dan dialog serta polilog.
Berdasarkan cara
dan tujuannya, wacana RB termasuk dalam wacana narasi. Wacana narasi atau
wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan yaitu wacana yang
mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam
waktu tertentu (Sumarlam, 2003:17). Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku
dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis. Jenis wacana narasi pada
umumnya terdapat pada berbagai fiksi. Wacana narasi dapat diperhatikan pada
contoh berikut.
(1)
Djo Koplak kita kali ini
tergolong tipe demonstrative. Kalau bicara dan menerangkan sesuatu, biasa
dipastikan tangannya ikut menggambarkan apa yang dikatakannya, sraweyan kemana-mana.
Bicara soal kelapa
misalnya, tangannya menggambarkan buah
kelapa. Kalau bicara tentang anjing tangannya juga bergerak menggmbarkan
tingkah hewan itu, dan sebagainya. (RB, 07/02/2007)
Wacana (1) di atas
dinarasikan oleh persona ketiga (penulis) dan berorientasi pada pelaku atau
tokoh dalam cerita tersebut, yaitu Djo Koplak seorang pemuda yang memiliki
perilaku atau kebiasaan semacam melakukan gerakan tambahan oleh tangannya dalam
setiap kali berbicara. Pada setiap obrolan, tangannya sangat aktif dalam
menerangkan apa yang dikatakannya, hingga tidak bisa diam. Dalam cerita
tersebut dikatakan bahwa kebiasaan itu termasuk tipe demonstratif.
C. Analisis
Mikrostruktural
Yang pertama akan dibahas adalah
pemanfaatan pendekatan mikrostruktural dalam wacana RB. Pendekatan
mikrostruktural ini terdiri atas aspek gramatikal yang berkaitan dengan aspek
bentuk sebagai struktur lahir bahasa. Penanda aspek gramatikal ini terdiri atas
empat jenis, yaitu: pengacuan (referensi),
penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), serta perangkaian (conjunction).
Di samping
keempat jenis aspek gramatikal di atas, terdapat aspek leksikal, yaitu hubungan
antarunsur dalam wacana secara semantik. Kohesi leksikal ini terdiri atas: pengulangan
(repetisi), padan kata (sinonimi), lawan kata (antonimi),
sanding kata (kolokasi), hubungan
atas-bawah (hiponimi), serta
kesepadanan atau paradigma (ekuivalensi).
C.1 Aspek
Gramatikal
Dalam wacana RB banyak terdapat
pemarkah aspek gramatikal yang berfungsi mendukung kepaduan atau kekohesifan
sebuah wacana. Penanda aspek gramatikal itu ialah: pengacuan (referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), serta perangkaian (conjunction).
C.1.1. Referensi
Pengacuan
(referensi) adalah salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan
lingual lain (atau satuan acuan) yang mendahului atau mengikutinya.
C.1.1.1 Pengacuan persona
Pengacuan yang berupa pronomina
persona dapat dilihat pada wacana di bawah ini:
(1)
“Sori,
Kring. Ini Ide teman-teman. Aku hanya pelaksana saja. Soalnya teman-teman
sering sebel sama kamu yang sukanya
gratisan melulu. Sesekali keluar duit dikit demi teman-teman kenapa, sih?” kata
Djo lalu pergi. (RB, 18/01/2007)
(2)
Pongkring percaya Djo akan segera menyusul. Ia benar-benar tak tahu jika temannya
itu semakin asyik menggoda si penjaga warung. (RB, 05/01/2007)
(3) Pongkring masih tertegun. Dia
gela banget
kehilangan uang 75 ribu. Dipandanginya bungkusan sate di tangannya. Apakah rasa sate itu sama enaknya seperti
sate gratisan? (RB, 18/01/2007)
(4) ”Apa kabar bos. Anak keduamu sudah lahir,
cewek apa cowok? Sori aku belum sempat tilik,” ujar
Pongkring. (RB, 06/01/2007)
(5) Mereka berangkat naik motor Djo. Ternyata
Pongkring memilih warung sate
kambing langganannya. Djo pesan sepuluh tusuk, begitu pula Pongkring. Mereka makan dengan lahap. (RB, 18/01/2007)
(6)
Akhirnya mereka pun pulang. Sesampai di
rumah Pongkring, segera Djo mengeluarkan amplop dari saku jaketnya. “Hampir aku
lupa, Djo. Tadi juru bayar kantor kita menitipkan
gajianmu sama aku.” (RB, 18/01/2007)
Pada wacana (1) pronomina persona
kedua tunggal bentuk bebas kamu mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang
disebutkan sebelumnya, yaitu Pongkring. Dengan ciri-ciri yang disebutkan itu, kamu (1) merupakan jenis kohesi gramatikal
pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) yang bersifat
anaforis (karena acuannya disebutkan sebelumnya atau antesedennya berada di
sebelah kiri) melalui satuan lingual berupa pronomina persona kedua tunggal
bentuk bebas.
Pada wacana (2) dan (3) satuan
lingual ia dan dia
merupakan pronomina persona ketiga tunggal bebas yang mengacu pada Pongkring yang berada di sebelah
kirinya. Dengan demikian, merupakan kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena
acuannya berada di dalam teks) yang bersifat anaforis (karena acuannya
disebutkan sebelumnya atau antesedennya berada di sebelah kiri).
Pada wacana (4) pronomina persona I
tunggal bentuk bebas aku mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang
disebutkan kemudian, yaitu Pongkring
(orang yang menuturkan tuturan itu). Dengan ciri-ciri seperti itu maka aku (4) merupakan jenis kohesi gramatikal
pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks), yang bersifat kataforis
(karena acuannya disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan)
melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas.
Sementara pada wacana (5) dijumpai
pengacuan persona ketiga jamak yaitu mereka. Kata mereka pada kalimat keempat mengacu pada unsur
di sebelah kirinya, yaitu Djo dan Pongkring. Dengan demikian, satuan
lingual Djo dan Pongkring (5) bersifat anaforis yang merupakan jenis kohesi
gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks).
Di samping itu, pada wacana (6)
terdapat pengacuan persona pertama jamak bentuk bebas kita. Satuan lingual kita (6) mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks)
yang disebutkan sebelumnya, yaitu Djo dan Pongkring. Satuan lingual kita
pada wacana (6) merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena
acuannya berada di dalam teks) yang bersifat anaforis (karena acuannya
disebutkan sebelumnya atau antesedennya berada di sebelah kiri)
C.1.1.2 Pengacuan demonstratif.
Pengacuan lain yang terdapat dalam wacana RB ini adalah pengacuan
demonstratif. Pengacuan demonstratif ini meliputi pengacuan waktu dan tempat. Pada wacana RB ditemukan
pengacuan demonstratif waktu dan tempat, seperti:
(7)
Duduk-duduk di atas jembatan, di
mulut gang, merupakan kegiatan yang hampir tiap sore dilakukan oleh Djo Koplak
dan teman-temannya. Dari tempat itu
mereka menikmati lalu lalang kendaraan. Tapi bagi Djo Koplak dan teman-temannya
yang lebih mengasyikkan adalah bisa menggodain cewek-cewek yang melintas di
dekat situ. (RB, 06/02/2007)
(8)
Lha dhalah lagi, saat ia berbalik,
ternyata banyak jamaah sudah berada di teras warung. Mereka sengaja dibelokkan Pongkring sepulang dari
mengunjungi makam, agar bisa menyaksikan kekonyolan Djo. Di sana Djo diomeli jamaah, dan pasti ‘dihabisi’ sepanjang jalan
kaetika berada dalam bus. (RB, 05/01/2007)
(9)
Mereka berpikiran sama dengan
Djo Koplak, pemilik rumah ini tentu sangat kaya, terbukti mampu membeli lahan
luas di pinggir jalan, dan kemudian membangun rumah sebegitu besarnya.
Kini, setelah itu jadi, belum tampak ada kegiatan pindahan, atau tanda-tanda rumah itu akan ditempati.
Karena terdorong rasa penasaran, Djo
Koplak berinisiatif mengajak teman-temannya melihat-lihat keadaan rumah tengah
hari. (RB, 03/02/2007)
Pada wacana (7) terdapat pengacuan
demonstratif tempat, yaitu itu.. Satuan lingual itu memiliki keterangan agak dekat
dengan penutur yang mengacu pada sebuah tempat di atas jembatan tersebut, yaitu
di sekitar mulut gang kampung. Dari tempat itu para pemuda yang sedang nongkrong dapat menikmati lalu lalang
kendaraan.
Pada wacana (8) satuan lingual di sana yang menunjukkan bahwa tempat itu jauh
dengan penutur. Pada tuturan
tersebut satuan lingual disana menjelaskan suatu tempat yang berada di sebuah teras warung.
Pada wacana
(9) terdapat pengacuan demonstratif waktu kini, yaitu kini pada awal kalimat pertama paragraf kedua. Satuan lingual kini pada wacana tersebut menerangkan
waktu siang hari ketika proses pembangunan rumah telah selesai.
C.1.1.3 Pengacuan komparatif
Selain itu, dalam wacana RB
juga terdapat pengacuan komparatif (perbandingan) yang bersifat membandingkan
dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi
bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Berikut adalah contoh pengacuan komparatif yang ditemukan dalam
wacana RB.
(10)
Tanpa diduga, Bu Minah, istri
Pak Mul yang mau meletakkan baki berisi kudapan dan minuman untuk tamunya itu
langsung terkejut. Seketika langsung njondhil,
melihat dua lengan menjulur seperti portal di depannya. Mau mundur sudah
terlambat, mau ke samping susah dan langsung saja, “Krompyaaang…!” bunyi baki berisi makanan dan minuman
jatuh, terkena tangan Djo. Lain halnya dengan
Djo, wajahnya langsung pucat, elik seperti kertas diuntel-untel dan tangannya langsung mengkeret, seperti pohon
putri malu yang baru saja kesentuh tangan. (RB, 07/02/2007)
(11) Pegawai itu lalu membuka daftar riwayat hidup Djo. Tak lama kemudian pegawai itu itu
terbahak-bahak. Djo bengong dan heran. Mau tahu mengapa pegawai itu tertawa
ngakak? Pasalnya, Djo menulis daftar riwayat hidupnya begini:
Pada
tanggal 5 Januari 1970 lahirlah seorang bayi laki-laki. Bayi itu diberi nama
Djo Koplak oleh orang tuanya. Waktu kecil, Djo senang bermain di sungai dan
mencari belut di sawah. Belut kemudian dibakar
bersama teman-temannya...
Ajaibnya, Djo menulis daftar riwayat hidupnya itu
sepanjang tiga halaman folio. Hebat kamu, Djo. Kayak cerpenis saja. Hahaha! (RB, 12/02/2007)
Satuan
lingual lain halnya pada wacana
(10) adalah pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan perbedaan
perilaku ketika baki Bu Minah njondhil
terkena tangan Djo dengan sikap Djo saat itu yang langsung pucat. Sementara
itu, satual lingual seperti, pada kalimat berikutnya mengacu pada perbandingan
bentuk atau wujud; yang pertama menggambarkan wajah pucat Djo seperti kertas diuntel-untel, serta kedua tangan Djo mengkeret seperti pohon putri malu yang
baru tersentuh tangan.
Pada wacana
(11) satuan lingual kayak (dalam bahasa Jawa berarti seperti) adalah pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan suatu hal dengan
profesi. Tindakan Djo yang menulis daftar riwayat hidup sepanjang tiga halaman
dipersamakan dengan seorang penulis cerpen yang panjang lebar. Karena tingkah
lakunya itu, Djo dikatakan seperti seorang cerpenis.
C.1.2 Substitusi
Substitusi
adalah penggantian satuan lingual tertentu yang telah disebut dengan satuan
lingual yang lain. Dilihat dari segi satuan lingualnya,
substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal.
C.1.2.1 Substitusi nominal
Substitusi
nominal, yaitu penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain
yang juga berkategori sama. Substitusi nominal terdapat pada wacana RB dibawah
ini:
(12)
Menyadari
makin sulitnya mencari tambahan penghasilan,
Djo Koplak senantiasa memasang kuping lebar-lebar. Barangkali
ada info pekerjaan sampingan yang bisa menambah isi kantongnya. Dia tak ragu menanyakan hal itu kepada
teman-temannya, kalau-kalau ada obyekan jadi makelar atau apa saja asal ada duit masuk. (RB, 22/02/2007)
(13)
Kini, setelah bangunan itu jadi, belum tampak ada
kegiatan pindahan, atau tanda-tanda rumah itu akan ditempati. Karena terdorong
rasa penasaran, Djo Koplak berinisiatif mengajak teman-temannya melihat-lihat
keadaan rumah tengah hari. (RB, 03/02/2007)
Pada wacana (12) satuan lingual
nomina penghasilan yang telah disebut terdahulu pada kalimat pertama
digantikan secara berturut-turut oleh satuan lingual nomina pula yaitu kata isi
kantong dan duit masuk yang disebutkan kemudian dalam kalimat yang kedua
dan ketiga. Sementara itu, pada wacana (13) nomina bangunan disubstitusi
dengan nomina rumah.
C.1.2.2 Substitusi verbal
Substitusi verbal merupakan
penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori
verba. Misalnya, kata melintas
digantikan dengan kata lewat pada
wacana (14) di bawah ini.
(14)
Tapi bagi Djo Koplak dan
teman-temannya yang lebih mengasyikkan adalah bisa menggodain cewek-cewek yang melintas di dekat situ. Tapi tentu saja
mereka harus hati-hati jika akan mengusili cewek-cewek yang lewat. (RB, 06/02/2007)
Pada
wacana (14) satuan lingual melintas dan
lewat diasumsikan sebagai tindakan yang sama. Dalam wacana (14) melintas dan lewat diartikan
sebagai orang-orang yang berjalan kaki melintasi atau melewati jalan kampung.
C.1.2.3 Substitusi frasal
Substitusi
frasal yaitu penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa
dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Substitusi frasal ini misalnya
tampak pada wacana (15), frasa Djo Koplak dan Ali Djohamzah yang
terletak pada kalimat pertama paragraf pertama disubstitusi dengan frase dua
sahabat pada kalimat kedua
paragraf kedua.
(15)
Djo Koplak dan Ali Djohamzah kebagian KKN di daerah Rembang. Semula keduanya
tenang-tenang saja, tapi begitu ditempatkan di daerah Terjan barulah keduanya
nyengir. Selain daerahnya gersang, sepi, setiap hari mereka hamper dipastikan
tajk ketemu sayur-mayur, itu yang membuat Ali lemas, karena dia terbiasa dengan
menu sayur-mayur, kini berubah dengan menu ikan laut.
Tidak itu saja, di desa tempat mereka KKN,
keduanya dianggap orang super, bias mngatasi segalanya, bahkan ada yang
menganggapnya sakti, bisa mengobati, dan lainnya. Tentu saja hal ini membuat
repot dua sahabat itu. Sering
keduanya direpotkan hal-hal yang di luar dugaan. (RB, 27/01/2007)
C.1.2.4 Substitusi klausal
Substitusi klausal yaitu penggantian
satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual
lainnya yang berupa kata atau frase. Pada wacana (16) dibawah ini terdapat substitusi
klausal, yaitu satuan lingual begitulah. Kalimat pertama dan kedua yang berupa
satuan lingual klausa atau kalimat itu disubstitusi oleh satuan lingual lain
pada kalimat ketiga yang berupa kata begitulah. Atau sebaliknya, kata begitulah
pada kalimat ketiga menggantikan klausa atau kalimat pada tuturan pertama
dan kedua.
(16)
Jam tujuh kurang seperempat Djo
Koplak berangkat ke sekolah. Di pertigaan kampung, seperti biasa, dia akan
bertemu teman sekelasnya, Bagus namanya. Begitulah
setiap hari. (RB, 19/01/2007)
Dari contoh-contoh kohesi gramatikal
di atas yang melalui penyulihan atau substitusi, baik substitusi nominal,
verbal, frasal, maupun klausal, selain mendukung kepaduan wacana juga mempunyai
fungsi lain yang sangat penting. Penggantian satuan lingual tertentu dengan
satuan lingual lain dalam wacana itu juga berfungsi untuk (1) menghadirkan
variasi bentuk, (2) menciptakan dinamisasi narasi, (3) menghilangkan
kemonotonan, dan (4) memperoleh unsur pembeda. (Sumarlam, 2003:30).
C.1.3 Elipsis
Pelesapan
(ellipsis) adalah pelesapan satuan
lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan yang
dilesapkan dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Contoh pelesapan dalam wacana RB diantaranya:
(17)
GIGI Djo Koplak tinggal tiga biji. Yang nempel di bagian atas dua, sisanya di
bawah. Susah ula jika makan.
Sering makanan yang dikunyah belum lembut, terpaksa ditelan. (RB, 10/01/2007)
(18)
Hari itu uang Djo benar-benar
sudah tipis, uang yang digenggamnya hanya berupa receh hasil tabungannya di rak
buku bulan ini, padahal ia harus hidup sampai tiga hari ke depan, belum lagi ia
harus fotokopy tugas kuliah. Untuk pinjam
uang kepada Jeng Minul dia malu, kepada Sastro, Paijo, atau Panjul, mereka
juga senasib. (RB, 28/02/2007)
(19)
Teman-temannya heran terhadap
apa yang dilakukannya. Ketika ditanya oleh Paijo kenapa ia membuang-buang makanan, dengan enteng Djo malah menjawab
“Ada deh…”.
Panjul yang juga tak tahu maksud Djo ikut bertanya, namun dengan sepele Djo
menjawab “Adaa aja…!”. Pertanyaan Sastro juga dijawabnya, “Mau tau aja…!”. (RB, 28/02/2007)
Pada wacana (17) terdapat pelesapan
satuan lingual yang berupa kata, yaitu kata gigi yang berfungsi sebagai subjek. Subjek yang sama itu dilesapkan
sebanyak dua kali, yaitu pada kalimat kedua sebelum kata yang pada klausa pertama dan sebelum kata sisanya pada klausa kedua. Di dalam analisis wacana, unsur
(konstituen) yang dilesapkan itu biasa ditandai dengan konstituen nol atau zero
(atau dengan lambang Ф) pada tempat
terjadinya pelesapan unsur tersebut. Dengan cara seperti itu maka peristiwa
pelesapan pada wacana (17) dapat direpresentasikan menjadi (17a), dan apabila
tuturan itu kembali dituliskan dalam bentuknya yang lengkap tanpa ada pelesapan
maka akan tampak seperti (20b) sebagai berikut.
(17a) GIGI Djo Koplak
tinggal tiga biji. Ф Yang nempel di
bagian atas dua, Ф sisanya di bawah. Susah ula jika makan. Sering makanan yang
dikunyah belum lembut, terpaksa ditelan.
(17b)GIGI Djo Koplak
tinggal tiga biji. Gigi yang nempel di bagian atas dua, gigi sisanya di bawah. Susah ula jika makan. Sering makanan yang
dikunyah belum lembut, terpaksa ditelan.
Tampak
pada analisis tersebut bahwa dengan terjadinya peristiwa pelesapan, seperti
pada (17) atau (17a), maka tuturan itu menjadi lebih efektif, efisien,
wacananya menjadi padu (kohesif), dan memotivasi pembaca untuk lebih kreatif
menemukan unsur-unsur yang yang dilesapkan, serta praktis dalam berkomunikasi.
Fungsi-fungsi semacam itu tentu tidak ditemukan pada tuturan (17b), sekalipun
dari segi informasi lebih jelas atau lengkap daripada (17) dan (17a).
Pada wacana
(18) terjadi pelesapan satuan lingual berupa frasa pinjam uang, yang juga
berfungsi sebagai predikat dan objek. Pelesapan itu terjadi tiga kali pada
kalimat kedua, yaitu pada awal klausa kedua, ketiga, dan keempat. Dengan
demikian, wacana (18) tersebut dapat direpresentasikan kembali menjadi (18a). Apabila
unsur-unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (18b) seperti di bawah ini.
(18a) Hari itu uang Djo benar-benar sudah tipis,
uang yang digenggamnya hanya berupa receh hasil tabungannya di rak buku bulan
ini, padahal ia harus hidup sampai tiga hari ke depan, belum lagi ia harus
fotokopy tugas kuliah. Untuk pinjam uang
kepada Jeng Minul dia malu, Ф kepada
Sastro, Ф Paijo, atau Ф Panjul, mereka juga senasib.
(18b)Hari itu uang Djo benar-benar sudah tipis,
uang yang digenggamnya hanya berupa receh hasil tabungannya di rak buku bulan
ini, padahal ia harus hidup sampai tiga hari ke depan, belum lagi ia harus
fotokopy tugas kuliah. Untuk pinjam uang
kepada Jeng Minul dia malu, pinjam uang
kepada Sastro, pinjam uang Paijo,
atau pinjam uang Panjul, mereka juga
senasib.
Pada wacana
(19) juga terdapat pelesapan. Satuan lingual yang dilesapkan berupa klausa,
yang terdiri atas kata tugas (kenapa),
subjek (ia), predikat (membuang-buang), dan objek (makanan). Dalam hal ini, demi
keefektifan kalimat, kepraktisan, dan efisiensi bahasa serta mengaktifkan
pemikiran mitra bicara terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam tuturan,
maka perlu dilakukan pelesapan. Wacana (19) dapat direpresentasikan menjadi wacana
(19a). Apabila klausa itu tidak dilesapkan justru akan menghasilkan tuturan
yang tidak efektif, tidak praktis, dan tidak efisien, seperti terlihat pada wacana
(19b).
(19a)
Teman-temannya
heran terhadap apa yang dilakukannya. Ketika ditanya oleh Paijo kenapa ia membuang-buang makanan,
dengan enteng Djo malah menjawab “Ada deh…”. Panjul yang juga tak tahu maksud
Djo ikut bertanya, Ф namun dengan
sepele Djo menjawab “Adaa aja…!”. Pertanyaan Sastro Ф juga dijawabnya, “Mau tau aja…!”.
(19b)Teman-temannya heran terhadap apa yang dilakukannya. Ketika ditanya
oleh Paijo kenapa ia membuang-buang
makanan, dengan enteng Djo malah menjawab “Ada deh…”. Panjul yang juga tak tahu maksud
Djo ikut bertanya kenapa ia membuang-buang makanan namun dengan
sepele Djo menjawab “Adaa aja…!”. Pertanyaan Sastro kenapa ia membuang-buang makanan juga dijawabnya, “Mau tau aja…!”.
Mengingat pertanyaan yang ingin disampaikan
Panjul dan Sastro sama dengan pertanyaan Paijo, maka pertanyaan yang sama itu
tidak perlu disebutkan kembali secara utuh atau lengkap. Hal ini dilakukan
justru untuk menghasilkan wacana yang padu secara gramatikal dan semantis.
C.1.4 Konjungsi
Konjungsi yaitu salah satu kohesi
gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan yang
lain. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa kata, frasa atau klausa, kalimat,
paragraf. Berikut ini
contoh-contoh konjungsi yang dimanfaatkan dalam wacana RB.
(20)
Setelah
kumpul keluarga di luar kamar, pamannya langsung tertawa lepas mengingat ulah
Jeng Minten. Dan ketika diceritakan
pada bapaknya dan semua saudranya dengan kompak mereka juga tidak bisa menahan
tawa. (RB, 13/01/2007)
(21)
Ketika itu Djo dan Pongkring mengail
ikan di sungai. Tapi hampir tiga jam memancing, seekor ikan pun tak didapat.
Mereka pulang menjelang maghrib. Djo diajak Pongkring mampir dulu, sebab istri
Pongkring, Midul, membuat pecel. Djo pun ditawari pecel itu. Pikirannya melayang
semasa remajanya. Yakni suatu kali Djo makan pecel di dalam kereta api jurusan
Solo-Wonogiri. Enak dan
nikmat sekali, dan ada rasa harumnya. Karena
pecel itu dibungkus dengan daun jati. (RB,10/01/2007)
(22)
Teman-temannya yang melihat
hanya bengong, dan memaklumi karena ayam yang disembelih adalah oleh-oleh orang
tua Djo. Namun yang terjadi beberapa detik kemudian, Djo malah nggubras-nggubras,
merasa aneh dengan daging yang disantapnya, setelah itu ia menyumpah-nyumpah
setelah mengeluarkan kunyahan daging dari mulutnya. (RB, 27/02/2007)
(23)
Sebetulnya Minul sudah diminta
naik motor sendiri, biar tidak merepotkan terus. Tetapi Minul masih merasa trauma, karena pernah
jatuh saat naik motor. (RB, 24/02/2007)
(24)
Alkisah,
pada sore itu di tempat tambal ban milik Pak Domo ada ribut-ribut. Pak Domo
yang tukang tambal ban itu kehilangan korek api yang bisa berbunyi
ceklik-ceklik, hingga marah besar. Pertama yang dituduh mencuri anaknya, lalu Pongkring, kemudian Burkim. Tapi, mereka semua mengelak. (RB, 01//02/2007)
(25)
Selain
saran dokter untuk tranfusi, tetangga Djo menyarankan agar dicarikan jambu
kluthuk sebagai alternatif penanganan DB, karena diakui bahwa buah ini mampu
meningkatkan jumlah trombosit. Djo lari ke apotek untuk menebus obat, dan
setelah cukup lama menanti karena banyaknya antrean, kembalilah dia ke RS
menyerahkan obat tersebut kepada perawat.
Setelah itu,
larilah dia ke PMI. Hanya saying, ternyata persediaan darah golongan AB untuk
bapaknya habis. Kerabat-kerabatnya dikontak untuk bisa membantu menjadi donor
bagi yang golongan darahnya AB. Ternyata, Pongkring, salah seorang temannya
siap. Tinggal persoalan jambu kluthuk yang belum diselesaikan.(RB, 02/02/2007)
Konjungsi dan pada wacana (20)
menyatakan makna penambahan (aditif), yaitu berfungsi menghubungkan secara
koordinatif antara klausa yang berada di sebelah kirinya dengan klausa yang
mengandung kata dan itu sendiri atau
klausa berikutnya.
Konjungsi karena pada wacana (21)
berfungsi untuk menyatakan hubungan akibat-sebab atau hubungan kausal antara
klausa yang berada di sebelah kirinya, yaitu Enak dan nikmat sekali, dan ada rasa harumnya sebagai akibat,
dengan klausa berikutnya yaitu, pecel itu
dibungkus dengan daun jati sebagai sebab. Konjungsi
malah pada wacana (22) menyatakan makna kelebihan (eksesif), yaitu keterangan pada kalimat kedua merupakan reaksi
tambahan yang berlebihan terhadap kalimat-kalimat sebelumnya.
Pada wacana (23) terdapat konjungsi tetapi yang berfungsi menyatakan hubungan pertentangan. Klausa yang
dipertentangkan ialah sebetulnya Minul
sudah diminta naik motor sendiri dengan Minul
masih merasa trauma, karena pernah jatuh saat naik motor.
Konjungsi lalu dan kemudian pada
wacana (24) menyatakan makna urutan (sekuensial).
Urutan peristiwa yang terjadi
tentang pencarian pelaku pencurian korek api, dimulai dari yang dituduh mencuri adalah anaknya Pak Domo,
lalu Pongkring, kemudian Burkim.
Sementara
itu, konjungsi setelah pada wacana
(25) berfungsi untuk menyatakan waktu.
C.2 Aspek Leksikal
Kohesi
Leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) repetisi
(pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4)
hiponomi (hubungan atas-bawah), (5) antonimi (lawan kata), dan (6) ekuivalensi
(kesepadanan).
C.2.1 Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan
lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat
satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat
dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis,
epanalepsis, dan anadiplosis (Keraf, 1994: 127-128).
C.2.1.1 Repetisi
epizeuksis
Repetisi epizeuksis yaitu pengulangan satuan
lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Repetisi
epizeuksis dapat ditemukan dalam wacana RB seperti pada data di bawah ini :
(26) Djo Koplak penggemar
binatang, khususnya kucing. Pernah
suatu masa kucingnya mencapai jumlah
18 ekor. Namun lambat laun, kucingnya meninggalkan rumah satu per
satu. Maka sekarang tinggal beberapa ekor saja. Djo Koplak sadar, kucingnya pergi karena dimusuhi anjing
Pak Gambleh, tetangganya. (RB, 20/02/2007)
(27)
Djo Koplak menyebut Pongkring,
rekan kerjanya sebagai penggemar gratisan.
Rekan-rekan lain malah menjuluki Pongkring si Gratis Mania. Apa saja yang serba gratis, mulai dari numpang mobil teman, makan di rumah teman,
Pongkring pasti suka. Kalau teman-teman kantornya ingin mengadakan refreshing
bersama, pergi ke suatu tempat, Pongkring pasti bertanya, “Bayar, nggak?” Entah
siapa yang memberi komando, Djo dan rekan-rekan serempak menjawab “Naiknya gratiiiiis! Turunnya bayaaaaar!” (RB, 18/01/2007)
(28)
Pak Timbul, ayah Djo Koplak dirawat di
rumah sakit, karena badannya demam dengan suhu tinggi. Selain diobati, Pak Timbul juga dikompres agar suhu badannya
turun. Pagi hari, dokter memeriksa kondisi Pak
Timbul menyimpulkan, hasil diagnosis menunjukkan serangan demam berdarah. (RB,
02/02/2007)
(29)
Lima menit, sepuluh
menit bahkan sampai tiga puluh menit ditunggu hujan belum juga reda, Do Koplak
jengkel dan berniat mengambil pakaiannya.
Dengan menaiki tangga dilihatnya pakaian
yang tadi dilemparkannya ke atas genting. Namun alangkah kagetnya Djo
karena pakaian yang tadi
dilemparkannya hilang tanpa bekas. Selidik punya selidik ternyata pakaian Djo Koplak diambil orang, tidak
ada yang melihat karena keadaannya gelap ditambah hujan. Djo Koplak jadi tambah
sedih sekaligus jengkel kini bukan hanya hujan yang membuatnya jengkel, tapi
karena pakaiannya ikut-ikutan hilang.
(RB, 09/02/2007)
Pada wacana (26), (27), (28), dan
(29), kata-kata kucing, gratis, Pak Timbul, dan pakaian, diulang beberapa kali secara
berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan
itu.
C.2.1.2 Repetisi tautotes
Repetisi
tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam
sebuah konstruksi. Pada wacana (30) berikut ini, kata tawa diulang tiga kali
dalam sebuah konstruksi.
(30)
“Itu
lho Nduk yang di sebelahnya, makanya
jangan langsung tubruk saja,” terang pamannya yang langsung tertawa hingga batuk-batuk. Setelah
kumpul keluarga di luar kamar, pamannya langsung tertawa lepas mengingat ulah Jeng Minten. Dan ketika diceritakan
pada bapaknya dan semua saudaranya dengan kompak mereka juga tidak bisa menahan
tawa. (RB, 13/01/2007)
C.2.1.3 Repetisi
anafora
Repetisi anafora ialah pengulangan
satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat
berikutnya. Contoh repetisi anafora dapat dilihat pada wacana berikut ini.
(31)
“Dua batang rokok kalau bisa membuat tersenyum
wanita yang tidak kita kenal,” ujar Pongkring memulai tantangannya.
“Empat
batang rokok kalau bisa bikin
tertawa,” tambah Plonthos tak mau kalah.
“Berani
satu bungkus rokok kalau ceweknya
mau mendekat kesini?” Djo Koplak berujar iseng saja.
(RB, 06/02/2007)
Pada wacana (31) di atas terjadi
repetisi anafora berupa pengulangan kata rokok yang terdapat di awal kalimat.
Keterangan mengenai kata rokok tersebut didahului dengan keterangan jumlah yang berfungsi
memperjelas kalimat.
C.2.1.4 Repetisi
epistrofa
Repetisi epistrofa ialah pengulangan
satuan lingual kata atau frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir
kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Di bawah ini contoh repetisi
epistrofa yang terdapat dalam RB.
(32)
Malamnya Djo segera menulis surat lamaran kerja. Seumur-umur baru kali
ini Djo membuat surat
lamaran kerja. Untungnya, dulu sewaktu sekolah, ia pernah diajarkan oleh
guru bahasa Indonesia-nya cara membuat surat lamaran kerja. (RB,12/02/2007).
Pada wacana (32) di atas tampak
satuan lingual surat
lamaran pekerjaan diulang
tiga kali pada tiap akhir kalimat.
C.2.1.5 Repetisi
anadiplosis
Repetisi anadiplosis yaitu
pengulangan kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu menjadi kata
atau frasa pertama pada baris atau kalimat berikutnya. Dalam RB, wacana yang
mengandung repetisi anadiplosis terdapat pada contoh di bawah ini.
(33)
Minul berlari dengan tak lupa
melepas sepatu dan menekuk celananya. Segera dia nangkring di atas motor. Motor melaju pelan, karena hujan deras. Selang beberapa menit
perjalanan, Minul curiga, karena tidak seperti biasa kakaknya lewat jalan ini.
(RB, 24/02/2007)
(34)
Oalah.... ternyata Minul salah orang. Orang yang dikira kakaknya ternyata orang lain yang juga hendak
menjemput seseorang di kampus Minul. (RB, 24/02/2007)
Pada wacana (33) dan (34) di atas,
kata motor dan orang pada akhir kalimat pertama ditulis kembali atau diulang menjadi
kata pertama pada kalimat kedua atau kalimat berikutnya.
C.2.1.6 Repetisi mesodiplosis
Repetisi mesodiplosis ialah
pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara
berturut-turut. Contoh repetisi mesodiplosis dapat dilihat di bawah ini.
(35)
Suatu hari Djo tidak masuk kerja karena kepalanya pusing. Tapi siangnya, waktu
Djo mampir untuk menengok, ternyata
Pongkring sudah baikan. Untuk menyenangkan sobatnya yang baru sembuh dari
pusing, lalu Djo mengajak Pongkring
untuk makan-makan. (RB, 18/01/2007)
(36)
Dengan kedatangannya itu, Djo
pun ingin pamer akan kehebatan
keponakannya. Biasa, orang tua sering suka begitu. Djo ingin pamer kalau anaknya selalu dapat nilai
bagus di sekolahnya. Seperti Bu Marsidah, tetangganya yang suka pamer kehebatan anaknya. Djo kali ini
ingin membalas dengan pamer
kehebatan keponakannya. (RB, 23/02/2007)
Pada wacana (35) di atas terdapat
pengulangan satuan lingual Djo yang
terletak di tengah-tengah kalimat secara berturut-turut. Pengulangan subjek Djo
dimaksudkan untuk menekankan pentingnya pelaku utama dalam cerita tersebut
yaitu Djo Koplak.
Pada wacana (36) terdapat satuan
lingual pamer yang terletak di
tengah-tengah kalimat secara berturut-turut. Pengulangan kata pamer dimaksudkan untuk menekankan makna
satuan lingual tersebut, yaitu kebiasaan atau sifat. Tingkah laku pamer dalam
wacana (36) dilakukan oleh dua orang yaitu Djo dan Bu Marsidah.
C.2.2 Sinonimi
Sinonimi diartikan sebagai nama lain
untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama
dengan ungkapan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk
mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang
sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Kohesi leksikal sinonimi atau
persamaan kata, dapat dilihat pada data wacana RB berikut ini:
(37)
Suatu hari, ada seorang wanita cantik mencegat Djo. Seperti
lelaki lainnya, kalau melihat perempuan
cantik, langsung saja pasang muka ramah.
(RB, 06/01/2007)
(38)
Ketika itu Djo dan Pongkring mengail ikan di sungai. Tapi hampir
tiga jam memancing, seekor ikan pun
tak didapat. (RB,10/01/2007)
(39)
Apa
yang terjadi? Djo Koplak sedang mencopot gelang
karet yang nyanthol di gigi atasnya. Benda lentur itu
dipertunjukkan di hadapan Pongkring dan istrinya. (RB, 10/01/2007)
(40)
Djo girang bukan kepalang karena duikirim
yayasan tempatnya bekerja untuk mengunjungi daerah Lawen, desa yang indah, sejuk, alam yang masih perawan, adapt
istiadat yang masih terjaga dan warganya yang masih lugu.Sudah lama Djo
memimpikan bias mengunjungi daerah tersebut, karena disitu tinggal salah
seorang kenalannya Mas Toto Lawen, yang konon memiliki rumah yang sangat antic,
karena dibangunkan oleh Romo Mangun almarhum. Djo ingin sekali melihat
banguinan itu secra langsung, bukan hanya difoto.
Djo Koplak berangkat bersama Pongkring,
Jinggo dan juga Kris TVRI. Berempat mereka mengunjungi daerah di wilayah paling
ujung utara Banjarnegara. (RB, 29/01/2007)
Wacana (37) dan (38) terdapat
sinonimi antara kata dan kata, yaitu wanita bersinonim dengan perempuan dan mengail bersinonim dengan memancing.
Wacana (39) terdapat contoh sinonimi
frase dengan frase, yaitu frase gelang karet dengan frase benda
lentur. Wacana (40) terdapat sinonimi antara kata dan frase, yaitu kata
Lawen
yang bersinonim dengan frase ujung utara Banjarnegara.
C.2.3 Antonimi
Antonimi dapat diartikan sebagai
nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya
berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut
juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul
berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna
dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub
(3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi
makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu
mendukung kepaduan wacana secara semantik.
Beberapa contoh berikut merupakan
oposisi makna yang ditemukan dalam wacana RB, diantaranya:
(41)
“Pak numpang tanya. Rumah Pak Toto dimana ya?”. “Ya di sini,” jawabnya enteng. (RB, 29/01/2007)
(42)
Paginya, Djo dan teman-temannya
itu pergi ke sekolah. Ketika pulang, ia langsung ke tempat tambal
ban. (RB, 01/02/2007)
(43)
Entah siapa yang memberi
komando, Djo dan rekan-rekan serempak menjawab “Naiknya gratiiiiis!. Turunnya
bayaaar!”.
(RB, 18/01/2007)
(44)
Ketika jam pelajaran sudah
dimulai, Djo tidak tahu dirinya diawasi gurunya, sementara semua mata murid juga tertuju padanya yang tengah
diperhatikan gurunya itu. Si guru
pun berjalan mendekatinya, pelan, kemudian pundak kiri Djo disentuh pak guru. Dengan bisik-bisik gurunya menyuruh Djo
keluar sebentar.
(RB, 19/01/2007)
Pada wacana (41) dan (42) diatas
terdapat oposisi mutlak antara kata tanya dengan jawab dan pergi dengan pulang. Sedangkan
wacana (43) terdapat oposisi kutub antara kata naik dengan kata turun. Kedua kata tersebut dikatakan
beroposisi kutub sebab terdapat gradasi diantara oposisi keduanya, yaitu adanya
realita yang lain, selain naik dan turun, juga ada sangat
naik, agak naik, agak turun, dan sangat turun.
Pada
wacana (44) terdapat oposisi hubungan antara murid dengan guru. Guru sebagai realitas dimungkinkan ada karena kehadirannya dilengkapi
oleh murid atau sebaliknya. Oposisi hubungan
sebagai salah satu aspek leksikal dapat mendukung kepaduan wacana secara
leksikal dan semantik, sehingga kehadirannya dapat menghasilkan wacana yang
kohesif.
C.2.4. Kolokasi
Kolokasi
atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang
cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah
kata-kata yang cenderung dipakai dalam satu domain atau jaringan tertentu.
(45)
Pak
Timbul, ayah Djo Koplak dirawat di rumah
sakit, karena badannya demam dengan suhu tinggi. Selain diobati, Pak Timbul
juga dikompres agar suhu badannya turun. Pagi hari, dokter memeriksa kondisi Pak Timbul
menyimpulkan, hasil diagnosis menunjukkan
serangan demam berdarah. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan
trombositnya kurang sehingga perlu tranfusi.
Djo Koplak pun disarankan agar segera mencari trombosit ke markas PMI,
dan juga diberi resep untuk menebus obat di apotek. (RB, 02/02/2007)
Pada wacana (45)
di atas tampak pemakaian kata-kata rumah sakit, dikompres, suhu badan, dokter,
diagnosis, demam berdarah, laboratorium, transfusi, trombosit, PMI, resep,
obat, dan apotek, yang dipakai dalam suatu domain atau jaringan bidang
kesehatan atau kedokteran yang saling berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana
tersebut.
C.2.5 Hiponimi
Hiponimi (hubungan
atas-bawah) diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frase, kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur
atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang
berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat. Contoh hiponimi dapat diperhatikan pada penggalan
data wacana RB berikut.
(46)
Sebagai seorang yang hanya lulusan SD, Djo Koplak sadar diri.
Ia bersyukur bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang serabutan.
Kadang ia menjadi buruh tanah, buruh
bangunan, bahkan kuli angkut di
pasar. (RB, 12/02/2007)
(47) Djo Koplak penggemar binatang, khususnya kucing. Pernah suatu masa kucingnya
mencapai jumlah 18 ekor. Namun
lambat laun, kucingnya meninggalkan rumh satu per satu. Maka sekarang tinggal
beberapa ekor saja. Djo Koplak sadar, kucingnya pergi, karena dimusuhi anjing Pak Gambleh, tetangganya. (RB,
20/02/2007)
(48) ”Sudah
kelas berapa? Ah mesti
pinter, kemarin dapat nilai berapa?”
tanya Bu Mar lagi.
”Kelas
empat, kemarin dapat seratus,” jawab Ninik.
”Lha, bener kan. Anak ini memang
pinter kok Bu,” ujar Djo Koplak.
”Wah, pinter banget. Anak saya
saja paling dapat nilai 90. Pelajaran apa yang dapat nilai seratus?” ujar Bu Mar.
”Bahasa Indonesia dan Matematika,”
ujar Ninik dengan rada minder. (RB, 23/02/2007)
Pada wacana (46) di atas yang merupakan hipernim
atau superordinatnya adalah pekerjaan, dalam hal ini lebih
khusus yaitu pekerjaan serabutan. Pekerjaan-pekerjaan yang tergolong dalam
pekerjan serabutan adalah buruh tanah, buruh bangunan, dan kuli
angkut.
Wacana (47) yang merupakan hipernim atau
superordinatnya adalah binatang.
Hiponim dari binatang dalam wacana
tersebut ialah kucing dan anjing. Sedangkan pada wacana (48) yang
termasuk hipernim atau superordinatnya adalah pelajaran. Hiponim dari pelajaran
dalam wacana itu adalah bahasa Indonesia dan matematika.
Hubungan antarunsur bawahan atau antarkata yang
menjadi anggota hiponim itu disebut ”kohiponim”. Fungsi hiponimi adalah untuk
mengikat hubungan antarunsur atau
antarsatuan lingual dalam wacana secara semantis, terutama untuk menjalin
hubungan makna atasan dan bawahan, atau antara unsur yang mencakupi dan unsur
yang dicakupi.
C.3 Diksi atau Pilihan
Kata
Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan
membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin
disampaikan; dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dan
situasi dan nilai rasa yang dimilki kelompok masyarakat pendengarnya (Keraf
1984:24).
Pilihan kata atau diksi
mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu
gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau
menggambarkan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam
suatu situasi.
Pemakaian
diksi dimaksudkan untuk memudahkan dan mendapatkan kesesuaian tujuan yang akan
diperoleh. Pengarang ingin mengekspresikan pengalaman atau imajinasinya secara
padat dan intens yang berfungsi sebagai gambaran penjelas dalam beraneka
pilihan kata. Contoh dalam RB:
(49)
Djo Koplak seorang pemuda yang
hobi menggoda cewek. Dia sangat puas
jika korbannya benar-benar takluk, takut, malu, atau terkencing-kencing karena
tak dapat menahan tawa. Sasarannya siapa pun cewek yang ia lihat, tak peduli cakep, super jelek, mulus, kerempeng, atau gendut semua
dilalapnya. (RB, 05/01/2007)
(50)
Djo Koplak sedang berbunga-bunga, setelah sekian lama njomblo kini telah menemukan belahan hatinya, Minul namanya. (RB, 25/01/2007)
Penggalan wacana (49) dan (50) di
atas terdapat dalam artikel RB yang berjudul “Buaya darat…” dan “Hp
pembawa sial”. Pilihan kata yang berhubungan dengan percintaan atau asmara tersebut terlihat
menonjol. Kata-kata tersebut diantaranya, cewek, cakep, mulus, super jelek, menggoda,
njomblo, berbunga-bunga, dan belahan hati. Pemilihan kata-kata tersebut
memang dipakai penulis untuk lebih menekankan istilah yang sebenarnya dalam
pemakaian kalimat tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. Kata-kata
tersebut sering dijumpai dan digunakan dalam kaitannya dengan masalah
kisah-kasih remaja atau hubungan percintaan. Hal ini berfungsi untuk menimbulkan ciri khas yang
berbeda dalam tiap bidang tertentu.
Penggalan wacana (51) di bawah ini
terdapat dalam artikel RB yang berjudul “Hp
pembawa sial”. Pilihan kata yang digunakan berhubungan dengan bahasa
komunikasi sehari-hari. Kata-kata tersebut diantaranya, halo, telepon, SMS, hp, nelepon,
dan panggilan masuk.
(51)
Djo Koplak sedang
berbunga-bunga, setelah sekian lama njomblo
kini telah menemukan belahan hatinya, Minul namanya. Tiada hari tanpa tawa dan
canda, dunia seakan milik mereka berdua. Djo Koplak masih berstatus mahasiswa
sedangkan Minul sudah bekerja. Setiap hari, setiap saat, Minul selalu telepon dan SMS. Djo Koplak senang-senang saja punya pacar yang sangat
peerhatian.
Namun kebiasaan Minul yang suka telepon
setiap saat berakiBat Djo Koplak bernasib sial. Ceritanya pagi itu seperti biasa
Djo Koplak pergi ke kampus sambil mengendarai motornya. Di tengah jalan seperti
biasa hp-nya berbunyi tanda ada panggilan masuk. Djo Koplak langsung
paham kalau yang nelepon pasti Minul
pacarnya. Hanya melepas helm tanpa berhenti dan menepikan motornya terlebih
dulu Djo Koplak menjawab panggilan telepon.
“Halo
sayang, lagi di mana?” suara dari hp Djo Koplak manja. (RB, 25/01/2007)
Pemakaian diksi tersebut dimaksudkan
untuk memudahkan dan mendapatkan kesesuaian tujuan yang akan diperoleh.
Pengarang ingin mengekspresikan pengalaman atau pengetahuannya secara padat dan
intens. Penggunaan kata-kata tersebut berfungsi sebagai gambaran penjelas
melalui beraneka pilihan kata yang berhubungan dengan tema pembicaraan.
D. Rangkuman Hasil
Penelitian
Dari keseluruhan data dan analisis
data di atas dapat diklasifikasikan jenis-jenis data sebagai berikut:
1.
Aspek Gramatikal
a.
Referensi pronomina persona
menggunakan unsur-unsur kohesi kamu,dia
ia, aku, mereka, dan kita.
b.
Referensi demonstratif terbagi
atas pengacuan demonstratif tempat, yaitu menggunakan unsur-unsur kohesi itu dan di sana
serta pengacuan demonstratif waktu, yaitu menggunakan unsur-unsur kohesi kini.
c.
Referensi komparatif
menggunakan unsur-unsur kohesi berupa satuan lingual lain halnya, seperti, dan kayak.
d.
Substitusi nominal menggunakan
unsur-unsur kohesi penghasilan di substitusi
dengan duit masuk, dan bangunan di substitusi dengan rumah.
e.
Substitusi verbal menggunakan
unsur-unsur kohesi satuan lingual melintas
di substitusi dengan satuan lingual lewat
f.
Substitusi frasal menggunakan
unsur-unsur kohesi Djo Koplak dan Ali Djomzanah
di substitusi dengan frasa dua sahabat.
g. Substitusi klausal menggunakan unsur kohesi begitulah sebagai substitusi dari klausa Jam tujuh kurang seperempat Djo Koplak berangkat ke sekolah. Di
pertigaan kampung, seperti biasa, dia akan bertemu teman sekelasnya, Bagus
namanya.
h.
Elipsis menggunakan unsur-unsur
kohesi satuan lingual kata gigi, frasa
pinjam uang, dan klausa kenapa ia membuang-buang makanan.
i.
Konjungsi banyak dijumpai dalam
wacana RB. Diantaranya menggunakan unsur-unsur kohesi dan, karena, malah, tetapi, lalu, kemudian,dan setelah.
2.
Aspek Leksikal
a.
Repetisi Epizeuksis menggunakan
unsur-unsur kohesi kucing, gratis, Pak
Timbul, dan pakaian.
b. Repetisi tautotes menggunakan unsur kohesi
tawa.
c. Repetisi anafora menggunakan unsur kohesi rokok.
d. Repetisi anadiplosis menggunakan
unsur-unsur kohesi motor dan orang.
e. Repetisi mesodiplosis menggunakan
unsur-unsur kohesi Djo dan pamer.
f. Repetisi epistrofa menggunakan unsur
kohesi surat lamaran pekerjaan.
g. Sinonimi kata dengan kata menggunakan
unsur-unsur kohesi satuan lingual wanita
dengan perempuan, serta mengail dan memancing.
h. Sinonimi kata dengan frase atau sebaliknya
menggunakan unsur kohesi Lawen dengan
ujung utara Banjarnegara.
i.
Sinonimi
frase dengan frase menggunakan unsur kohesi gelang
karet dengan benda lentur.
j.
Antonimi
oposisi mutlak menggunakan unsur-unsur kohesi
tanya dengan jawab, serta pergi dengan pulang.
k. Antonimi oposisi kutub menggunakan unsur
kohesi naik dengan turun.
l.
Antonimi
oposisi hubungan menggunakan unsur kohesi murid
dengan guru.
m. Kolokasi menggunakan unsur-unsur kohesi bidang kesehatan atau kedokteran, kata-katanya diantaranya rumah
sakit, dikompres, suhu badan, dokter, diagnosis, demam berdarah, laboratorium,
transfusi, trombosit, PMI, resep, obat, dan apotek.
n.
Hiponimi
menggunakan unsur-unsur kohesi satuan lingual buruh tanah, buruh bangunan dan kuli angkut untuk menyatakan
hipernim dari pekerjaan (serabutan). Hiponim kucing dan anjing untuk menyatakan hipernim dari binatang, serta hiponim bahasa Indonesia dan matematika untuk menyatakan hipernim
dari pelajaran.
3.
Diksi atau pilihan kata
Diksi atau pilihan kata yang terdapat
dalam wcana RB diantaranya berhubungan dengan percintaan atau asmara dan komunikasi telepon yang terlihat menonjol.
Kata-kata yang berkaitan dengan asmara
atau percintaan diantaranya, cewek,
cakep, mulus, super jelek, menggoda, njomblo, berbunga-bunga, dan belahan hati. Sedangkan kata-kata yang biasa
digunakan dalam percakapan telepon sehari-hari antara lain, halo, telepon, SMS, hp, nelepon, dan panggilan masuk.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Wacana Rubrik “Blaik”
sebagai wacana humor/rekreatif tidak dapat dipungkiri telah memberi secercah
manfaat bagi pembacanya, paling tidak pembaca wacana ini akan merasa terhibur,
di tengah arus kehidupan yang diwarnai banyak tantangan dan rintangan.
Upaya yang
dilakukan oleh para penulis wacana RB berusaha untuk memenuhi kebutuhan itu.
Hiburan, kelucuan, kekonyolan, dan hal-hal yang sifatnya tak masuk akal direkam
untuk kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk wacana yang dapat dinikmati
secara luas.
Wacana RB yang termasuk di dalam wacana narasi bersifat
humor/rekreatif ini diteliti melalui pendekatan mikrostruktural. Pendekatan mikrostruktural
terjabar ke dalam aspek gramatikal, aspek leksikal, dan diksi atau pilihan
kata.
Pada rubrik “Blaik”
banyak menggunakan pengacuan
(referensi). Referensi adalah salah
satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu
pada satuan lingual lain (atau satuan acuan) yang mendahului atau mengikutinya.
Satuan lingual itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata
ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan
antara unsur yang satu dengan unsur lainnya).
Penggantian (substitusi) adalah penggantian satuan
lingual tertentu yang telah disebut dengan satuan lingual yang lain. Dalam RB
terdapat substitusi yang dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, dan frasal.
Pelesapan (ellipsis) adalah pelesapan satuan
lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan yang di lesapkan
dalam RB berupa kata, frasa, dan klausa. Adapun fungsi pelesapan
tersebut ialah untuk efektivitas dan efisiensi kalimat, mencapai aspek kepaduan
wacana, untuk mengaktifkan pikiran pembaca terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan
dalam satuan bahasa, serta untuk kepraktisan berbahasa.
Konjungsi yaitu salah satu
kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu
dengan yang lain. Perangkaian unsur dalam wacana RB mempunyai bermacam-macam
makna, diantaranya adalah sebab-akibat, pertentangan, kelebihan (eksesif), penambahan (aditif), urutan (sekuensial), dan waktu.
Repetisi untuk memberikan tekanan pada beberapa kata. Berdasarkan tempat satuan lingual yang
diulang dalam baris, klausa atau kalimat, dalam RB terdapat repetisi epizeuksis,
tautotes, anafora, epistrofa, mesodiplosis, dan anadiplosis. Tidak ada repetisi
simploke karena jarang terdapat dalam karangan berupa prosa.
Sinonim diartikan sebagai nama
lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih
sama dengan ungkapan lain. Dalam
rubrik ”Blaik” sinonimi berfungsi
menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan
satuan lingual lain dalam wacana. Sinonim yang ditemukan adalah sinonimi antara
morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frase
atau sebaliknya, dan frasa dengan frasa.
Antonimi dapat diartikan
sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang
maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi
disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang
betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja. Dalam
rubrik ”Blaik” ditemukan oposisi
mutlak, oposisi kutub,dan oposisi hubungan. Oposisi makna atau antonimi juga
merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan wacana secara
semantis.
Kolokasi adalah asosiasi
tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara
berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung
dipakai dalam satu domain atau jaringan tertentu. Dalam rubrik ”Blaik” ditemukan kata-kata yang
berkolokasi pada jaringan atau domain di bidang kesehatan. Misalnya rumah
sakit, dikompres, suhu badan, dokter, diagnosis, demam berdarah, laboratorium,
transfusi, trombosit, PMI, resep, obat, dan apotek.
Hiponimi diartikan sebagai
satuan bahasa (kata, frase, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian
dari makna satuan lingual yang lain. Fungsi hiponimi adalah untuk mengikat hubungan antarunsur atau antarsatuan lingual dalam
wacana secara semantis, terutama untuk menjalin hubungan makna atasan dan
bawahan, atau antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi.
Pilihan
kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna
dari gagasan yang ingin disampaikan. Kemampuan untuk menemukan bentuk yang
sesuai (cocok) dan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengarnya. Dalam rubrik ”Blaik” ditemukan kata-kata yang terlihat menonjol yang berhubungan dengan percintaan atau
asmara dan bidang komunikasi telepon.
Secara garis besar wacana rubrik “Blaik” telah terjalin secara kohesif dengan aspek-aspek pendukung
keutuhan wacana. Piranti-piranti kohesi tersebut digunakan oleh penulis RB
untuk membangun teks yang menunjukkan hubungan antarklausa dalam kalimat dan
antarkalimat dalam paragraf bahkan hubungan paragraf dalam wacana tersebut.
Motivasi yang melatari penciptaan wacana ini dimaksudkan
untuk hiburan, disamping tentu saja untuk menarik konsumen, memberi wawasan,
mengkritik dan sebagainya.
B. Saran
Penelitian dengan objek wacana rubrik di media ini hanya terbatas
pada struktur mikro yang disertai dengan aspek kebahasaan pendukung saja.
Penelitian lanjutan untuk memperdalam, memperluas dan mendeskripsikan seperti
struktur makro, unsur sintaksis, kajian sosiolinguistik, atau aspek latar
belakang penciptaan wacana dan seterusnya masih dapat dilakukan.
Daftar Pustaka
Abdul Rani dkk.
2006. Analisis Wacana; Sebuah Kajian Bahasa dan Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing
Baryadi, I
Praptomo. 2002. Dasar-Dasar Analisis
Wacana Dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli
Brown, Gillian & G. Yule. 1983. Analisis Wacana. diterjemahkan oleh I
Soetikno (1996). Jakarta:
Gramedia
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis teks
media. Yogyakarta: LKiS
Halliday &
Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan
Teks ; Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik
Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Ende: Nusa Indah
----------------- 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kridalaksana,
Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kumalasari.
2004. “Analisis Wacana Kolom Pojok Semarang di Harian Suara Merdeka”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro, Semarang
Moeliono, Anton
dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Mulyana, 2005. Kajian Wacana; Teori, Metode & Aplikasi
Prinsip-prinsip Analisis Wacan., Yogyakarta: Tiara Wacana
Nababan, P.W.J.
1991. Sosiolinguistik; Suatu Pengantar.
Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Oktavianus.
2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas
University Press
Pradopo, Rachmat
Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Riswanto. 2005. “Analisis
Wacana Rubrik “Nah Ini Dia””, Skripsi
Fakultas Sastra Universitas Diponegoro,
Semarang
Rohmani. 2002. “Analisis
Wacana Kaos Oblong Dagadu Djokdja”, Skripsi Fakultas
Sastra Universitas Diponegoro, Semarang
Sudaryanto.
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press
Sumadiria, AS
Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media
Sumarlam, dkk.
2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana.
Surakarta:
Pustaka Cakra
Syamsuddin.
1992. Studi Wacana;
Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP
Bandung
Wedha. 2007. “Kohesi
dan Koherensi pada Rubrik “Parodi” dalam Kompas”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Diponegoro,
Semarang
loading...
0 Response to "KUMPULAN SKRIPSI SASTRA INGGRIS ANALISIS MIKROSTRUKTURAL RUBRIK “BLAIK” DALAM HARIAN SORE WAWASAN"
Post a Comment