PERAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat pesisir memiliki
kehidupan yang khas, dihadapkan langsung
pada kondisi ekosistem yang keras, dan sumber kehidupan yang bergantung
pada pemanfaatan sumber daya
pesisir dan laut (selanjutnya disingkat SDP).
Masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit oleh persoalan
kemiskinan dan keterbelakangan. Terdapat persoalan tertentu terkait dengan aspek
ekologis, sosial, dan ekonomi, sehingga masyarakat pesisir masih tertinggal
(Hanson 1984). Rendahnya taraf hidup
masyarakat pesisir dan akses yang
terbatas akan aset dan sumber-sumber pembiayaan bagi nelayan kecil merupakan persoalan utama yang dijumpai di
kawasan pesisir. Nelayanpun sangat
rentan terhadap tekanan pemilik modal.
Kegiatan pembangunan di kawasan
pesisir tidak terlepas dari daya dukung lingkungan, keberlangsungan sumber daya alam dan dilakukan secara terpadu oleh
berbagai pihak terkait dengan menekankan peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Ketersediaan sumber daya alam di daratan seperti hutan, bahan
tambang, dan mineral serta lahan pertanian produktif semakin menipis sedangkan
kebutuhan penduduk terus bertambah sejalan dengan jumlah penduduk Indonesia
yang terus meningkat dan diprediksikan akan mencapai 267 juta jiwa pada tahun
2015. Kebutuhan penduduk tersebut tidak akan mampu
dipenuhi seluruhnya oleh sumber daya
alam di daratan (Dahuri 2000) mengingat luas daratan Indonesia hanya sepertiga
dari luas Indonesia keseluruhan, yaitu 1.926.337 km2. Sektor perikanan dan kelautan sangat
potensial untuk dikembangkan, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia yang memiliki 17.506 buah pulau, dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km, dan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Selain itu, Indonesia juga memiliki hak
pengelolaan sumber daya
alam hayati dan nonhayati di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
yaitu perairan yang berada 12 hingga 200 mil dari garis pantai titik-titik
terluar kepulauan Indonesia, yang luasnya 2.7 juta km2 berdasarkan United
Convention on the Law of the Seas.
Kegiatan sektor perikanan dan
kelautan, memiliki
dua bidang usaha (Amanah dan Yulianto 2002)
yaitu perikanan darat dan perikanan tangkap.
Hasil penelitian tentang pendekatan penyuluhan pada masyarakat pesisir
(Amanah et al.. 2004)
memperlihatkan bahwa setiap komunitas
memiliki keunikan dan berbeda dalam hal nilai, orientasi, dan kebutuhan
pengembangan diri, kelompok, komunitas, serta daya dukung lingkungan
fisik. Dalam hal ini komunikasi
pembangunan dapat menjadi wahana
transformasi situasi masyarakat dari sekarang
ke kondisi yang lebih baik.
Kabupaten
Buleleng memiliki panjang pantai sekitar 144 km dan ada enam dari sembilan kecamatannya yang
berbatasan langsung dengan pantai utara. Kecamatan Buleleng dan Grokgak sangat
berprospek untuk berkembang menjadi kawasan perikanan dan wisata bahari. Sampai saat ini masyarakat pesisir di kedua
kecamatan tersebut bergantung pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut,
baik untuk usaha perikanan, maupun untuk usaha jasa wisata. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah
bahwa proses-proses komunikasi pembangunan belum berlangsung simultan, dan
nelayan masih dihadapkan pada persoalan klasik seperti hasil tangkapan yang
bervariasi, keterbatasan akses pada sumber-sumber permodalan, pasar, dan
program penyuluhan yang belum berjalan sesuai harapan. Telaahan tentang permasalahan
yang dihadapi nelayan, penyebab masalah,
alternatif penyelesaian masalah, diperlukan untuk mendesain rancangan strategi komunikasi pembangunan yang relevan. Tanpa
strategi komunikasi pembangunan yang jitu,
masyarakat pesisir akan makin tertinggal.
Terdapat beberapa program andalan pemerintah dalam konteks komunikasi
pembangunan, namun belum memberikan dampak nyata terhadap peningkatan kualitas
hidup masyarakat pesisir. Oleh
karenanya, penyajian pada makalah ini berfokus pada kondisi masyarakat pesisir dan peran komunikasi pembangunan dalam pemberdayaan
komunitas, kasus Kabupaten Buleleng.
Tujuan
Tujuan makalah ini adalah (1) mendeskripsikan kondisi dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat
pesisir, khususnya komunitas
nelayan; dan (2) menganalisis
peran dan strategi alternatif komunikasi
pembangunan dalam pemberdayaan
masyarakat pesisir.
Kegunaan
Bagi pengambil kebijakan di bidang pengembangan
masyarakat pesisir, diharapkan makalah ini dapat berkontribusi sebagai
referensi dalam mengembangkan masyarakat pesisir melalui pendekatan dan
strategi komunikasi yang efektif.
PERUMUSAN
MASALAH
Masalah merupakan faktor yang
dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan.
Dalam konteks masyarakat
pesisir di lokasi kajian, ada kesenjangan antara kondisi saat ini dan kondisi
ideal yang diharapkan (Gambar 1). Secara konseptual, komunikasi pembangunan
berperan menjembatani kondisi saat ini menuju kondisi yang diharapkan terrwujud
di tingkat komunitas pesisir.
Gambar
1 Kesenjangan kondisi yang dihadapi masyarakat
pesisir
Kondisi nelayan di Kabupaten Buleleng dicirikan oleh
tipologi nelayan kecil, dan armada penangkapan ikan oleh mayoritas nelayan di Kecamatan Buleleng dan Grokgak adalah perahu bermotor tempel.
Nelayan
di Kecamatan Buleleng lebih banyak menggunakan pancing ulur dan tonda untuk menangkap
ikan, sedangkan seser dan pancing ulur lebih banyak digunakan oleh nelayan di
Kecamatan Grokgak. Jenis ikan hasil tangkapan umumnya berupa tongkol, teri,
walang dan tuna. Sampai saat ini, masyarakat pesisir setempat masih belum
terlepas dari persoalan klasik yang dihadapi nelayan kecil yakni keterbatasan
aset, akses, dan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Upaya peningkatan kualitas hidup nelayan
kecil sulit terwujud tanpa adanya perubahan sikap, pengetahuan dan
keterampilan sumber daya
manusia. Menghadapi permasalahan
tersebut, komunikasi pembangunan diperlukan peran utamanya sebagai sebuah proses yang dialogis dalam penyampaian ide, informasi dan
inovasi, oleh pihak-pihak terkait guna
menunjang terjadinya proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik daripada
sebelumnya. Perubahan tersebut dampaknya dapat dilihat
pada tingkat individu, keluarga, kelompok, organisasi, komunitas dan
masyarakat yang lebih luas. Proses-proses
komunikasi pembangunan akan memiliki dampak luas apabila dilaksanakan secara
sistemik dan berkelanjutan.
KONSEPSI
DAN HASIL PENELITIAN TERDAHULU TENTANG KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN
Komunikasi
Pembangunan
Nasution (2004) mengutip
pernyataan Hedebro tentang tiga aspek komunikasi dan pembangunan yang berkaitan
dengan tingkat analisisnya. Ketiga aspek
tersebut meliputi hal berikut: (i) Pendekatan
yang berfokus pada pembangunan suatu bangsa, dan peran media
massa menyumbang upaya tersebut. Di sini, politik dan fungsi-fungsi media massa
dalam pengertian yang umum merupakan objek studi, sekaligus masalah-masalah
struktur organisasional dan pemilikan, serta kontrol terhadap media. Untuk
studi jenis ini, digunakan istilah kebijakan komunikasi dan merupakan
pendekatan yang paling luas dan bersifat umum; (ii) Pendekatan untuk memahami peranan media massa dalam
pembangunan nasional, namun lebih jauh spesifik. Persoalan utama dalam studi
ini adalah penggunaan media agar dapat dipakai secara efisien, untuk mengajarkan
pengetahuan tertentu bagi masyarakat suatu bangsa; dan (iii) Pendekatan
yang berorientasi kepada perubahan yang terjadi pada suatu komunitas lokal atau
desa. Studi jenis ini mendalami bagaimana aktivitas komunikasi dapat dipakai
untuk mempromosikan penerimaan yang luas akan ide-ide dan produk baru.
Hasil penelitian Kifli
(2007) tentang strategi komunikasi pembangunan pada komunitas dayak di
Kalimantan Barat menemukan bahwa berbagai bentuk materi komunikasi yang selama ini tersedia, ternyata belum
dapat dipahami atau diakses dengan optimal oleh orang Dayak. Materi komunikasi
dari luar baik berupa materi tercetak maupun elektronik, seperti brosur,
leaflet, majalah atau program radio dan televisi, tidak dapat diakses. Kendala
dari sisi fisik disebabkan karena keterisoliran geografis, sedangkan kendala
sisi bahasa menyebabkan mereka tidak dapat memahami isi (content) yang terkandung di dalamnya. Konsep dan strategi pembangunan yang
cenderung seragam, belum mampu menjangkau komunitas Dayak secara memadai.
Berbagai asumsi dan prasyarat penerima (receiver)
dari kebijakan strategi komunikasi tersebut tidak mampu dipenuhi
oleh sebagian masyarakat, termasuk oleh masyarakat Dayak. Penelitian Amanah (2007) tentang pengembangan
masyarakat pesisir mengungkap pula bahwa terdapat korelasi positif yang nyata
antara kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh penyuluh terhadap perilaku
masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya pesisir yang dimiliki. Selain
faktor keterisoliran dan kompetensi komunikasi, strategi komunikasi pun
berpengaruh terhadap efektifitas komunikasi.
Harris (Bessete & Rajasunderam 1996) menyatakan bahwa pendekatan komunikasi pembangunan partisipatif
perlu dikembangkan untuk mengembangkan masyarakat di tingkat bawah melalui
pendekatan pendidikan non formal. Terkait dengan pendekatan pembangunan yang diterapkan di
Indonesia, Waskita (2005) mencermati bahwa pembangunan sampai saat ini masih
terlalu berfokus pada hal-hal fisik dan terukur. Hal ini pada gilirannya,
berkontribusi terhadap model komunikasi yang dianut cenderung menunjukkan pola
interaksi yang terbatas dan berkaitan dengan kekuasaan dan pelayanan. Alternatif model komunikasi yang diusulkan
adalah komunikasi dialogis antar orang yang terlibat dalam proses pembangunan.
Pemberdayaan
Pemberdayaan
memiliki berbagai interpretasi, pemberdayaan dapat dilihat sebagai suatu proses
dan program. Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada
hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan
diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Pemberdayaan
dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas, pengembangan rasa percaya diri
untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer kekuatan dari lingkungannya. Sebagai
suatu proses, pemberdayaan adalah usaha yang terjadi terus menerus sepanjang
hidup manusia.
Bowling dan Barbara (2002) mengemukakan bahwa program penyuluhan dapat membentuk perubahan perilaku
melalui prinsip berbagi pengetahuan, dan pengalaman dengan masyarakat. Bersama–sama masyarakat, dapat dilakukan
berbagai kegiatan yang mengarah pada pembentukan perilaku masyarakat. Pemberdayaan sebagai sebuah program mempunyai
makna bahwa pemberdayaan merupakan tahapan–tahapan kegiatan untuk mencapai
suatu tujuan dalam kurun waktu tertentu.
Dalam konteks ini, pelaksanaan program pemberdayaan dibatasi waktu,
sehingga tampak sebagai kegiatan keproyekan.
Kondisi seperti ini tentu tidak menguntungkan bagi pelaksana program
maupun komunitas target, karena sering terjadi kegiatan terputus di tengah
jalan dan kurangnya koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam program.
Pemberdayaan
masyarakat pesisir mencakup dua dimensi yaitu budaya dan struktur sosial
(Satria 2002). Selain itu, pemberdayaan
dalam komunitas nelayan akan lebih berhasil jika menerapkan prinsip kejelasan
tujuan, prinsip dihargainya pengetahuan dan penguatan nilai lokal, prinsip
keberlanjutan, prinsip ketepatan kelompok sasaran atau tidak bias pada nelayan
pada strata maupun golongan tertentu, dan prinsip kesetaraan gender, artinya baik pria maupun wanita
memiliki secara aktif diakui hak–haknya dalam masyarakat, memiliki status dan
peran sesuai budaya setempat dan terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
Hasil penelitian Mubyarto dan
Dove (1984) menyimpulkan bahwa modernisasi perikanan melalui introduksi
kapal-kapal motor telah menimbulkan jurang yang bertambah lebar antara mereka
yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi tersebut, bahkan
introduksi budidaya tambak udang yang padat modal hanya berpihak pada kelompok
kaya atau dengan perkataan lain pembangunan berakibat pada menguatnya
marjinalisasi kelompok miskin. Dampak
positif maupun negatif dari modernisasi perikanan, khususnya bagi masyarakat
nelayan, petani petambak, maupun kelompok masyarakat pesisir yang lain
(pengolah hasil laut, pemberi jasa wisata bahari dan lain-lain) perlu
diantisipasi, yaitu melalui penerapan paradigma pembangunan yang lebih
menekankan pada aspek manusianya. Implikasinya adalah pembangunan akan
berkelanjutan (sustainability),
karena program-program pembangunan
menciptakan manusia-manusia yang berdaya dan mandiri. Soedijanto (1997)
menyatakan bahwa pembangunan yang hanya menekankan pada produktivitas, justru
hanya menimbulkan ketergantungan petani pada pemerintah.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, peran
komunikasi pembangunan sangat dibutuhkan dalam membantu masyarakat pesisir,
khususnya nelayan dalam menghadapi modernisasi.
Seperti telah dikemukakan oleh van Den Ban (1999) bahwa peranan berbagai
program penyuluhan sebagai implementasi komunikasi pembangunan adalah dengan
membantu petani untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan
bagi mereka, dan dengan cara menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai
konsekuensi dari masing-masing pilihan tersebut. Upaya pemberdayaan nelayan
kecil menurut Satria (2001) perlu memahami struktur sosial masyarakat nelayan,
tidak hanya melihat aspek ekonomi atau teknologi saja, melainkan juga aspek
sosial-budaya perlu diperhatikan, sehingga program tidak lagi hanya bersifat
“ingin cepat selesai.”
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di dua wilayah pesisir
Kabupaten Buleleng yakni di Kecamatan Grokgak dengan jarak lebih kurang 55 km
sebelah barat ibu kota kabupaten, dan di Kecamatan Buleleng yang letaknya lebih
kurang delapan kilometer dari ibu kota kabupaten. Penelitian dilaksanakan mulai tahun 2004-2006. Responden penelitian adalah pelaku utama
dalam usaha penangkapan, pengolahan, pembudidaya dan pemasar. Tercatat lebih kurang 692 rumah tangga
perikanan (RTP) melaksanakan usaha di dua wilayah tersebut dan 159 RTP dipilih
sebagai responden secara acak; namun untuk keperluan analisis statistik dipilih
responden yang memiliki aktivitas serupa untuk mewakili populasi yaitu 128
RTP.
*) Armada motor tempel
Data primer yang diperoleh dari responden
meliputi: (1) keragaan sosial ekonomi responden penelitian; (2) informasi
tentang SDP terutama masalah penurunan kualitas SDP meliputi jenis ikan hasil
tangkapan, kualitas terumbu karang, dan kondisi pantai; (3) program
pemberdayaan dan atau intervensi yang pernah berlangsung, hasil yang dicapai
dan kontinuitas program; (4) kompetensi komunikasi penyuluh/fasilitator program
pemberdayaan; (5) kualitas sarana dan prasarana pendukung kegiatan
perikanan. Selain dari responden, data
diperoleh pula dari sumber sekunder yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Kantor
Kecamatan, Badan Pusat Statistik, literatur dan media. Panduan metode wawancara semi terstruktur,
pengamatan dan diskusi dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi selama
penelitian. Data dianalisis secara
deskriptif dengan menerapkan konsep Checkland (1981) tentang soft system methodology (SSM). Di dalam
SSM dikemukakan bahwa untuk mendinamiskan aktivitas manusia sebagai sebuah
sistem, perlu adanya desain konsep tentang CATWOE. CATWOE merupakan singkatan dari Customers (C), Actors (A), Transformation (T),
Welstanchaung (W), Owner (O) dan Environment (E).
Konsep CATWOE digunakan untuk menganalisis peran para pihak dalam
pengembangan strategi komunikasi pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat
pesisir.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Wilayah dan Gambaran Masyarakat Pesisir di Lokasi Penelitian
Kabupaten Buleleng merupakan
salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang terletak di Bagian Utara dengan luas
wilayah 1.366 km2 dan pernah menjadi ibukota provinsi pasca
kemerdekaan Republik Indonesia hingga tahun 1960-an. Batas-batas wilayah Kabupaten Buleleng adalah
di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di barat berbatasan dengan Kabupaten
Jembrana, di selatan berbatasan dengan Kabupaten Tabanan, Badung dan Bangli, serta
di Timur berbatasan dengan Kabupaten Karang Asem. Jumlah penduduk berdasarkan hasil registrasi
pada tahun 2007 berjumlah sebanyak 643.274 jiwa, dari jumlah 167.780 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut terdiri dari
penduduk perempuan sebanyak 320.839 jiwa atau 49,88 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 322.435 jiwa
atau 50,12 persen dari
kondisi tersebut tercermin penduduk laki-laki relatif dominan jika dibandingkan
dengan penduduk perempuan. Penyerapan tenaga
kerja per lapangan usaha di Kabupaten Buleleng pada tahun 2005-2006 (Tabel 2)
memperlihatkan bahwa sektor pertanian dalam arti luas menyerap paling banyak
tenaga kerja dibanding sektor lain. Ini
berarti, kebijakan pemerintah harus mampu memakukan pembangunan pertanian dalam
arti luas yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar penduduk Kabupaten
Buleleng.
Secara
umum, sebagaimana disajikan pada Tabel 3, mayoritas responden berusia
produktif, mayoritas berpendidikan formal SMP tidak tamat, dengan pengalaman
usaha terbanyak antara 12 sampai dengan 20 tahun, pendapatan dari usaha
perikanan bervariasi mulai Rp 420 ribu sampai lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Tanggungan keluarga umumnya tiga sampai empat orang.
Pengelolaan
pesisir Kabupaten Buleleng dibagi ke dalam tiga wilayah pengembangan yaitu (1)
Buleleng Barat dengan usaha utama adalah penangkapan ikan di laut, budi daya
laut, dan pembenihan, (2) Buleleng Tengah untuk usaha penangkapan ikan, dan
pengolahan hasil perikanan, dan (3) Buleleng Timur untuk penangkapan ikan hias,
ikan konsumsi, dan pengolahan (Dinas Kelautan & Perikanan 2003). Guna
mengantisipasi hal tersebut,
strategi komunikasi pembangunan perikanan
dan kelautan harus berfokus pada peningkatan kemampuan nelayan dalam
pengelolaan teknologi penangkapan, penguatan kapasitas permodalan, kemampuan
pengelolaan keuangan dan yang paling urgen adalah perubahan sikap dan perilaku
yang positif memanfaatkan kekayaan bahari.
Sumber : Buleleng Dalam Angka Tahun
2008
Kegiatan nelayan di Grokgak dan Buleleng adalah melakukan
penangkapan ikan. Beberapa desa pesisir di Kecamatan Buleleng
seperti Kaliasem, Tukadmungga dan
Anturan melakukan kegiatan memandu wisatawan menikmati pemandangan
laut dan mengamati perilaku lumba-lumba di pagi hari-hari, dan perempuan
nelayan menjual ikan hasil tangkapan. Kegiatan nelayan di Kecamatan Grokgak meliputi budidaya ikan hias, memandu wisata laut berupa
taman laut,
budidaya bandeng, pembenihan
kerapu dan pengolahan ikan oleh wanita
nelayan.
Aktivitas penangkapan ikan di dua lokasi kajian sangat dipengaruhi oleh musim,
yaitu pada musim panen ikan, nelayan umumnya berangkat pada dini hari dan
pulang lebih cepat (sekitar pukul 2.00 atau 3.00 dini hari melaut dan kembali
pukul 7.00 hingga pukul 8.00). Pada
saat populasi ikan rendah, nelayan di dua desa melakukan kegiatan tani dan
mengandalkan hasil ikan di alat tangkap bagan dan berangkat pukul 18.00 petang
dan baru kembali keesokan hari pada
pukul 06.00 pagi hari. Nelayan
membutuhkan pendampingan dalam hal pemasaran hasil, pemeliharaan terumbu karang, kawasan pesisir dan
penguatan kelembagaan kelompok nelayan. Proses-proses
komunikasi pembangunan yang saat ini berlangsung masih terlalu berfokus pada
sosialisasi informasi tentang program kerja dan prioritas pemerintah, belum
mengarah pada terobosan pendayagunaan saluran dan media komunikasi lokal untuk
memperkuat jaringan sosial masyarakat pesisir.
Peran Strategi Komunikasi Pembangunan dalam Menjembatani Kesenjangan
Menghadapi
permasalahan masyarakat pesisir di lokasi
kajian,
maka dalam aplikasinya di lapangan dapat dikomunikasikan program berikut:
1. Peningkatan
keterampilan nelayan dan keluarganya dalam mengelola hasil tangkapan,
memperbaiki sikap yang merusak lingkungan dengan mensosialisasikan pentingnya
menjaga kelestarian sumber daya
alam;
2. Peningkatan
kemampuan manajemen usaha penangkapan dan diversifikasi usaha yang disertai
penguatan ekonomi keluarga melalui usaha produktif;
3. Penguatan
kelembagaan lokal termasuk organisasi pemasaran hasil perikanan;
4. Pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu dengan mengedepankan prinsip sustainability (sumber daya alam) dan kesejahteraan masyarakat; dan
5. Membangun
jejaring (network) dengan mitra
usaha guna memperbesar armada dan menggunakan alat tangkap yang lebih efektif dan tidak merusak lingkungan.
Dengan
demikian, pesan-pesan atau materi dalam komunikasi pembangunan masyarakat
pesisir tidak sekedar mentransferkan informasi saja, tetapi menyangkut aspek
transformasi keadaan dari kondisi sekarang yakni nelayan dan keluarganya yang
masih terpinggirkan, menjadi lebih
mandiri,
sejahtera dan bermartabat. Komunikasi
pembangunan dapat memainkan peran dalam perubahan berencana, sebagaimana
dikemukakan pula oleh S.C. Dube (Shramm &
Lerner
1976), bahwa dalam pembangunan di
India, komunikasi memegang peran nyata dalam mengembangkan media untuk
memobilisasi masyarakat dan pemerintahnya.
Fenomena berlangsung di salah satu desa di Kecamatan Grokgak yakni
di Desa Pemuteran adalah kerja sama antara nelayan dengan pecalang dalam
pengelolaan kelestarian sumber daya laut.
Sebetulnya Desa Pemuteran sudah memiliki
peraturan adat atau “awig–awig” yang menyebutkan bahwa setiap perusak
lingkungan akan dikenakan sanksi, yakni pembinaan awal, yang apabila dilanggar
sampai tiga kali maka ada sanksi khusus.
Akan tetapi, kesadaran bahwa laut harus dipelihara kelestariannya sudah
mulai tumbuh di kalangan masyarakat.
Seperti yang pernyataan seorang nelayan berikut:
“……kami nelayan di sini sangat
kuatir dengan kegiatan pengeboman nelayan pencari ikan hias. Sudah banyak sekali karang-karang hancur dan
ini menyebabkan rusaknya lingkungan di sini.
Kami juga menjadi rugi, karena ndak bisa nangkap ikan banyak……..mohon
yang berwenang mengambil tindakan….. dan kami juga kekurangan modal untuk
ngembangkan usaha……….”
Komentar nelayan itu memperlihatkan bahwa
nelayan sesungguhnya memiliki kepedulian atas degradasi lingkungan yang dipicu
oleh kebutuhan ekonomis. Nelayan
mengeluhkan minimnya penegakan hukum dan modal yang terbatas untuk berusaha di
bidang lain. Atas latar belakang inilah
maka secara bertahap, sejak tahun 1993 diadakan pendekatan melalui pertemuan
dengan tokoh–tokoh adat dan nelayan untuk menimbulkan kesadaran pemahaman
pentingnya pemeliharaan laut, khususnya kawasan wisata. Usaha ini mulai menampakkan hasil yang
menggembirakan. Beberapa tahun kemudian,
kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potasium sudah berkurang dan penghasilan
nelayan pun bertambah. Hal ini didukung
oleh kerjasama antara pecalang dengan nelayan dalam pelarangan penangkapan ikan
di kawasan wisata, serta pembuatan terumbu karang buatan.
Sejatinya,
dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM),
Nikijuluw (2002) menyebutkan bahwa di beberapa daerah di Indonesia seperti Maluku, dalam menangkap
ikan hanya menggunakan alat tangkap sederhana.
Sedangkan di Irian Jaya menurut Nikijuluw (2002) menerapkan aturan bahwa
jika penduduk suatu suku ingin menangkap ikan di perairan yang menjadi wilayah
suku lain, maka teknologi yang digunakan harus sama. Kehadiran alat tangkap modern, cenderung
mendesak nelayan kecil untuk meninggalkan daerahnya dan keluar dari perairan
daerah asalnya, sehingga seringkali menimbulkan konflik antara nelayan satu
dengan lain karena perebutan fishing ground dan penggunaan teknologi
yang berbeda. Atas dasar pemikiran ini,
maka sebenarnya peran program komunikasi pembangunan sangat luas mulai dari
sekedar pentransferan informasi dan teknologi, pemberdayaan hingga peningkatan
pemahaman masyarakat akan nilai-nilai budaya lain (able to understand).
Hasil wawancara
dengan perempuan nelayan di Desa Anturan memperlihatkan bahwa kaum perempuan
masih berkutat pada persoalan domestik, belum ada inovasi yang sesuai dengan nilai-nilai lokal yang dapat
mengefisienkan waktu untuk kegiatan domestik. Jika dapat diefisienkan, maka kaum perempuan ada kesempatan untuk
mengembangkan diri dan keluarganya dalam kegiatan sosial ekonomi untuk
peningkatan kualitas hidup keluarga.
Pengolahan hasil perikanan tangkap untuk fish nugget belum menjadi minat nelayan setempat. Salah seorang
perempuan nelayan berkata:
“………….Saya ndak dikasi kerja macem-macem, yang penting jualan ikan
ini dulu. Nanti kan kalo laku, bisa buat
mencari ikan lagi di laut. Kalo
ngolah ikan pasti perlu ini itu dan tambah repot, iya kalo ada yang beli, kalo
ndak ada yang beli, kan rugi….”
Terdapat tiga hal yang
menyebabkan perempuan nelayan tidak ada peluang untuk mengelola usaha pengolahan ikan, yaitu (i) kebutuhan uang (cash) yang mendesak; (ii) keterbatasan waktu
dan modal usaha; dan (iii) pemasaran. Dengan demikian,
orientasi komunikasi pembangunan di kawasan pesisir cukup berat karena bukan
hanya dituntut mampu mengubah pengetahuan, tetapi juga mengubah sikap dan
membantu memperkuat struktur sosial ekonomi nelayan, sehingga lebih kuat
dalam menghadapi tantangan.
Strategi Komunikasi Pembangunan pada Masyarakat
Pesisir
Pelaksanaan program pemberdayaan di lokasi penelitian
hingga tahun 1990-an masih belum berorientasi pada pengutamaan kebutuhan
masyarakat. Pada tahun 2000 secara lebih
intensif diterapkan pendekatan yang mengutamakan penyelesaian persoalan
masyarakat (problem solving) dan berpusat pada kebutuhan masyarakat (people
centered development). Pendapat
masyarakat pesisir tentang pendekatan penyuluhan/pemberdayaan masyarakat
dirangkum pada Tabel 4. Contoh kasus:
pendekatan berpusat pada nelayan diterapkan pada program rehabilitasi karang
sebagai salah satu pilihan atas solusi persoalan degradasi lingkungan. Selain itu, dikembangkan usaha penangkapan
ikan hias yang ramah lingkungan untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui
penggunaan jaring khusus (stable net).
Komunikasi pembangunan harus diselenggarakan secara partisipatif, sebab
pendekatan ini memudahkan agent of change
membantu masyarakat menyelesaikan persoalannya. Komunikasi pembangunan dapat
dipandang sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat, yang dalam kegiatannya berkaitan dengan orang dewasa. Implikasi hal
ini, pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran orang dewasa (adult learning approach) dalam penyiapan dan penyelenggaraan perlu dipusatkan
dalam kebutuhan nyata peserta proses belajar (Amanah 1996) atau lebih dikenal
dengan learner-centred approaches. Orang
dewasa merupakan orang yang sudah kaya pengalaman sebagaimana dikemukakan oleh (Simpson
1993) sehingga perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Pembelajaran
orang dewasa didasarkan pada pengalaman masa lalu dan patut dihargai.
2. Pengalaman
masa lampau tersebut harus dihargai oleh peserta lainnya dan harus diupayakan
diterapkan dalam proses belajar. Pembelajaran yang melibatkan transformasi
pengalaman masa lalu membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih besar dibandingkan
model belajar lainnya.
3.
Lingkungan mempengaruhi kemampuan orang dewasa
dalam belajar. Lingkungan terbaik
seperti kondisi yang mengurangi gangguan pada orang dewasa yang sedang belajar
akan memberikan dukungan yang berharga.
Peserta dewasa akan belajar dengan baik di lokasinya sendiri. Orang dewasa tidak akan efektif jika belajar
di bawah tekanan atau waktu yang dibatasi.
Mereka tidak suka membuang waktu,
dan orang dewasa lebih tertarik padaa proses belajar yang memberikan hasil
nyata yang nyata dan cepat.
4. Orang
dewasa akan belajar bahan atau materi yang dia perlukan (selektif).
5. Orang
dewasa dapat didorong untuk belajar pada materi yang relevan pada peran dan
kehidupannya saat ini.
6. Orang
dewasa belajar untuk kehidupannya dan untuk mereka yang terlibat dalam
kelompoknya.
Tabel 4 Pendapat masyarakat pesisir tentang penyuluhan/program
pemberdayaan di lokasi penelitian, 2009
Keterangan: T =
Setuju; TS = Tidak Setuju
Sumber: Data
primer diolah
Prinsip
partisipasi dalam komunikasi pembangunan bukan sebatas proses sekedar hadir,
memberikan pendapat atau hanya berdasarkan persepsi pemerintah atau penyuluh
sendiri. Sangat rasional, jika masyarakat pesisir
belum mau terlibat dalam berbagai program pembangunan khususnya kegiatan
penyuluhan karena sejak awal masyarakat tidak terlibat dalam menentukan kegiatan yang
diprogramkan. Terkait dengan hal ini, proses aksi sosial dan proses
pengambilan keputusan dalam model adopsi inovasi Rogers (1994) dapat
dimodifikasi. Proses aksi sosial
meliputi lima tahap: (1) stimulasi minat
(stimulation of interest) yaitu inisiatif dalam komunitas mulai berkembang pada
tahap awal dalam ide baru dan praktek; (2) inisiasi (initiation) yaitu kelompok
yang besar mempertimbangkan ide baru atau praktek dan alternatif dalam
implementasi; (3) legitimitasi (legitimation) merupakan tahap saat pimpinan
komunitas memutuskan akan meneruskan tindakan atau tidak; (4) keputusan
bertindak adalah rencana spesifik tindakan mulai dibangun; dan (5) aksi yaitu
penerapan rencana (Donnermeyer et al.
1997). Model adopsi inovasi Rogers
meliputi lima tahap: (1) pengetahuan (knowledge) seseorang menjadi sadar akan adanya ide atau cara baru; (2)
persuasi (persuasion) yaitu individu mulai mengembangkan sikap suka atau tidak
suka terhadap ide tersebut, (3) keputusan (decision) adalah individu membuat
keputusan awal untuk mengadopsi atau tidak ide tersebut; (4) implementasi (implementation) adalah individu mencoba ide atau cara
baru tersebut untuk pertama kali; dan (5) konfirmasi (confirmation) adalah
individu memutuskan menerapkan ide atau cara baru secara berulang dan dapat
disertai modifikasi.
Menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan wilayah pesisir tidak cukup hanya dengan mengidentifikasi isu
yang dihadapi saja, tetapi perlu diwujudkannya beberapa aspek yaitu adanya aspek
situasional, kolaborasi dan evaluasi diri dari setiap unsur yang terkait dengan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Agent of change seyogyanya mampu mengembangkan empat aspek (Kemmis & McTaggart 1988),
yaitu:
a.
Suatu kondisi yang memungkinkan tumbuhnya
kebersamaan dalam kelompok masyarakat
dan rasa memiliki problem yang tengah dihadapi;
b.
Adanya kemampuan berkreasi dan pemikiran yang
kritis;
c.
Program yang dilaksanakan adalah untuk tujuan
perbaikan dan pengembangan; dan
d. Kemampuan
memfasilitasi masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah.
Keterlibatan masyarakat dalam
program-program pengembangan dan proyek pembangunan dapat digolongkan kedalam
tujuh tipe (Adnan et al. dalam Pretty
1995), seperti tampak pada Tabel 5.
Para pihak terkait dengan program
komunikasi pembangunan perlu mengetahui tipe partisipasi masyarakatnya,
sehingga dapat mengembangkan pendekatan yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayahnya. Idealnya, masyarakat memiliki tipologi keenam
dan ketujuh. Meskipun demikian, jika
masyarakat sudah berada pada tipologi kelima itu sudah bagus karena
sudah ada langkah maju untuk berinisiatif membentuk dan mengembangkan organisasi
di lingkungan mereka sendiri. Hal ini dapat dibanding dengan hasil
penelitian Douglah dan Sicilima
di Tanzania (1997) tentang pelibatan masyarakat dalam dua pendekatan penyuluhan
yaitu Latihan dan Kunjungan dan Sasakawa Global 2000. Partisipasi pada
kedua
pendekatan belum menerapkan pendekatan partisipasi yang berimbang.
Partisipasi masih ditekankan hanya pada pelaksanaan ketimbang pelibatan
petani saat perencanaan dan evaluasi program.
Tampak bahwa prinsip
partisipasi bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan. Penerapan metode partisipasi memerlukan
proses yang bertahap. Penumbuhan
partisipasi perlu dimulai dengan fasilitasi pada masyarakat pesisir tentang
pentingnya keterlibatan yang bersangkutan pada kegiatan yang bermanfaat bagi
masyarakat sekaligus untuk memperbaiki hidup dan kehidupan. Pada tahap awal bentuk partisipasi bisa
berupa pemanfaatan hasil-hasil penyuluhan (inovasi), lalu partisipasi akan lebih intensif secara bertahap, hingga
akhirnya masyarakat mampu mandiri untuk mengelola kegiatannya dengan mobilisasi
diri.
Stakeholders yang dalam Komunikasi Pembangunan Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan
sistem sosial, sehingga framework
CATWOE ini relevan dengan proses
transformasi masyarakat pesisir ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, pihak terkait yang dapat komunikasi pembangunan berorientasi pemberdayaan
meliputi:
·
Customers: Masyarakat pesisir
termasuk nelayan dan anggota keluarganya,
·
Actors: Pemuka masyarakat,
agen pembaharu, penyuluh, ketua dan anggota kelompok nelayan,
·
Transformation:
proses perubahan berupa proses komunikasi pembangunan yang ditujukan untuk
meningkatkan martabat masyarakat pesisir, seperti kegiatan penguatan
kelembagaan lokal (seperti lembaga pemasaran, kelompok nelayan), pengembangan
kapasitas sumber daya
manusia setempat, pengelolaan sumber daya
pesisir dan lautan terpadu dan lain-lain.
·
Welstanchaung = worldview:
pemahaman terhadap cara pandang, nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat
pesisir, dan dihargai sebagai aset masyarakat setempat. Di wilayah penelitian, masing-masing kelompok nelayan memiliki
awig-awig (peraturan yang dikelola
oleh komunitas lokal dan didasarkan pada adat istiadat dan budaya Bali) sangat
ditaati oleh nelayan dan masyarakat pesisir setempat.
·
Owners: Dinas Kelautan dan
Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, pemerintahan
desa dan kecamatan dan instansi terkait lainnya yang berfungsi mengembangkan
masyarakat setempat
·
Environment:
kondisi lingkungan setempat perlu diperhatikan seperti kebijakan lokal apakah
mendukung atau tidak terhadap program pemberdayaan masyarakat pesisir.
Sebagai
sebuah sistem sosial, masyarakat pesisir tentunya memiliki struktur sosial
tertentu, dan dikenalnya status dan peran pada tiap anggota masyarakat. Strategi komunikasi pembangunan pada
masyarakat bersifat spesifik untuk tiap wilayah, setiap upaya perubahan perlu
mempertimbangkan berbagai faktor seperti masalah sosial ekonomi, kondisi fisik
lingkungan (sumber daya
alam), dan sumber daya manusia secara umum (termasuk agen
pembaharu). Unsur-unsur yang terlibat
dalam komunikasi pembangunan berubah-ubah dan harus diantisipasi secepatnya. Perubahan
merupakan proses alamiah yang tidak bisa dihindari dan harus terjadi pada
sesuatu, individu atau masyarakat sebagai reaksi atau adaptasi pada kondisi
yang dihadapi. Proses perubahan pada masyarakat pesisir dalam konteks perubahan
sosial ke arah yang lebih baik berkaitan
dengan
transformasi struktur dan interaksi sosial dari sebuah masyarakat (Horton & Hunt dalam Garcia 1985) dan
merupakan variasi atau modifikasi dalam pola organisasi sosial atau subkelompok
dalam masyarakat atau pada keseluruhan masyarakat itu sendiri (Panopio,
Cordero, & Raymund
dalam Garcia 1985). Dengan demikian, kendala-kendala yang
dihadapi dan masalah yang timbul diantaranya adalah adanya keinginan untuk mempertahankan status
quo (reluctant to change) oleh sekelompok masyarakat yang dapat
mempengaruhi proses perubahan. Sebagai
mana diketahui, dalam teori adopsi-inovasi ada tahapan yang dilalui jika suatu
ide baru diterapkan dan proses itu merupakan proses mental. Setiap tahap akan memerlukan waktu, pemikiran
dan respon yang berlainan (awareness,
interest, trial, evaluation dan keputusan apakah menolak ataukah
menerima inovasi (pembaharuan – ide atau teknologi baru). Guna
mengantisipasi hal ini, maka sangat relevan bagi agen pembaharu untuk
menerapkan pendekatan penyuluhan yang tepat sesuai dengan tahapan komunikasi
yang sedang berlangsung di masyarakat (Gambar 3).
Terdapat tiga pilihan metode pendekatan atau
kombinasi ketiganya yang dapat digunakan dalam pelaksanaan program ketahanan
pangan, yaitu:
1. Pendekatan
perorangan, misalnya kegiatan kunjungan perorangan, konsultasi ke rumah, penggunaan
surat atau telpon, dan magang.
2. Pendekatan
kelompok, misalnya kursus tani-nelayan, demonstrasi cara atau hasil, kunjungan
kelompok, karyawisata, diskusi kelompok, ceramah, pertunjukan film, slide,
karyawisata, penyebaran brosur, buletin, folder, liptan, asah terampil,
sarasehan, rembug utama atau madya, temu wicara, temu usaha, temu karya dan temu lapang.
3. Pendekatan
massal seperti pameran, Pekan Nasional (Penas), Pekan Daerah (Peda), pertunjukan film atau wayang, drama, penyebaran pesan melalui
siaran radio, televisi, surat kabar, selebaran atau majalah, pemasangan
poster atau spanduk dan sebagainya.
KESIMPULAN
Kondisi masyarakat pesisir dan nelayan di lokasi
penelitian belum terbebas dari persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil
menengah meliputi, akses terhadap aset dan sumber-sumber modal terbatas,
kebutuhan akan penguatan kelembagaan kelompok untuk pengembangan kapasitas
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
Peran penting komunikasi pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat
pesisir adalah menjembatani kesenjangan yang terjadi antara kondisi masyarakat
saat ini dengan kondisi yang ingin dicapai melalui proses-proses komunikasi
yang partisipatif, dialogis dan memotivasi.
Strategi komunikasi pembangunan
untuk wilayah pesisir hendaknya spesifik
lokasi, dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: (i) Program pembangunan perlu
menjaga keseimbangan antara pembangunan fisik dan non fisik, tidak hanya
mengejar pertumbuhan, tetapi harus menanamkan modal manusia untuk masa depan;
(ii) Pesan-pesan dalam komunikasi pembangunan tersebut ditentukan berdasarkan
kebutuhan masyarakat nelayan dan ditransformasikan kepada masyarakat melalui
metode-metode yang relevan dengan situasi dan kondisi setempat, (iii)
Diperlukan perencanaan yang matang dalam rancang bangun strategi komunikasi
pembangunan, melibatkan peran serta masyarakat pesisir dan stakeholders terkait dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
hingga tindak lanjut dan (iv)
Sinkronisasi dan koordinasi antar stakeholders
terkait dengan masyarakat pesisir dapat menjamin keberlanjutan program
pembangunan dan mendorong terwujudnya struktur sosio-ekonomi masyarakat lokal
yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan SBA, Nurul Alam SM, Brustinow A.
1995. People’s Participation.
NGOs and the Flood Action Plan. Dalam J. N.
Pretty. Regenerating Agriculture.
London: Earthscan Publication
Ltd.
|
Amanah S. 1996. A Learner-Centred Approach to Improve
Teaching and Learning Process in Agricultural Polytechnic in Indonesia.
Thesis. Australia: University of
Western Sydney.
|
Amanah S, Fatchiya A, Dewi S. 2004. Pemodelan Penyuluhan Perikanan Pada Masyarakat Pesisir Secara
Partisipatif. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing X. IPB,
Bogor.
|
Amanah S, Yulianto G. 2002. Profil
Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan Menunjang Kinerja DKP di Era Globalisasi. Jakarta: STP (dulu AUP).
|
Amanah S. 2007.
Kearifan Lokal dalam
Pengembangan Komunitas Pesisir.
Bandung: CV. Citra Praya.
|
Bowling CJ, Brahm BA. 2002.
Shaping Communities through Extension
Programs. Journal of Extension,
June 2002 Volume 40 Number 3.
http://www.
joe.org/joe 2002june/a2.html.
|
Dahuri R. 2000.
Pendayagunaan Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran DR.
Ir. Rokhmin Dahuri, MS). Jakarta:
LISPI (Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia) bekerjasama
dengan DIrektorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Dep.
Eksplorasi Laut dan Perikanan.
|
Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng. 2003. Data Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2002. Singaraja: Dinas Kelautan dan Perikanan.
|
Direktur Jenderal
Perikanan, 2000. Visi dan Misi Pembangunan Perikanan. Jakarta: Dep. Perikanan dan Ilmu Kelautan.
|
Donnermeyer, Joseph F, Plested BA, Edwards RW, Oetting G, Littlethunder L. 1997.
“Community Readiness and Prevention Programs.” Journal of the Community Development
Society, Vol. 28. No.1: 65-83.
|
Douglah M, Sicilima N.
1997. A Comparative Study of farmers’ Participation in Two Agricultural
Extension Approaches in Tanzania.
Journal of International Agricultural and Extension Education. Volume 4, Number1, Spring 1997
|
Dube SC. 1976. Development Change and Communication in
India. Dalam Schramm, W dan
Lerner, D.(editors). Communication and
Change: The Last Ten Years – and The Next.
Honolulu: An East-West Center Book, The University Press of Hawaii.
|
Checkland P. 1984.
Systems Thinking, System Practice. Chichester: John Wiley & Sons.
|
Garcia MB. 1985. Sociology
of Development: Perspective and Issues. Philippines: National
Book Store, Inc.
|
Hanson AJ. 1984. Coastal
Community: International Perspectives.
Paper Presented at the 26 th Annual Meeting of the Canadian Commission
for UNESCO, St John’s Newfoundland, 6 th June 1984.
|
Harris EM. 1996.
The Role of
Participatory Development Communication as a Tool of Grassroots Nonformal
Education: Workshop Report. Dalam Guy Bessette and C.V. Rajasunderam (Editor). Participatory
Development Communication: A West African Agenda. The International
Development Research Centre: Science for Humanity.
|
Kemmis, Stephen, Mac.Taggart, Robin. 1988. The Action Research Planner. Melbourne: Deakin University Press. |
Kifli GC. 2007. Strategi Komunikasi Pembangunan pada
Komunitas Dayak di Kalimatan Barat. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 25 No. 2,
Desember 2007 : 117 – 125
|
Mubyarto SL, Dove M. 1984.
Nelayan dan Kemiskinan.
Jakarta: Rajawali.
|
Nasution Z. 2002. Komunikasi
Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Edisi Revisi. Jakarta:
Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada.
|
Nikijuluw V. 2002.
Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan.
Jakarta: Kerjasama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan
PT Pustaka Cidesindo.
|
Payne M.
1997. Modern Social Work Theory.
Edisi Kedua. London: MacMillan
Press Ltd.
|
Pretty JN. 1995.
Regenerating Agriculture. London: Earthscan Publication.
|
Rogers EM. 1994.
The Diffusion Process. Edisi
Keempat. New York: The Free Press.
|
Satria A. 2000. Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press, Bandung.
|
________. 2001. Sosiologi Masyarakat
Pesisir. Jakarta:
PT Pustaka Cidesindo.
|
Shumsky A. 1988.
Cooperation in Action
Research: A Rationale. Dalam Kemmis, S dan R. McTaggart
(eds). The Action Research
Reader. Victoria, Melbourne: Deakin
University Press.
|
Simpson I.
1993. Rural Extension – A Change in Emphasis. Proceedings of the Workshop:
Defining/redefining Extension Practice Science Leaders’Group. Goulburn:
NSW Agriculture.
|
Soediyanto. 1997. Sekolah
Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) sebagai Salah Satu Alternatif
model Penyuluhan untuk Mendukung Pembangunan Pertanian di Awal Datangnya
Millenium Baru. Presentasi
Pertemuan Penyegaran Pemandu Lapangan. Malang: Univ. Brawijaya.
|
Van den Ban AW, Hawkins HS. 1989. Agricultural Extension. London: Elsevier.
|
Waskita D. 2005. Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan. Jurnal Organisasi dan manajemen. Vol 1. No. 1, September 2005.
|
loading...
0 Response to "KUMPULAN CONTOH MAKALAH KOMUNIKASI PERAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR"
Post a Comment