MAKALAH
KENAPA
TAWURAN ANTAR PELAJAR MASIH HARUS TERJADI?
(BASED ON THE THEORY OF STRUCTURAL-FUNCTIONAL
APPROACH)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tawuran yang terjadi belakangan ini terus menyisakan
perih dan tanda tanya besar bagi negeri ini, kenapa tawuran harus terjadi lagi
dan lagi, seakan tak ada yang peduli untuk berpartisipasi menyelesaikan masalah
lama yang kini menghangat kembali untuk dibahas karena telah terlalu banyak
meminta korban. Menarik memang jika dikaji lebih mendalam, mengingat banyaknya
pihak yang harus berperan aktif sebagai kontrol sosial agar masalah lama ini tidak
berulang lagi. Peran keluarga, sekolah, pihak berwenang dan yang terpenting
adalah peran aktif masyarakat yang berada diarea dimana tawuran itu terjadi
akan berpengaruh besar terhadap aksi anarkis tersebut kedepannya.
Makin maraknya geng-geng yang dibentuk, membuat tawuran
juga semakin marak terjadi, karena pada dasarnya masalah pelajar sebagai
generasi muda pada umumnya ditandai oleh keinginan untuk melawan dan bersikap
apatis. Perilaku anarki yang kerap kali dipertontonkan ditengah-tengah
masyarakat. Mereka sudah tidak peduli lagi jika perbuatan yang mereka lakukan tersebut
sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya
mereka merasa bangga jika ditakuti oleh orang-orang atau lawan disekitarnya.
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele.
Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagi
sebuah tantangan.
Jika menilik duduk perkara mengenai tawuran yang melibatkan
pelajar, termasuk juga tawuran yang baru-baru ini terjadi seperti tawuran
antara SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta yang menewaskan seorang pelajar, seolah-olah mengindikasikan bahwa tawuran menjadi pemecah
solusi yang sangat efektif dari setiap permasalahan yang mereka hadapi. Lalu
pertanyaannya, apakah harus demikian? Segala fenomena yang ada di alam ini sebenarnya
bisa dicegah agar tidak terjadi, walaupun terjadi setidaknya kemungkinan yang
ditimbulkan bisa diminimalisir.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan
muncul permasalahan yang perlu dikaji kembali untuk mencari solusi terbaik yang
terumuskan kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
·
Dimana
kontrol sosial pelajar yang timpang, sehingga tawuran masih marak terjadi?
C. Tujuan
·
Menganalisis
penyebab terjadinya tawuran antar pelajar
·
Menemukan
solusi terbaik untuk mencegah dan menyelesaikan terjadinya tawuran antar
pelajar agar tidak terulang kembali
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Tawuran berasal
dari kata “tawur” yang berarti perkelahian ramai-ramai/perkelahian massal.
Sedangkan “pelajar” adalah anak sekolah/anak didik/murid/siswa. Jadi tawuran
antar pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh anak sekolah/anak
didik/murid/siswa secara ramai-ramai/massal.
Secara psikologis perkelahian yang melibatkan
pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu kenakalan remaja (junevile
deliquency). Kenakalan remaja dalam hal perkelahian dapat digolongkan menjadi
dua bagian, yaitu delikuensi situasional dan delikuensi sistematik.
1.
Delikuensi
situasional adalah perkelahian yang terjadi karena situasi yang “mengharuskan”
mereka untuk berkelahi. Keharusan ini biasanya dilakukan karena adanya
kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat, sedangkan
2.
Delikuensi
sistematik adalah perkelahian yang trerjadi karena keterlibatan remaja tersebut
dalam suatu kelompok, organisasi atau geng dimana didalamnya terdapat
peraturan, norma dan kebiasaan yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya.
Sehingga akan menumbuhkan kebanggan saat anggota tersebut bisa melakukan apa
yang diharapkan oleh kelompoknya, tidak terkecuali seperti berkelahi.
Jika tawuran memang sudah tidak terelakkan,
setidaknya tawuran bisa dicegah atau dihentikan oleh peran kontrol sosial yang
ada diantara pelajar tersebut, seperti keluarga, sekolah, pihak berwenang dan
masyarakat karena tidak mungkin tawuran berlangsung tanpa adanya proses. Namun
kesemua kontrol sosial tersebut tidak bisa bersinergi secara bersamaan, karena
terbatasnya daya pantau area kontrol sosial tersebut. Lalu siapakah kontrol sosial
yang paling berperan saat tawuran terjadi? Jawabannya jelas, terletak pada
masyarakat yang berada disekitar areal tawuran tersebut.
Menurut Charles P. Loomis, masyarakat sebagai suatu sistem sosial
harus terdiri atas sembilan unsur berikut ini,
1) Kepercayaan dan Pengetahuan
Unsur
ini merupakan unsur yang paling penting dalam sistem sosial, karena perilaku
anggota dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka yakini dan apa
yang mereka ketahui tentang kebenaran, sistem religi, dan cara- cara
penyembahan kepada sang pencipta alam semesta.
2)
Perasaan
Unsur
ini merupakan keadaan jiwa manusia yang berkenaan dengan situasi alam
sekitarnya, termasuk di dalamnya sesama manusia. Perasaan terbentuk melalui
hubungan yang menghasilkan situasi kejiwaan tertentu yang sampai pada tingkat
tertentu harus dikuasai agar tidak terjadi ketegangan jiwa yang berlebihan.
3) Tujuan
Manusia
sebagai makhluk sosial dalam setiap tindakannya mempunyai tujuan- tujuan yang
hendak dicapai. Tujuan adalah hasil akhir atas suatu tindakan dan perilaku
seseorang yang harus dicapai, baik melalui perubahan maupun dengan cara
mempertahankan keadaan yang sudah ada.
4) Kedudukan (Status) dan
Peran ( Role )
Kedudukan
(status) adalah posisi seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan
dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestasi, hak, serta
kewajibannya. Kedudukan menentukan peran atau apa yang harus diperbuatnya bagi
masyarakat sesuai dengan status yang dimilikinya. Jadi peran ( role )
merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang sehubungan dengan status yang
melekat padanya. Contohnya seorang guru (status) mempunyai peranan untuk
membimbing, mengarahkan, dan memberikan atau menyampaikan materi pelajaran
kepada siswa- siswanya.
5) Kaidah atau Norma
Norma
adalah pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau pantas menurut kelompok
atau masyarakat atau biasa disebut dengan peraturan sosial. Norma sosial
merupakan patokan-patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam
situasi- situasi tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk meramalkan
tindakan manusia dalam sistem sosial. Norma sosial dipelajari dan dikembangkan
melalui sosialisasi, sehingga menjadi pranata- pranata sosial yang menyusun
sistem itu sendiri.
6) Tingkat atau Pangkat
Pangkat
berkaitan dengan posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seseorang
dengan pangkat tertentu berarti mempunyai proporsi hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu pula. Pangkat diperoleh setelah melalui penilaian terhadap
perilaku seseorang yang menyangkut pendidikan, pengalaman, keahlian,
pengabdian, kesungguhan, dan ketulusan perbuatan yang dilakukannya.
7) Kekuasaan
Kekuasaan
adalah setiap kemampuan untuk memengaruhi pihak- pihak lain. Apabila seseorang
diakui oleh masyarakat sekitarnya, maka itulah yang disebut dengan kekuasaan.
8) Sanksi
Sanksi
adalah suatu bentuk imbalan atau balasan yang diberikan kepada seseorang atas
perilakunya. Sanksi dapat berupa hadiah ( reward ) dan dapat pula berupa
hukuman ( punishment ). Sanksi diberikan atau ditetapkan oleh masyarakat
untuk menjaga tingkah laku anggotanya agar sesuai dengan norma- norma yang
berlaku.
9) Fasilitas (Sarana)
Fasilitas
adalah semua bentuk cara, jalan, metode, dan benda- benda yang digunakan
manusia untuk menciptakan tujuan sistem sosial itu sendiri. Dengan demikian
fasilitas di sini sama dengan sumber daya material atau kebendaan maupun sumber
daya imaterial yang berupa ide atau gagasan.
Dari
kesembilan unsur tersebut, jelaslah bila sebenarnya peran masyarakat dalam sistem sosial begitu
berpengaruh, begitupun peran masyarakat sebagai kontrol sosial dikehidupan
sehari-hari, khususnya bagi para pelajar sudah lebih dari cukup. Tapi sayangnya
masyarakat cenderung untuk lebih berdiam diri dan membiarkan tawuran antar
pelajar terjadi berulang kali.
BAB III
PEMBAHASAN
Mengarah pada berbagai fenomena yang ada didalam
masyarakat saat ini, begitu banyak suatu struktur fungsional suatu sistem dalam
masyarakat yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga struktur yang
dijalankan hanya berdasar formalitas semata --bukan berdasar pada fungsional
lagi-- bahkan yang lebih memperihatinkan, seolah-olah tidak ada lagi sikap
peduli terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut untuk
bersikap terhadap apa yang seharusnya
berjalan dalam sistem masyarakat tersebut.
Maraknya tawuran antar pelajar yang terjadi
akhir-akhir ini mengindikasikan sudah hilangnya nurani pelajar kita untuk
saling melakukan toleransi antar sesama, mereka cenderung mengedepankan ego dan
emosi masing-masing dalam bertindak, sehingga hak dan kepentingan orang lain
mereka kesampingkan jauh dari hadapan mereka, kalau sudah demikian jalan kekerasan pastinya
akan menjadi satu-satunya solusi akhir untuk menyelesaikan setiap permasalahan
yang mereka hadapi tanpa melihat akibat buruk yang akan ditimbulkan nantinya.
Parahnya lagi masyarakat selalu bersikap apatis dan seolah-olah tidak tahu-menahu
terhadap kekerasan yang terjadi dihadapan mereka, mereka hanya menyaksikan dan mencaci apa yang terjadi dihadapan mereka
tanpa memberikan sebuah solusi yang bijak untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut karena mereka terlalu menganggap wajar apa yang sudah biasa terjadi
dihadapannya.
Rendahnya kepekaan masyarakat dalam merespon setiap
tindakan yang ditimbulkan remaja atau pelajar, terkadang malah membuat gejolak
jiwa para remaja makin tidak karuan, sehingga mereka berusaha menunjukkan
eksistensi mereka dalam lingkungan tersebut dengan menyalurkan sebuah
pelampiasan yang mreka pendam dalam diri mereka. Jika mengacu pada teori Charles
P. Loomis di poin ke-5 berkaitan Kaidah atau Norma,
“Norma
adalah pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau pantas menurut kelompok
atau masyarakat atau biasa disebut dengan peraturan sosial. Norma sosial
merupakan patokan-patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam
situasi- situasi tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk meramalkan
tindakan manusia dalam sistem sosial. Norma sosial dipelajari dan dikembangkan
melalui sosialisasi, sehingga menjadi pranata- pranata sosial yang menyusun
sistem itu sendiri”
sudah bisa mewakili fungsi
masyarakat sebagai kontrol sosial, khususnya bagi pelajar. Dengan demikian,
masyarakat harusnya turut berperan aktif terhadap suatu peristiwa yang terjadi
disekitar mereka berkaitan layak atau tidak, baik atau buruknya suatu tindakan
yang ada dihadapan mereka. Agar sistem yang ada didalamnya berjalan secara
teratur.
Jika dianalisis secara mendalam, sebenarnya ada
tiga faktor mendasar yang sering ditemui dan menjadi akar permasalahan penyebab
terjadinya tawuran antar pelajar, yaitu;
1. Tawuran
Antar Pelajar Akibat Rasa Setia Kawan yang Berlebihan
Rasa
setia kawan atau lebih dikenal dengan sebutan rasa solidartas adalah hal yang
lumrah atau biasa kita temukan dalam kehidupan, misalkan dalam persahabatan
rasa setiakawan akan menjadi alasan mengapa persahabatan bisa menjadi kuat. Ia
bisa menjadi indah ketika ditempatkan dalam porsi yang pas dan seimbang. Namun,
rasa setia kawan yang berlebihan akan menyebabkan hal yang buruk, salah satunya
adalah mengakibatkan tawuran antar pelajar. Mungkin dari kita pernah mendengar
tawuran antar pelajar yang dipicu karena ketersingguhan seorang siswa yang
tersenggol oleh pelajar sekolah lain saat berpapasan di terminal, atau masalah
kompleks lainnya. Misalkan, permasalahan pribadi, rebutan perempuan, dipalak
dan lain sebagainya.
Pemahaman
arti sebuah persahabatan memang perlu dipahami oleh masing- masing individu
pelajar itu sendiri. Tawuran antar pelajar yang diakibatkan karena rasa
setiakawan harus segera dihentikan, karena hal ini akan memicu kawan-kawan yang
lain untuk mendapatkan hak atau perlakuan yang sama pada waktu mengalami
masalah. Ini dapat menjadikan pelajar malas dalam menyelesaikan masalah dirinya
sendiri, tanpa mau menyelesaikannya sendiri dan cenderung tidak berani
bertanggung jawab. Menjadi ketergantungan dan akan menimbulkan dampakyang
negatif bagi perkawanan itu sendiri.
2. Tawuran
antar pelajar akibat sejarah permusuhan dengan sekolah lain
Kadang
permasalahan tawuran antar pelajar dipicu pula dengan adanya sejarah permusuhan
yang sudah ada dari generasi sebelumnya dengan sekolah lain, beredarnya cerita-
cerita yang menyesatkan, bahkan memunculkan mitos berlebihan membuat generasi
berikutnya, terpicu melakukan hal yang sama. Contohnya, sebut saja sekolah A
dengan sekolah B adalah musuh abadi, dimana masing- masing sekolah akan
melakukan hal yang antipati terhadap sekolah lain. Biasanya, akan ada pelajar
yang menjadi perbincangan, semacam tokoh bagi sekolahnya, karena kehebatannya
pada waktu berkelahi. Dalam permasalahan tawuran antar pelajar yang dipicu
karena permasalahan ini, perlu adanya pendekatan khusus, yang memasukkan
program kerja sama dengan sekolah tersebut. Peranan sekolah dan guru memegang
peranan penting. Ironisnya, sebuah pertandingan persahabatan. Misalnya,
olahraga. Kadang memicu sebuah permusuhan dan perkelahian. Hal ini akhirnya
menuntut kecerdasan dan ketelitian pihak penyelenggara dalam mengemas sebuah
acara.
3. Tawuran
Antar Pelajar Akibat Jiwa Premanisme
Premanisme
bukan istilah yang asing lagi. Premanisme yang berasal dari kata “preman”
adalah sebutan orang yang cenderung memakai kekerasan fisik dalam menyelesaikan
permasalahannya. Kemenangan di ukur karena kekuatan fisiknya bukan intelektualitas.
Premanisme bertolak belakang dengan jiwa seorang pelajar, yang dituntut
kecerdasan berpikir, kecerdasan mengelola emosi, dll.
Jiwa
premanisme dalam jiwa pelajar dapat dihilangkan karena dia tidak semerta merta
muncul begitu saja, ia disebabkan oleh sesuatu hal. Oleh karenanya, kita perlu
mengetahui faktor penyebab sikap premanisme dalam diri pelajar.
Faktor
di luar diri pelajar adalah faktor yang kental dapat mempengaruhi ke dalam.
Beberapa contohnya adalah: Tayangan- tayangan di televisi, baik film ataupun
liputan berita yang menceritakan atau sengaja mengekspose tema- tema kekerasan
dapat mempengaruhi psikis remaja. Kekerasan yang terjadi di rumah. Kekerasan
yang dimaksud bukan hanya individu pelajar saja yang menjadi korban kekerasan
namun kekerasan yang terjadi pada satu anggota keluarganya, dapat mempengaruhi
psikis individu. Hal ini yang akan menyebabkan trauma atau kekerasan beruntun
yang diakibatkan karena menganggap kekerasan adalah hal yang wajar. Acara awal
tahun, orientasi sekolah adalah acara di mana pelajar baru diwajibkan mengikuti
kegiatan ini. Kegiatan yang pada dasarnya adalah untuk memahami dan mengenali
sekolah, kegiatan serta untuk lebih kenal kawan-kawannya malah cenderung
disalah gunakan oleh senior untuk ajang balas dendam dari apa yang pernah ia
terima pada waktu yang sama menjadi junior, pola- pola yang dipakai cenderung
dengan pola militer. Hal inilah yang menyebabkan kekerasan dalam dunia
pendidikan. Pola yang menjadi semacam suntikan yang terus diturunkan oleh
setiap generasi. Agar terhindar dari pola yang berlebihan, diperlukan adanya
pengawasan dari pihak sekolah dan turunnya langsung pengajar dalam kegiatan
ini. Kedisiplinan berbeda dengan kekerasan, hal ini seharusnya menjadi
tantangan setiap panitia kegiatan dalam mengemas ide, gagasan acara pada waktu
perkenalan sekolah, menjadi sesuatu yang inofatif, kreatif sehingga diharapkan
lambat laun sikap premanisme akibat perpeloncoan akan menjadi cara kuno dan
tidak menarik lagi.
Lalu bagaimana solusinya? Jika tawuran masih belum
terjadi, setidaknya pelajar berupaya mencegahnya dengan menerapkan beberapa
poin penting berikut yang bisa menjadi alternatif bersama agar tawuran tidak
terjadi, antara lain;
1. Hindari
saling ejek
Poin
ini begitu penting, pasalnya setiap tawuran umumnya berakar dari perilaku
saling ejek diantara dua kubu pelajar yang berseteru, keadaan yang labil dan
kebiasaan bertindak dengan mengedepankan emosi, ejekan tersebut bukan tidak
mungkin akan berakhir dengan perkelahian bahkan tawuran.
2. Tidak
mengompori perselisihan, sehingga perselisihan yang terjadi tidak semakin
meruncing
3. Menjadi
pribadi yang produktif dengan melakukan kegiatan positif
Bentuk
poin ini lebih mengarahkan pada bentuk teknis. Ekstrakurikuler dan karang
taruna adalah contoh kegiatan positif yang bisa dikategorikan sebagai
pencegahan tawuran.
4. Tanamkan
moral religi
5. Beri
pengertian hukum dan sanksi akibat tawuran
Tapi,
kalau tawuran sudah terlanjur terjadi, setidaknya masyarakat juga punya sikap
tentang apa yang harus mereka lakukan untuk menanggulangi tawuran tersebut,
antara lain;
1. Dinginkan
suasana
2. Lerai
pertikaian
3. Laporkan
kepada pihak yang berwajib
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurangnya
kepekaan masyarakat dalam menyikapi atau merespon fenomena-fenomena sosial yang
terjadi disekitar mereka cenderung akan menambah parah situasi sehingga
menumbuhkan fenomena-fenomena sosial baru yang serupa bahkan bisa jadi lebih
parah dari fenomena sosial yang terjadi sebelumnya. Sikap apatis masyarakat
menyebabkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi serasa diabaikan sehingga
secara tidak langsung fenomena sosial tersebut mendapat dukungan kebenaran atas
apa yang mereka lakukan, apa yang harusnya bertentangan dengan norma atau
kaidah malah menjadi sejalan dengan norma atau kaidah tersebut.
Seperti
halnya studi kasus mengenai tawuran antar pelajar yang akhir-akhir ini mulai
marak terjadi, masyarakat serasa mendukung atas apa yang pelajar lakukan.
Masyarakat sebagai kontrol sosial harusnya bisa membaca dan memberikan solusi
bijak terhadap apa yang terjadi dihadapan mereka, karena tanpa adanya peran dan
partisipasi dari mereka, tawuran antar pelajar tidak akan pernah berakhir.
Karena kita tahu, kontrol sosial yang dilakukan keluarga dan sekolah hanya bisa
mengontrol mereka pada saat mereka berada dalam area pengawasan keluarga
ataupun sekolah mereka, selebihnya masyarakatlah yang berperan. Oleh karena itu
peran aktif masyarakat tentunya sangat dibutuhkan untuk mendidik dan
mengarahkan sikap pelajar diluar kendali sekolah dan keluarga tersebut kearah
yang lebih positif, bukan hanya berpangku tangan dan menyaksikan kejadian demi
kejadian yang terjadi diantara para pelajar. Namun, perlu diingat juga bahwa
peran keluarga dan pihak sekolah tidak bisa begitu saja diabaikan, mengingat
pondasi dasar perilaku mereka dibangun oleh kedua pihak tersebut. Jika dari
pihak keluarga harusnya bisa menanamkan pondasi agama sebagai tameng untuk
membentuk iman dan akhlak agar mereka tidak salah dalam bergaul, pihak sekolah
harusnya juga bisa menanamkan pondasi moral terhadap pelajar agar bisa
menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi dalam bergaul dengan sesama.
Sederhananya,
biarpun masyarakat berperan besar dalam kontrol sosial bagi pelajar saat berada
diluar lingkungan keluarga dan sekolah, semua pihak yang terlibat dalam
pengontrol perilaku sosial pelajar juga harus tetap bersinergi agar sistem yang
berada didalamnya tidak terjadi ketimpangan yang bisa membuat pelajar kita
melakukan sesuatu hal yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan hidup bersama.
B.
Saran
Jika
menengok ulang terhadap analisa yang ada mengenai penyebab terjadinya tawuran
antar pelajar, beberapa saran berikut bisa menjadi solusi agar angka tawuran
antar pelajar bisa ditekan, bahkan bila memungkinkan bisa dihilangkan;
1.
Keluarga
sebagai awal tempat pendidikan para pelajar harus mampu membentuk sikap, pola
pikir, perilaku, termasuk juga akhlak yang baik untuk para pelajar.
2.
Masyarakat
mestinya menyadari akan perannya dalam menciptakan situasi yang kondusif,
semisal dengan mengadakan kontrol terhadap fenomena-fenomena sosial yang
terjadi disekitarnya.
3.
Sekolah
harusnya memberikan pelayanan baik untuk membantu pelajar mengasah kemampuan
dan mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya. Baik dalam kemampuan yang
bersifat akademis maupun non-akademis, sehingga tidak ada lagi waktu bagi
pelajar untuk melakukan hal yang tidak berguna, terlebih melakukan tawuran.
4.
Hindari
ikut berkumpul atau bergabung dengan gang yang memiliki kecenderungan untuk
melakukan hal yang mengarah pada hal-hal negatif.
5.
Tanamkan
nilai moral dan religius didalam hati agar senantiasa memiliki kesadaran diri
untuk tidak berbuat negatif saat kontrol sosial yang berada disekitar melemah
atau terjadi ketimpangan.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerrjono. 2003.
Sosiologi suatu pengantar. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
loading...
siip gan, izin pake makalahnya,,
ReplyDelete