https://ylx-4.com/fullpage.php?section=General&pub=234891&ga=a

KUMPULAN MAKALAH TERBARU DAN LENGKAP TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH




PENGOLAHAN  AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM HORIZONTAL SUBSURFACE FLOW CONSTRUCTED WETLAND

PEMBAHASAN


       Kajian Teori
       Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari Senyawa organik dan Senyawa anorganik, dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu. Kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Karakteristik limbah adalah :
1.      Berukuran mikro
2.      Dinamis
3.      Berdampak luas (penyebarannya)
4.      Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
1.      Volume limbah
2.      Kandungan bahan pencemar
3.      Frekuensi pembuangan limbah
Air limbah terbentuk karena adanya pencemaran air. Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Meningkatnya kandungan nutrient dapat mengarah pada eutrofikasi. Senyawa organik yang banyak terdapat pada air selokan (sewage) dapat merusak ekosistem, karena mempunyai nilai BOD yang tinggi dan nilai DO yang kecil, karena bakteri memerlukan oksigen untuk menguraikan zat organik, sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air semakin kecil. Keadaan ini  berdampak buruk pada  ekosistem. Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti ion logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.

Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian pada parameter berikut:
1.    Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen)
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai dan dapat mengganggu kehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parah jika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2.    Perubahan warna, bau dan rasa
Air normal dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal dari limbah industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.
3.    Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut
Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendap didasar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid, dan akan menghalangi degradasi melalui reaksi biokimia. Banyaknya bahan-bahan organik dalam air diukur menjadi uji COD. Nilai BOD dan COD merupakan indikator adanya suatu polutan yang terkandung dalam air limbah.

Sesuatu benda dapat dikatakan polutan bila kadarnya melebihi batas normal dan berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Polutan dapat berupa debu, bahan kimia, suara, panas, radiasi, makhluk hidup, zat-zat yang dihasilkan makhluk hidup dan sebagainya. Adanya polutan dalam jumlah yang berlebihan menyebabkan lingkungan tidak dapat mengadakan pembersihan sendiri (regenerasi). Oleh karena itu, polusi terhadap lingkungan perlu dideteksi secara dini dan ditangani segera dan terpadu.
Beberapa contoh polutan adalah sebagai berikut:
a.    Fosfat
Fosfat berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan deterjen.
b.    Nitrat dan Nitrit
Kedua senyawa ini berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan proses pembusukan materi organic.
Poliklorin Bifenil (PCB)
Senyawa ini berasal dari pemanfaatan bahan-bahan pelumas, plastik dan alat listrik.
c.    Residu Pestisida Organiklorin
Residu ini berasal dari penyemprotan pestisida pada tanaman untuk membunuh serangga.
d.    Minyak dan Hidrokarbon
Minyak dan hidrokarbon dapat berasal dari kebocoran pada roda dan kapal pengangkut minyak.
e.    Radio Nuklida
Radio nuklida atau unsur radioaktif berasal dari kebocoran tangki penyimpanan limbah radioaktif.
f.     Logam-logam Berat
Logam berat berasal dari industri bahan kimia, penambangan dan bensin.
g.    Limbah Pertanian
Limbah pertanian berasal dari kotoran hewan dan tempat penyimpanan makanan ternak.
h.    Kotoran manusia
Kotoran manusia berasal dari saluran pembuangan tinja manusia.

Ada beberapa tipe polutan yang dapat masuk perairan yaitu: bahan-bahan yang mengandung bibit penyakit, bahan-bahan yang banyak membutuhkan oksigen untuk pengurainya, bahan-bahan kimia organik dari industri atau limbah pupuk pertanian, bahan-bahan yang tidak sedimen (endapan), dan bahan-bahan yang mengandung radioaktif dan panas. Penggunaan insektisida seperti DDT (Dichloro Diphenil Trichonethan) oleh para petani, untuk memberantas hama tanaman dan serangga penyebar penyakit lain secara berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran air. Terjadinya pembusukan yang berlebihan diperairan dapat pula menyebabkan pencemaran. Pembuangan sampah dapat mengakibatkan kadar O2 terlarut dalam air semakin berkurang karena sebagian besar dipergunakan oleh bakteri pembusuk.
Menurut Hammer (1991), Sistem Constructed Wetland adalah sistem yang  terdiri dari tiga faktor utama:
1.    Area yang tergenangi air dan mendukung hidup tanaman air sejenis hydrophita.
2.    Media tempat tumbuh tanaman berupa tanah yang selalu digenangi air (basah).
3.    Media tempat tumbuh tanaman bias juga bukan  tanah, tetapi media yang jenuh dengan air.
Definisi lain dari Sistem Constructed wetland sangat beragam diantaranya Sistem Constructed wetland adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air  yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent misalnya Cattail, bulrush, umbrella plant dan canna (Metcalf and Eddy, 1991). Pengertian lainnya Sistem Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat untuk mengolah air limbah domestik, untuk aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau sebagai tempat hidup habitat liar lainnya, selain itu constructed wetland dapat juga digunakan untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Sistem Constructed Wetland dapat berupa biofilter yang dapat meremoval sediment dan polutan seperti logam berat (Wikipedia, 2007).

Sistem Constructed Wetland ini dapat dibedakan atas:
-          Natural Wetland
Pengolahan dalam area yang sudah ada secara alami, contohnya daerah rawa-rawa dekat pesisir pantai. Kehidupan biota dalam natural wetland sangat beraneka ragam. Debit limbah tidak direncanakan, dan tanaman dapat tumbuh tanpa perlu dirawat.
-          Constructed Wetland
Pengolahan yang strukturnya direncanakan, yaitu:
a.    Debit yang mengalir tertentu
b.    Beban organik tertentu
c.    Kedalaman media tanah maupun air < 0.6 m.
d.    Tanaman perlu dipelihara  selama proses pengolahan.
Sistem constructed wetland lebih dianjurkan karena:
a.    Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri termasuk ion logam berat.
b.    Tidak berbau, karena sistem pengolahan di dalam tanah dan tidak ada genangan air di permukaan.
c.    Efisiensi pengolahan tinggi > 80%.
d.    Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah.
e.    Tidak membutuhkan keterampilan yang tinggi.
(Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A, 2001)
Berdasarkan arah aliran airnya, constructed wetland dibagi menjadi dua jenis, yaitu: Horizontal Flow Wetlands dan Vertical Flow Wetlands.

Horizontal-flow wetlands terdiri atas dua variasi, yaitu: free-water surface-flow (FWF) dan sub-surface water-flow (SSF). Sistem ini bisa disesuaikan ke hampir semua lokasi dan bisa dibangun dalam banyak konfigurasi dari unit tunggal kecil yang hanya beberapa meter persegi sampai sistem dengan luas beratus hektar yg terintegrasi dengan pertanian air atau tambak (USAID, 2006).

FWS disebut juga rawa buatan dengan aliran di atas permukaan tanah. Sistem ini berupa kolam atau saluran-saluran yang dilapisi dengan lapisan impermeable di bawah saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau saluran.
FWS tersebut berisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang hidup pada air tergenang (emerge plant) dengan kedalaman 0,1-0,6 m (Metcalf & Eddy, 1993). Pada sistem ini limbah cair melewati permukaan tanah. Pengolahan limbah terjadi ketika air limbah melewati akar tanaman, kemudian air limbah akan diserap oleh akar tanaman dengan bantuan bakteri (Crites and Tchobanoglous, 1998 dalam Wijayanti, 2004).
Untuk sistem FWS dapat dilihat pada Gambar:


Sistem (SSF)
SSF disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah permukaan tanah. Air limbah mengalir melalui tanaman yang ditanam pada media yang berpori (Novotny dan Olem, 1994). Sistem ini menggunakan media seperti pasir dan kerikil dengan diameter bervariasi antara 3-32 mm. Untuk zona inlet dan outlet biasanya digunakan diameter kerikil yang lebih besar untuk mencegah terjadinya penyumbatan (USAID, 2006).
Proses pengolahan yang terjadi pada sistem ini adalah filtrasi, absorbsi oleh mikroorganisme, dan absorbsi oleh akar-akar tanaman terhadap tanah dan bahan organik (Novotny dan Olem, 1994). Pada sistem SFS diperlukan slope untuk pengaliran air limbah dari inlet ke outlet. Tipe pengaliran air limbah pada umumnya secara horizontal, karena jenis ini memiliki efisiensi pengolahan terhadap suspended solid dan bakteri lebih tinggi dibandingkan tipe yang lain. Hal ini disebabkan karena daya filtrasinya lebih baik. Penurunan BOD nya juga lebih baik karena kapasitas transfer oksigen lebih besar (Khiattudin, 2003).
Menurut USAID (2006), SSF adalah sistem yang lebih disukai untuk sistem setempat, karena sistim FWS berpotensi menjadi tempat bagi nyamuk untuk berkembangbiak, tetapi karena  sistem SSF ditutup dengan pasir atau tanah, sehingga tidak ada resiko langsung terhadap potensi timbulnya nyamuk.
Untuk Sub surface Flow Sistem dapat dilihat pada gambar dibawah ini


Media tempat tumbuh yang digunakan dalam sistem constructed wetland jenis Horizontal Subsurface Flow (HSSF) beragam, dapat berupa tanah yang selalu digenangi air (basah), maupun media bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air.

media dalam Sistem Costructed Wetland HSSF
Media yang digunakan dalam penelitian ini merupakan media berbahan anorganik dan organik. Bahan anorganik adalah bahan dengan kandungan unsur mineral tinggi yang berasal dari proses pelapukan batuan induk di dalam bumi. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, mineral yang berasal dari pelapukan batuan induk dapat digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu kerikil atau batu-batuan (berukuran lebih dari 2 mm), pasir (berukuran 50 /-1- 2 mm), debu (berukuran 2-50 µm), dan tanah liat (berukuran kurang dari 2 µm). Selain itu, bahan anorganik juga bisa berasal dari bahan-bahan sintetis atau kimia yang dibuat di pabrik. Beberapa media anorganik yang sering dijadikan sebagai media tanam yaitu gel, pasir, kerikil, zeolit, pecahan batu bata, spons, tanah liat, vermikulit, dan perlit. 
Media tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik umumnya berasal dari komponen organisme hidup, misalnya bagian dari tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, atau kulit kayu. Penggunaan bahan organik sebagai media tanam jauh lebih unggul dibandingkan dengan bahan anorganik. Hal itu dikarenakan bahan organik sudah mampu menyediakan unsur-unsur hara bagi tanaman. Selain itu, bahan organik juga memiliki pori-pori makro dan mikro yang hampir seimbang sehingga sirkulasi udara yang dihasilkan cukup baik serta memiliki daya serap air yang tinggi.

Media yang baik pada costructed wetland HSSF harus mampu menampung air dan mampu membuang/mengalirkan kelebihan air. Pada penelitian ini, media yang digunakan adalah kerikil, zeolit, dan sejenis tanaman air.
Batuan umumnya digunakan untuk melapisi permukaan media tanaman bersih. Pada dasarnya, penggunaaan kerikil sebagai media tanam tidak jauh berbeda dengan pasir. Hanya saja, kerikil memiliki pori-pori makro lebih banyak daripada pasir. Kerikil sering digunakan sebagai media untuk budi daya tanaman secara hidroponik. Penggunaan media ini akan membantu peredaran larutan unsur hara dan udara serta pada prinsipnya tidak menekan pertumbuhan akar. Namun, kerikil memiliki kemampuan mengikat air yang relatif rendah sehingga mudah basah dan cepat kering jika penyiraman tidak dilakukan secara rutin.

Pada dasarnya, zeolit merupakan jenis batuan seperti kerikil. Zeolit adalah senyawa zat kimia alumino-silikat berhidrat dengan kation natrium, kalium dan barium. Secara umum, zeolit memiliki melekular sruktur yang unik, dimana atom silikon dikelilingi oleh 4 atom oksigen sehingga membentuk semacam jaringan dengan pola yang teratur.
Atom Silicon dapat digantikan dengan atom Aluminium, yang hanya terkoordinasi dengan 3 atom Oksigen. Atom Aluminium ini hanya memiliki muatan 3+, sedangkan Silicon sendiri memiliki muatan 4+. Keberadaan atom Aluminium ini secara keseluruhan akan menyebababkan zeolit memiliki muatan negatif. Muatan negatif inilah yang menebabkan zeolit mampu mengikat kation. Zeolit juga sering disebut sebagai 'molecular sieve' / 'molecular mesh' (saringan molekuler) karena zeolit memiliki pori-pori berukuran melekuler sehingga mampu memisahkan/menyaring molekul dengan ukuran tertentu. Zeolit mempunyai beberapa sifat antara lain: dehidrasi, adsorben dan penyaring molekul, katalisator dan penukar ion.

Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H20) apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut. Tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata. Disini molekul H2O seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik dan dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul, dimungkinkan karena struktur zeolit yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang tinggi.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif dalam saluran antar zeolit. Pusat-pusat aktif tersebut terbentuk karena adanya gugus fungsi asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini tergantung pada proses aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat-pusat aktif yang bersifat asam ini selanjutnya dapat mengikat molekul-molekul basa secara kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai penukar ion karena adanya kation logam alkali dan alkali tanah. Kation tersebut dapat bergerak bebas didalam rongga dan dapat dipertukarkan dengan kation logam lain dengan jumlah yang sama. Akibat struktur zeolit berongga, anion atau molekul berukuran lebih kecil atau sama dengan rongga dapat masuk dan terjebak.

      Tanaman air yang digunakan dalam penelitian ini adalah Phragmites australis dan Juncus inflexus.
Phragmites australis

Taksonomi
Phragmites australis, atau common reed, adalah suatu rumput besar yang ditemukan di dalam tanah basah sepanjang iklim sedang dan di daerah-daerah beriklim tropis. Tanaman ini kadang dikenal sebagai jenis tapak kaki dari jenis Phragmites, dan beberapa ahli tumbuhan membagi Phragmites australis ke dalam tiga atau empat jenis,  dan khusus di daerah selatan jenis Khagra Asia Reed (P. karka) sering diperlakukan berbeda.
Pragmites australis dapat tumbuh dan berkembang di dalam tanah lembab, air menggenang (dengan kedalaman tertentu), atau bahkan di rawa-rawa. Batang tumbuhan ini dapat tumbuh tegak hingga 2-6 meter. Daunnya mirip dengan rumput, dengan panjang 20-50 sentimeter dan lebar 2-3 sentimeter. Bunganya yang berwarna ungu tua dihasilkan pada akhir musim panas dengan panjang sekitar 20-50 sentimeter. Tumbuhan ini memerlukan kondisi air yang bersifat alkali atau netral, dengan demikian tidak bisa tumbuh dalam air yang bersifat asam atau air payau. Dengan demikian sering ditemukan di pinggiran muara-muara dan di tanah basah (seperti rawa-rawa) atau di dekat laut.
Pragmites australis merupakan jenis tumbuhan tumbuhan tanah basah yang dapat digunakan untuk pengolahan air, karena dapat menurunkan COD {Chemical Oxygen Demand) dan TSS {Total Suspended Solid) yang terdapat dalam air limbah (Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A, 2001).

Juncus inflexus tumbuh di tempat yang sangat basah dan lembab seperti rawa-rawa atau hutan. Tumbuhan ini tumbuh subur pada Bulan Juni sampai September. Bunga tumbuhan ini bersifat hermaprodit (mempunyai dua organ jantan dan betina) dan diserbukkan oleh angin. Tumbuhan ini menyukai tanah medium (seperti tanah liat) dan  tanah berat (tanah liat), juga dapat tumbuh di tanah yang bersifat asam dan netral (alkali). Juncus inflexus dapat tumbuh di daerah semi-dingin dan di daerah panas, dan dapat berkembang di dalam air.

II.      Metodologi Penelitian
A.   Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Universitas Tehran, Karaj, Iran. Dilaksanakan pada Bulan April-September 2007.

B.   Metode Penelitian
            Penelitian ini bersifat eksperimen dengan membandingkan empat perlakuan. Perlakuan pertama adalah pada sistem constructed wetland HSSF berisi media lapisan kerikil dengan 10% zeolit dan tanaman (ZP), perlakuan kedua berisi media lapisan kerikil dengan 10% zeolit tanpa tanaman (Z), perlakuan ketiga berisi media lapisan kerikil dengan tanaman (GP), dan lapisan keempat berisi media lapisan kerikil tanpa tanaman (G).
Penelitian ini akan dilaksanakan melalui beberapa tahapan:
1.    Pembuatan sel constructed wetland HSSF
2.    Pembuatan air limbah sintesis
3.    Tahap seeding
4.    Tahap pengolahan limbah
5.     Analisis air

C.   Instrumen Penelitian
1.    Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah polietilen, pipa PVC, slang, geotekstil, pengaduk valve, dan tabung.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerikil berukuran 10-15 mm, kerikil halus, zeolit, campuran dua jenis tanaman (Phragmites australis dan Juncus inflexus) dengan perbandingan sama dan densitas/kerapatan 30 m2, urea (NH2)2CO, ammonia fosfat (NH4)3PO4, 80-100 mg L-1 NO3, 10 mg L-1 P, 1 mg L-1 Cd, 2 mg L-1 Pb, 3 mg L-1 Zn, dan air ledeng.

2.    Prosedur Penelitian
a.    Pembuatan sel constructed wetland HSSF
Pada penelitian ini, 4 sistem Constructed Wetland HSSF dibuat dari bahan polietilen, dengan masing-masing luas permukaannya 0.65 m2 (1.3 x 0.5 m) dan kedalaman 0.4 m. Sel diletakkan pada slope 1% untuk mengatur gradient aliran air. Zona inlet (tempat masuknya air) terdiri atas 4 titik inlet (satu titik inlet untuk masing-masing sel), yang sudah disambungkan dengan kontainer tangki penyimpanan air. Struktur kontrol didesain agar air yang masuk ke zona inlet dengan kecepatan konstan supaya dapat mengatur level air dalam sistem, dan untuk mencegah terjadinya aliran air yang tidak tidak teratur dari tangki akibat fluktuasi air di dalam tangki.
Sedangkan zona outlet (tempat keluarnya air) dibuat dari pipa PVC dengan lubang-lubang kecil di bagian bawah masing-masing sel. Ujung pipa tersebut disambungkan dengan slang yang fleksibel yang berfungsi untuk mengatur level air di dalam bed. Kemudian memasukkan dua buah tabung dengan lubang-lubang kecil yang dilapisi/ditutupi dengan geotekstil ke dalam bagian tengah sel, dengan jarak 40 cm dari zona inlet dan zona outlet untuk sampling.
Kemudian kerikil berukuran 10-15 mm dimasukkan ke dalam zona inlet dan zona outlet pada masing-masing keempat sel, agar dihasilkan distribusi aliran air yang merata. Setelah itu pada 2 sel pertama diisi dengan kerikil halus, dan 2 sel lainnya diisi dengan campuran kerikil halus dan zeolit (perbandingan 10:1).
Dua jenis tanaman (Pragmites australis dan Juncus inflexus) dengan perbandingan (tinggi, jumlah daun, dll) sama dan densitas/kerapatan 30 m2 dimasukkan ke dalam 2 sel, sel pertama yang mengandung zeolit dan sel lainnya yang hanya terkandung kerikil. Untuk deskripsi lebih jelas tentang pembuatan sel Constructed Wetland, dapat dilihat pada Gambar 1.
Sehingga dapat disimpulkan, terdapat 4 treatment yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1.    Lapisan kerikil dengan 10% zeolit dan tanaman (ZP)
2.    Lapisan kerikil dengan 10% zeolit tanpa tanaman (Z)
3.    Lapisan kerikil dengan tanaman (GP)
4.    Lapisan kerikil tanpa tanaman (G)





KESIMPULAN


Berbagai nutrien dan ion logam berat yang mengkontaminasi lingkungan air merupakan suatu masalah yang serius yang tidak hanya berbahaya bagi ekosistem air tetapi juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa sistem constructed wetland HSSF dapat digunakan secara efektif untuk mendekontaminasi air dari nutrient (NO3-N dan P) dan Zn, serta polutan Pb dan Cd. Tanaman air yang digunakan (Phragmites australis dan Juncus inflexus) terbukti dapat mendukung sistem ini dengan sangat baik dalam mengolah limbah air sintesis. Sedangkan material zeolit dan kerikil merupakan suatu media pertumbuhan tanaman yang baik dalam sistem constructed wetland, yang merupakan alternatif dari lapisan pasir dan kerikil.
Sistem wetland sangat efisien untuk mengurangi konsentrasi P, yaitu mencapai 93.12% dengan efisiensi paling rendah adalah 76.65%, dan efisiensi terbesar terjadi pada sel dengan tanaman dengan substrat zeolit+kerikil (sel ZP). Karakteristik zeolit sebagai media yang dipilih pada sistem ini adalah karena zeolit mengandung banyak Ca, Al, dan Fe oksida, dan hal tersebut merupakan faktor penting yang menyebabkan P dapat tereduksi dengan baik melalui proses adsorpsi. Maka dari itu, zeolit dapat digunakan secara efektif sebagai media pada constructed wetland, baik digunakan sendiri maupun dicampur dengan material lain. Penggunaan tanaman juga merupakan faktor penting dalam mengurangi konsentrasi P.
Sedangkan untuk penghilangan NO3-N, sistem wetland dengan lapisan kerikil tanpa tanaman (sel G) merupakan yang paling optimal pada penelitian ini. Dan pada sel tanpa tanaman ini, efisiensi yang lebih besar terjadi pada sistem yang menggunakan substrat campuran kerikil dan zeolit (sel Z) karena terjadi pertukaran kation pada zeolit terhadap amonia melalui proses adsorpsi. Pada proses ini, amonia diubah oleh Na+ dan penurunan konsentrasi amonia akan mengurangi jumlah NO3-N yang dihasilkan pada saat nitrifikasi.
Dan untuk penghilangan Zn, sistem wetland dengan lapisan kerikil+zeolit dan dengan tanaman (sel ZP) merupakan yang paling efisien, sedangkan pada sistem yang sama tanpa tumbuhan (sel Z) memiliki efisiensi yang kedua setelah sistem tersebut, dan untuk dua sistem yang lain (GP dan G) memiliki efisiensi yang lebih rendah. Sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada sistem constructed wetland adsorpsi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam mengurangi konsentrasi Zn dari air limbah, sedangkan tanaman yang digunakan dapat menyerap sedikit logam berat. Pada penelitian ini juga dijelaskan bahwa penghilangan polutan yang paling efisien terjadi pada bagian sepertiga sel di dekat inlet, yakni melalui mekanisme kimia. Perbedaan antara semua sistem terjadi akibat proses biokimia selama treatment.


DAFTAR PUSTAKA

Constructed Wetlands (from Natural Sistems International). <
Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Limbah Cair.

Fujita Research. (9 September 2009)
Ghazali, Ali Akbar and Mobini, Azizollah. 2008. Water Losses Reduction Programme in Iran. International Workshop on Drinking Water Loss Reduction Developing Capacity for Applying Solutions, (on line), UNW-DPC, UN Campus, Bonn, Germany (Diakses 13 September 2009)

Herawati, Elisya dan Soemantojo, Roekmijati W. Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia. Kinerja Zeolit Alam Sukabumi sebagai Adsorben Amonia dalam Air Limbah dengan Regenerasi Kimia. Jurusan Teknik Kimia-FTI ITS Surabaya, LIPI Jakarta: 1998.    

Mukhlis. Widiadi, J.B., dan Wilujeng, Susi Agustina. “Laju Serapan Tunbuhan air Reed (Phragmites australis) dan Cattail (Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland untuk Menurunkan COD Air Limbah”. Teknik Lingkungan-FTSP ITS Surabaya, LIPI Jakarta. Jurnal Purifikasi Januari 2003; Vol.4, No.1: 19-24.

Ragam Media Tanam.


Ramly, Zulchaidir Berliana Firly. Efisiensi Penurunan Kadar COD, Zat Organik, BOD, dan TSS Limbah Pemotongan Ayam dengan Proses Anaerobik Menggunakan Media Biofilter Sarang Tawon. Jakarta: Jurusan Kimia FMIPA UNJ, 2004.

Salman, Ahya M. Biologi I. Jakarta: Depdikbud, 1993.

Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A. “Pengolahan Limbah Rumah Tangga dengan Memanfaatkan Tanaman Cattail (Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland”. Teknik Lingkungan-FTSP ITS Surabaya, LIPI Jakarta. Jurnal Purifikasi Mei 2001; Vol.4, No.3: 127-132.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas

loading...

0 Response to "KUMPULAN MAKALAH TERBARU DAN LENGKAP TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH"

Post a Comment