PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM
HORIZONTAL SUBSURFACE FLOW CONSTRUCTED WETLAND
PEMBAHASAN
Kajian Teori
Limbah
Limbah adalah buangan
yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah
tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat
dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai
ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari Senyawa organik
dan Senyawa anorganik, dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu. Kehadiran
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan
manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya
keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik
limbah.
Karakteristik
limbah adalah :
1.
Berukuran mikro
2.
Dinamis
3.
Berdampak luas (penyebarannya)
4.
Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
1. Volume limbah
2. Kandungan bahan pencemar
3. Frekuensi pembuangan
limbah
Air limbah terbentuk
karena adanya pencemaran air. Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di
suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan
air tanah
akibat aktivitas manusia. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Meningkatnya kandungan
nutrient dapat mengarah pada eutrofikasi. Senyawa organik yang banyak terdapat
pada air selokan (sewage) dapat merusak ekosistem, karena mempunyai
nilai BOD yang tinggi dan nilai DO yang kecil, karena bakteri memerlukan
oksigen untuk menguraikan zat organik, sehingga kandungan oksigen terlarut
dalam air semakin kecil. Keadaan ini
berdampak buruk pada ekosistem.
Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti ion logam berat, toksin organik, minyak,
nutrien dan padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang
dikeluarkan oleh pembangkit listrik,
yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik
secara visual maupun pengujian pada parameter berikut:
1.
Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen)
Air normal yang memenuhi
syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5.
Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral,
akan mengubah pH air sungai dan dapat mengganggu kehidupan organisme
didalamnya. Hal ini akan semakin parah jika daya dukung lingkungan rendah serta
debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif
terhadap logam.
2.
Perubahan warna, bau dan rasa
Air normal dan air
bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air
warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air
telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa
air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal dari limbah industri atau dari
hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik
menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.
3.
Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut
Endapan, koloid
dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat.
Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendap
didasar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid, dan akan
menghalangi degradasi melalui reaksi biokimia. Banyaknya bahan-bahan organik
dalam air diukur menjadi uji COD. Nilai BOD dan COD merupakan indikator adanya
suatu polutan yang terkandung dalam air limbah.
Sesuatu
benda dapat dikatakan polutan bila kadarnya melebihi batas normal dan berada
pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Polutan dapat berupa debu, bahan kimia,
suara, panas, radiasi, makhluk hidup, zat-zat yang dihasilkan makhluk hidup dan
sebagainya. Adanya polutan dalam jumlah yang berlebihan menyebabkan lingkungan
tidak dapat mengadakan pembersihan sendiri (regenerasi). Oleh karena itu,
polusi terhadap lingkungan perlu dideteksi secara dini dan ditangani segera dan
terpadu.
Beberapa contoh polutan
adalah sebagai berikut:
a. Fosfat
Fosfat berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan deterjen.
Fosfat berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan deterjen.
b. Nitrat
dan Nitrit
Kedua
senyawa ini berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan proses
pembusukan materi organic.
Poliklorin
Bifenil (PCB)
Senyawa
ini berasal dari pemanfaatan bahan-bahan pelumas, plastik dan alat listrik.
c. Residu
Pestisida Organiklorin
Residu ini berasal dari penyemprotan
pestisida pada tanaman untuk membunuh serangga.
d.
Minyak dan Hidrokarbon
Minyak
dan hidrokarbon dapat berasal dari kebocoran pada roda dan kapal pengangkut
minyak.
e. Radio
Nuklida
Radio
nuklida atau unsur radioaktif berasal dari kebocoran tangki penyimpanan limbah
radioaktif.
f. Logam-logam
Berat
Logam
berat berasal dari industri bahan kimia, penambangan dan bensin.
g. Limbah
Pertanian
Limbah
pertanian berasal dari kotoran hewan dan tempat penyimpanan makanan ternak.
h. Kotoran
manusia
Kotoran
manusia berasal dari saluran pembuangan tinja manusia.
Ada beberapa tipe polutan yang dapat masuk perairan yaitu:
bahan-bahan yang mengandung bibit penyakit, bahan-bahan yang banyak membutuhkan
oksigen untuk pengurainya, bahan-bahan kimia organik dari industri atau limbah
pupuk pertanian, bahan-bahan yang tidak sedimen (endapan), dan bahan-bahan yang
mengandung radioaktif dan panas. Penggunaan insektisida seperti DDT (Dichloro
Diphenil Trichonethan) oleh para petani, untuk memberantas hama tanaman dan
serangga penyebar penyakit lain secara berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran
air. Terjadinya pembusukan yang berlebihan diperairan dapat pula menyebabkan
pencemaran. Pembuangan sampah dapat mengakibatkan kadar O2 terlarut
dalam air semakin berkurang karena sebagian besar dipergunakan oleh bakteri
pembusuk.
Menurut Hammer
(1991), Sistem Constructed Wetland adalah sistem yang terdiri dari tiga faktor utama:
1. Area
yang tergenangi air dan mendukung hidup tanaman air sejenis hydrophita.
2. Media
tempat tumbuh tanaman berupa tanah yang selalu digenangi air (basah).
3. Media
tempat tumbuh tanaman bias juga bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air.
Definisi lain dari Sistem Constructed wetland sangat
beragam diantaranya Sistem Constructed wetland adalah suatu lahan yang jenuh air
dengan kedalaman air yang kurang dari
0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent misalnya Cattail,
bulrush, umbrella plant dan canna (Metcalf and Eddy, 1991). Pengertian lainnya Sistem
Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat untuk mengolah air
limbah domestik, untuk aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau
sebagai tempat hidup habitat liar lainnya, selain itu constructed wetland dapat
juga digunakan untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan lingkungan
lainnya. Sistem Constructed Wetland dapat berupa biofilter yang dapat meremoval
sediment dan polutan seperti logam berat (Wikipedia, 2007).
Sistem
Constructed Wetland ini dapat dibedakan atas:
-
Natural Wetland
Pengolahan
dalam area yang sudah ada secara alami, contohnya daerah rawa-rawa dekat
pesisir pantai. Kehidupan biota dalam natural wetland sangat beraneka
ragam. Debit limbah tidak direncanakan, dan tanaman dapat tumbuh tanpa perlu
dirawat.
-
Constructed Wetland
Pengolahan
yang strukturnya direncanakan, yaitu:
a. Debit
yang mengalir tertentu
b. Beban
organik tertentu
c. Kedalaman
media tanah maupun air < 0.6 m.
d. Tanaman
perlu dipelihara selama proses
pengolahan.
Sistem
constructed wetland lebih dianjurkan karena:
a. Dapat
mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri termasuk ion logam
berat.
b. Tidak
berbau, karena sistem pengolahan di dalam tanah dan tidak ada genangan air di
permukaan.
c. Efisiensi
pengolahan tinggi > 80%.
d. Biaya
perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah.
e. Tidak
membutuhkan keterampilan yang tinggi.
(Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi,
I.D.A.A, 2001)
Berdasarkan arah aliran airnya, constructed wetland
dibagi menjadi dua jenis, yaitu: Horizontal Flow Wetlands dan Vertical Flow
Wetlands.
Horizontal-flow wetlands terdiri atas dua variasi, yaitu:
free-water surface-flow (FWF) dan sub-surface water-flow (SSF). Sistem ini bisa
disesuaikan ke hampir semua lokasi dan bisa dibangun dalam banyak konfigurasi
dari unit tunggal kecil yang hanya beberapa meter persegi sampai sistem dengan
luas beratus hektar yg terintegrasi dengan pertanian air atau tambak (USAID,
2006).
FWS disebut juga rawa buatan dengan
aliran di atas permukaan tanah. Sistem ini berupa kolam atau saluran-saluran
yang dilapisi dengan lapisan impermeable di bawah saluran atau kolam yang
berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau saluran.
FWS tersebut berisi tanah sebagai tempat
hidup tanaman yang hidup pada air tergenang (emerge plant) dengan kedalaman
0,1-0,6 m (Metcalf & Eddy, 1993). Pada sistem ini limbah cair melewati
permukaan tanah. Pengolahan limbah terjadi ketika air limbah melewati akar
tanaman, kemudian air limbah akan diserap oleh akar tanaman dengan bantuan
bakteri (Crites and Tchobanoglous, 1998 dalam Wijayanti, 2004).
Untuk sistem FWS dapat
dilihat pada Gambar:
Sistem
(SSF)
SSF disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah
permukaan tanah. Air limbah mengalir melalui tanaman yang ditanam pada media
yang berpori (Novotny dan Olem, 1994). Sistem ini menggunakan media seperti
pasir dan kerikil dengan diameter bervariasi antara 3-32 mm. Untuk zona inlet
dan outlet biasanya digunakan diameter kerikil yang lebih besar untuk mencegah
terjadinya penyumbatan (USAID, 2006).
Proses pengolahan yang terjadi pada sistem ini adalah
filtrasi, absorbsi oleh mikroorganisme, dan absorbsi oleh akar-akar tanaman
terhadap tanah dan bahan organik (Novotny dan Olem, 1994). Pada sistem SFS
diperlukan slope untuk pengaliran air limbah dari inlet ke outlet. Tipe
pengaliran air limbah pada umumnya secara horizontal, karena jenis ini memiliki
efisiensi pengolahan terhadap suspended solid dan bakteri lebih tinggi
dibandingkan tipe yang lain. Hal ini disebabkan karena daya filtrasinya lebih
baik. Penurunan BOD nya juga lebih baik karena kapasitas transfer oksigen lebih
besar (Khiattudin, 2003).
Menurut USAID (2006), SSF adalah sistem yang lebih disukai
untuk sistem setempat, karena sistim FWS berpotensi menjadi tempat bagi nyamuk untuk
berkembangbiak, tetapi karena sistem SSF
ditutup dengan pasir atau tanah, sehingga tidak ada resiko langsung terhadap
potensi timbulnya nyamuk.
Untuk Sub surface Flow Sistem
dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Media tempat tumbuh yang digunakan dalam sistem
constructed wetland jenis Horizontal Subsurface Flow (HSSF) beragam, dapat berupa
tanah yang selalu digenangi air (basah), maupun media bukan tanah, tetapi media
yang jenuh dengan air.
media dalam Sistem Costructed Wetland
HSSF
Media yang digunakan dalam penelitian ini merupakan media
berbahan anorganik dan organik. Bahan anorganik adalah bahan dengan kandungan
unsur mineral tinggi yang berasal dari proses pelapukan batuan induk di dalam
bumi. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, mineral yang berasal dari pelapukan
batuan induk dapat digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu kerikil atau batu-batuan
(berukuran lebih dari 2 mm), pasir (berukuran 50 /-1- 2 mm), debu (berukuran
2-50 µm), dan tanah liat (berukuran kurang dari 2 µm). Selain itu, bahan
anorganik juga bisa berasal dari bahan-bahan sintetis atau kimia yang dibuat di
pabrik. Beberapa media anorganik yang sering dijadikan sebagai media tanam
yaitu gel, pasir, kerikil, zeolit, pecahan batu bata, spons, tanah liat,
vermikulit, dan perlit.
Media tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik
umumnya berasal dari komponen organisme hidup, misalnya bagian dari tanaman
seperti daun, batang, bunga, buah, atau kulit kayu. Penggunaan bahan organik
sebagai media tanam jauh lebih unggul dibandingkan dengan bahan anorganik. Hal
itu dikarenakan bahan organik sudah mampu menyediakan unsur-unsur hara bagi
tanaman. Selain itu, bahan organik juga memiliki pori-pori makro dan mikro yang
hampir seimbang sehingga sirkulasi udara yang dihasilkan cukup baik serta
memiliki daya serap air yang tinggi.
Media yang baik pada costructed wetland HSSF harus mampu
menampung air dan mampu membuang/mengalirkan kelebihan air. Pada penelitian
ini, media yang digunakan adalah kerikil, zeolit, dan sejenis tanaman air.
Batuan umumnya digunakan untuk melapisi permukaan media
tanaman bersih. Pada dasarnya, penggunaaan kerikil sebagai media tanam tidak
jauh berbeda dengan pasir. Hanya saja, kerikil memiliki pori-pori makro lebih
banyak daripada pasir. Kerikil sering digunakan sebagai media untuk budi daya
tanaman secara hidroponik. Penggunaan media ini akan membantu peredaran larutan
unsur hara dan udara serta pada prinsipnya tidak menekan pertumbuhan akar.
Namun, kerikil memiliki kemampuan mengikat air yang relatif rendah sehingga mudah
basah dan cepat kering jika penyiraman tidak dilakukan secara rutin.
Pada dasarnya, zeolit merupakan jenis batuan seperti
kerikil. Zeolit adalah senyawa
zat kimia
alumino-silikat berhidrat dengan kation natrium, kalium dan barium. Secara
umum, zeolit memiliki melekular sruktur yang unik, dimana atom silikon
dikelilingi oleh 4 atom oksigen sehingga membentuk semacam jaringan dengan pola
yang teratur.
Atom Silicon dapat digantikan dengan atom Aluminium, yang
hanya terkoordinasi dengan 3 atom Oksigen. Atom Aluminium ini hanya memiliki
muatan 3+, sedangkan Silicon sendiri memiliki muatan 4+. Keberadaan atom
Aluminium ini secara keseluruhan akan menyebababkan zeolit memiliki muatan
negatif. Muatan negatif inilah yang menebabkan zeolit mampu mengikat kation.
Zeolit juga sering disebut sebagai 'molecular sieve' / 'molecular mesh'
(saringan molekuler) karena zeolit memiliki pori-pori berukuran melekuler
sehingga mampu memisahkan/menyaring molekul dengan ukuran tertentu. Zeolit
mempunyai beberapa sifat antara lain: dehidrasi, adsorben dan penyaring
molekul, katalisator dan penukar ion.
Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H20)
apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut. Tetapi
kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata. Disini molekul H2O
seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik dan dapat dikeluarkan secara
reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben
dan penyaring molekul, dimungkinkan karena struktur zeolit yang
berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran
lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal zeolit yang
telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas
adsorpsi yang tinggi.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif dalam
saluran antar zeolit. Pusat-pusat aktif tersebut terbentuk karena adanya gugus
fungsi asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini
tergantung pada proses aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat-pusat aktif
yang bersifat asam ini selanjutnya dapat mengikat molekul-molekul basa secara
kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai penukar
ion karena adanya kation logam alkali dan alkali tanah. Kation tersebut
dapat bergerak bebas didalam rongga dan dapat dipertukarkan dengan kation logam
lain dengan jumlah yang sama. Akibat struktur zeolit berongga, anion atau
molekul berukuran lebih kecil atau sama dengan rongga dapat masuk dan terjebak.
Tanaman air yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Phragmites
australis dan Juncus inflexus.
Phragmites
australis
Taksonomi
Phragmites
australis, atau common reed, adalah suatu rumput besar yang
ditemukan di dalam tanah basah sepanjang iklim sedang dan di daerah-daerah
beriklim tropis. Tanaman ini kadang dikenal sebagai jenis tapak kaki dari jenis
Phragmites, dan beberapa ahli tumbuhan membagi Phragmites australis ke dalam
tiga atau empat jenis, dan khusus di
daerah selatan jenis Khagra Asia Reed (P. karka) sering diperlakukan berbeda.
Pragmites
australis dapat tumbuh dan berkembang di dalam tanah lembab, air
menggenang (dengan kedalaman tertentu), atau bahkan di rawa-rawa. Batang
tumbuhan ini dapat tumbuh tegak hingga 2-6 meter. Daunnya mirip dengan rumput,
dengan panjang 20-50 sentimeter dan lebar 2-3 sentimeter. Bunganya yang
berwarna ungu tua dihasilkan pada akhir musim panas dengan panjang sekitar
20-50 sentimeter. Tumbuhan ini memerlukan kondisi air yang bersifat alkali atau
netral, dengan demikian tidak bisa tumbuh dalam air yang bersifat asam atau air
payau. Dengan demikian sering ditemukan di pinggiran muara-muara dan di tanah
basah (seperti rawa-rawa) atau di dekat laut.
Pragmites
australis merupakan jenis tumbuhan tumbuhan tanah basah yang dapat
digunakan untuk pengolahan air, karena dapat menurunkan COD {Chemical Oxygen
Demand) dan TSS {Total Suspended Solid) yang terdapat dalam air limbah (Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi,
I.D.A.A, 2001).
Juncus inflexus
tumbuh di tempat yang sangat basah dan lembab seperti rawa-rawa atau hutan.
Tumbuhan ini tumbuh subur pada Bulan Juni sampai September. Bunga tumbuhan ini
bersifat hermaprodit (mempunyai dua organ jantan dan betina) dan diserbukkan
oleh angin. Tumbuhan ini menyukai tanah medium (seperti tanah liat) dan tanah berat (tanah liat), juga dapat tumbuh
di tanah yang bersifat asam dan netral (alkali). Juncus inflexus dapat tumbuh di daerah semi-dingin dan di daerah
panas, dan dapat berkembang di dalam air.
II. Metodologi
Penelitian
A.
Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan
di Pusat Penelitian Universitas Tehran, Karaj, Iran. Dilaksanakan pada Bulan
April-September 2007.
B.
Metode
Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimen
dengan membandingkan empat perlakuan. Perlakuan pertama adalah pada sistem
constructed wetland HSSF berisi media lapisan kerikil dengan 10% zeolit dan
tanaman (ZP), perlakuan kedua berisi media lapisan kerikil dengan 10% zeolit
tanpa tanaman (Z), perlakuan ketiga berisi media lapisan kerikil dengan tanaman
(GP), dan lapisan keempat berisi media lapisan kerikil tanpa tanaman (G).
Penelitian ini akan
dilaksanakan melalui beberapa tahapan:
1. Pembuatan
sel constructed wetland HSSF
2. Pembuatan
air limbah sintesis
3. Tahap
seeding
4. Tahap
pengolahan limbah
5. Analisis air
C.
Instrumen
Penelitian
1.
Alat
dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang
digunakan dalam penelitian adalah polietilen, pipa PVC, slang, geotekstil,
pengaduk valve, dan tabung.
Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kerikil berukuran 10-15 mm, kerikil halus, zeolit,
campuran dua jenis tanaman (Phragmites australis dan Juncus inflexus)
dengan perbandingan sama dan densitas/kerapatan 30 m2, urea (NH2)2CO,
ammonia fosfat (NH4)3PO4, 80-100 mg L-1
NO3, 10 mg L-1 P, 1 mg L-1 Cd, 2 mg L-1
Pb, 3 mg L-1 Zn, dan air ledeng.
2.
Prosedur
Penelitian
a.
Pembuatan sel constructed wetland HSSF
Pada penelitian ini, 4 sistem Constructed Wetland HSSF
dibuat dari bahan polietilen, dengan masing-masing luas permukaannya 0.65 m2
(1.3 x 0.5 m) dan kedalaman 0.4 m. Sel diletakkan pada slope 1% untuk mengatur
gradient aliran air. Zona inlet (tempat masuknya air) terdiri atas 4 titik
inlet (satu titik inlet untuk masing-masing sel), yang sudah disambungkan
dengan kontainer tangki penyimpanan air. Struktur kontrol didesain agar air
yang masuk ke zona inlet dengan kecepatan konstan supaya dapat mengatur level
air dalam sistem, dan untuk mencegah terjadinya aliran air yang tidak tidak
teratur dari tangki akibat fluktuasi air di dalam tangki.
Sedangkan zona outlet (tempat keluarnya air) dibuat dari
pipa PVC dengan lubang-lubang kecil di bagian bawah masing-masing sel. Ujung
pipa tersebut disambungkan dengan slang yang fleksibel yang berfungsi untuk
mengatur level air di dalam bed. Kemudian memasukkan dua buah tabung dengan
lubang-lubang kecil yang dilapisi/ditutupi dengan geotekstil ke dalam bagian
tengah sel, dengan jarak 40 cm dari zona inlet dan zona outlet untuk sampling.
Kemudian kerikil berukuran 10-15 mm dimasukkan ke dalam
zona inlet dan zona outlet pada masing-masing keempat sel, agar dihasilkan
distribusi aliran air yang merata. Setelah itu pada 2 sel pertama diisi dengan
kerikil halus, dan 2 sel lainnya diisi dengan campuran kerikil halus dan zeolit
(perbandingan 10:1).
Dua jenis tanaman (Pragmites australis dan Juncus
inflexus) dengan perbandingan (tinggi, jumlah daun, dll) sama dan
densitas/kerapatan 30 m2 dimasukkan ke dalam 2 sel, sel pertama yang
mengandung zeolit dan sel lainnya yang hanya terkandung kerikil. Untuk
deskripsi lebih jelas tentang pembuatan sel Constructed Wetland, dapat dilihat
pada Gambar 1.
Sehingga dapat disimpulkan, terdapat 4 treatment yang
dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Lapisan
kerikil dengan 10% zeolit dan tanaman (ZP)
2. Lapisan
kerikil dengan 10% zeolit tanpa tanaman (Z)
3.
Lapisan kerikil dengan tanaman (GP)
4.
Lapisan kerikil tanpa tanaman (G)
KESIMPULAN
Berbagai nutrien dan ion logam berat yang
mengkontaminasi lingkungan air merupakan suatu masalah yang serius yang tidak
hanya berbahaya bagi ekosistem air tetapi juga berbahaya bagi kesehatan
manusia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa sistem constructed
wetland HSSF dapat digunakan secara efektif untuk mendekontaminasi air dari nutrient
(NO3-N dan P) dan Zn, serta polutan Pb dan Cd. Tanaman air yang
digunakan (Phragmites australis dan Juncus inflexus) terbukti dapat
mendukung sistem ini dengan sangat baik dalam mengolah limbah air sintesis.
Sedangkan material zeolit dan kerikil merupakan suatu media pertumbuhan tanaman
yang baik dalam sistem constructed wetland, yang merupakan alternatif dari
lapisan pasir dan kerikil.
Sistem wetland sangat efisien untuk mengurangi konsentrasi
P, yaitu mencapai 93.12% dengan efisiensi paling rendah adalah 76.65%, dan
efisiensi terbesar terjadi pada sel dengan tanaman dengan substrat
zeolit+kerikil (sel ZP). Karakteristik zeolit sebagai media yang dipilih pada
sistem ini adalah karena zeolit mengandung banyak Ca, Al, dan Fe oksida, dan
hal tersebut merupakan faktor penting yang menyebabkan P dapat tereduksi dengan
baik melalui proses adsorpsi. Maka dari itu, zeolit dapat digunakan secara
efektif sebagai media pada constructed wetland, baik digunakan sendiri maupun
dicampur dengan material lain. Penggunaan tanaman juga merupakan faktor penting
dalam mengurangi konsentrasi P.
Sedangkan untuk penghilangan NO3-N,
sistem wetland dengan lapisan kerikil tanpa tanaman (sel G) merupakan yang
paling optimal pada penelitian ini. Dan pada sel tanpa tanaman ini, efisiensi
yang lebih besar terjadi pada sistem yang menggunakan substrat campuran kerikil
dan zeolit (sel Z) karena terjadi pertukaran kation pada zeolit terhadap amonia
melalui proses adsorpsi. Pada proses ini, amonia diubah oleh Na+ dan
penurunan konsentrasi amonia akan mengurangi jumlah NO3-N yang
dihasilkan pada saat nitrifikasi.
Dan untuk penghilangan Zn, sistem wetland dengan
lapisan kerikil+zeolit dan dengan tanaman (sel ZP) merupakan yang paling
efisien, sedangkan pada sistem yang sama tanpa tumbuhan (sel Z) memiliki
efisiensi yang kedua setelah sistem tersebut, dan untuk dua sistem yang lain (GP
dan G) memiliki efisiensi yang lebih rendah. Sehingga pada penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa pada sistem constructed wetland adsorpsi merupakan suatu
proses yang sangat penting dalam mengurangi konsentrasi Zn dari air limbah,
sedangkan tanaman yang digunakan dapat menyerap sedikit logam berat. Pada
penelitian ini juga dijelaskan bahwa penghilangan polutan yang paling efisien
terjadi pada bagian sepertiga sel di dekat inlet, yakni melalui mekanisme kimia.
Perbedaan antara semua sistem terjadi akibat proses biokimia selama treatment.
DAFTAR PUSTAKA
Constructed
Wetlands (from Natural Sistems International). <
Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Limbah Cair.
Fujita Research. (9 September 2009)
Ghazali, Ali Akbar and Mobini,
Azizollah. 2008. Water Losses Reduction Programme in Iran. International
Workshop on Drinking Water Loss Reduction Developing Capacity for Applying
Solutions, (on line), UNW-DPC, UN Campus, Bonn, Germany (Diakses
13 September 2009)
Herawati,
Elisya dan Soemantojo, Roekmijati W. Prosiding
Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia. Kinerja Zeolit Alam
Sukabumi sebagai Adsorben Amonia dalam Air Limbah dengan Regenerasi Kimia.
Jurusan Teknik Kimia-FTI ITS Surabaya, LIPI Jakarta: 1998.
Mukhlis.
Widiadi, J.B., dan Wilujeng, Susi Agustina. “Laju Serapan Tunbuhan air Reed (Phragmites australis) dan Cattail
(Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland untuk Menurunkan COD
Air Limbah”. Teknik Lingkungan-FTSP ITS
Surabaya, LIPI Jakarta. Jurnal
Purifikasi Januari 2003; Vol.4, No.1: 19-24.
Ragam Media Tanam.
Ramly, Zulchaidir Berliana Firly. Efisiensi Penurunan Kadar COD, Zat Organik, BOD, dan TSS Limbah
Pemotongan Ayam dengan Proses Anaerobik Menggunakan Media Biofilter Sarang
Tawon. Jakarta: Jurusan Kimia FMIPA UNJ, 2004.
Salman, Ahya M. Biologi I. Jakarta: Depdikbud, 1993.
Tangahu, Bieby
Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A. “Pengolahan Limbah Rumah Tangga dengan
Memanfaatkan Tanaman Cattail (Typha
angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland”. Teknik Lingkungan-FTSP ITS Surabaya, LIPI Jakarta. Jurnal Purifikasi Mei 2001; Vol.4, No.3:
127-132.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas
loading...
0 Response to "KUMPULAN MAKALAH TERBARU DAN LENGKAP TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH"
Post a Comment